- Rencana relokasi warga yang tinggal di dalam Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) mundur dari jadwal 22 Agustus. Meski begitu sejumlah warga Dusun Toro, Desa lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Pelalawan, cemas dengan rencana itu. Mereka kompak tetap bertahan apapun yang akan terjadi nantinya.
- Awalnya, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melontarkan tenggat 10 Juni lalu, ketika mengambilalih TNTN dari penguasaan ilegal. Saat ini, mereka bersama pemerintah daerah masih menyelesaikan pendataan penduduk dan kepemilikan lahan TNTN.
- Warga mengaku tinggal di lokasi sebelum rencana perluasan TNTN. Mereka dapat hibah maupun beli tanah tersebut, menggarapnya, dan jadi sumber kehidupan. Wilayah mereka pun sah secara administratif.
- Mongabay peroleh informasi dari tim Satgas PKH di Riau, warga yang telah menetap dalam TNTN lebih dari lima tahun akan mereka pindahkan ke luar atau sekitar kawasan konservasi tersebut. Pemerintah akan membangun tempat tinggal plus kebun pengganti. Mirip konsep transmigrasi.
Rencana relokasi warga yang tinggal di dalam Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) mundur dari jadwal 22 Agustus. Meski begitu sejumlah warga Dusun Toro, Desa lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Pelalawan, cemas dengan rencana itu. Mereka kompak tetap bertahan apapun yang akan terjadi nantinya.
Awalnya, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melontarkan tenggat 10 Juni lalu, ketika mengambilalih TNTN dari penguasaan ilegal. Saat ini, mereka bersama pemerintah daerah masih menyelesaikan pendataan penduduk dan kepemilikan lahan TNTN.
Beberapa warga mereka panggil ke Kejaksaan Tinggi Riau untuk menyerahkan surat bukti kepemilikan lahan. Identifikasi tersebut sebagai langkah pemerintah untuk memindahkan warga secara bertahap, nantinya.
Mongabay peroleh informasi dari tim Satgas PKH di Riau, warga yang menetap dalam TNTN lebih dari lima tahun akan mereka pindahkan ke luar atau sekitar kawasan konservasi itu. Pemerintah akan membangun tempat tinggal plus kebun pengganti. Mirip konsep transmigrasi.
Abdul Keman, warga Dusun V Toro Palembang, mengaku tak melakukan persiapan sama sekali. Dia berusaha tetap tenang dan yakin asetnya bukan kawasan TNTN. Andai harus keluar, pria 61 tahun ini kukuh melawan untuk mempertahankan rumah dan kebun.
Dia sudah menuruti keinginan Satgas PKH dengan menyerahkan data kependudukan dan bukti kepemilikan kebun sawit ke Kejaksaan Tinggi Riau. Juga, patuh ketika Pemerintah Daerah mendata warga yang tinggal dalam TNTN.
“Sekitar sini tak ada menolak. Mudah-mudahan ada solusi dan jalan keluar. Pemerintah harus memperhatikan masyarakat,” katanya, Selasa (5/8/25).
Dia bilang, siap mengikuti program pemerintah. Baik jaga hutan atau tidak menanam sawit baru. Asal, tidak memintanya keluar dari tempat tinggal.
Pemerintah pun dia beri syarat. Yakni buat tapal batas yang seluruh warga ketahui dan mengeluarkan sertifikat bagi mereka yang tinggal sebelum penetapan TNTN. Dia pun berkomitmen taat pajak.
Rangga Buana Harahap turut melontarkan penolakannya. Pria 56 tahun itu bilang, warga punya hak bertahan.
Cara itu merupakan bentuk perlawanannya meski tahu tak akan mungkin menang lawan negara. Negara, katanya, memang tak boleh kalah, tapi warga akan tetap bertahan.
Dia pun mengaku tak memiliki tempat tinggal lagi di kampung halamannya. Sejak datang tahun 2005, dia telah beranak cucu. Relokasi akan membuat kehidupan keluarganya tidak senormal saat ini.
“Kami bertekad bertahan apa pun terjadi.”

Rasem, warga lainnya, juga berharap Satgas PKH tak mengusirnya. Perempuan 77 tahun itu datang ke Toro seorang diri untuk menanam sawit meski sakit-sakitan. Sekarang, tanaman sawit itu sudah telah berbuah. Dia tak rela negara mengambilnya begitu saja.
Meski sudah renta, dia nekat ikut demonstrasi di Kementerian Kehutanan, Jakarta, 21 Juli lalu. Perjalanan pergi dan pulang dia tempuh hampir satu minggu dengan bus.
“Kita perjuangkan walau bagaimana caranya. Biar saja dikeruk (dikubur) di sini. Mau pulang ke mana? Tak punya kampung lagi,” katanya, getir.
Minanto, warga lainnya, yakin petani kecil seperti mereka tidak akan kena usir dari TNTN. Satgas PKH hanya akan menyasar pemilik kebun skala luas, atau lebih dari lima hektar.
Informasi itu dia peroleh, setelah ikut mendengar hasil perundingan perwakilan warga Toro di Gedung Manggala Wanabakti, markas Kementerian Kehutanan.
Dia juga tak setuju kebijakan relokasi. Apalagi kabar pemindahan warga ke Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar, Pelalawan. Pulau bergambut itu tak cocok dengan komoditas pertanian yang mereka jalani selama ini. Konflik dengan warga lokal juga potensial.
Anak dan istrinya dia ungsikan ke Pati, Jawa Tengah, saat Satgas PKH masuk ke Toro. Dua anaknya juga harus pindah sekolah. Alhasil, tiap terima hasil panen sawit, dia harus mengirim uang untuk biaya hidup keluarga yang dia titip ke orangtuanya.
Keputusan itu untuk menghindari hal buruk terjadi, andai Satgas PKH memaksa warga meninggalkan TNTN. “Kalau terjadi huru-hara kasihan mereka. Kalau kita masih bisa ke sana ke mari. Anak saya perempuan semua.”

Datang sebelum perluasan TNTN
Warga Toro menolak cap perambah. Mereka menyatakan tidak mengenal TNTN ketika memulai kehidupan di sana.
“Yang jelas, di sini sudah gundul. Tak ada kayu besar. Waktu kami ke sini, belum ada TNTN. Di sini kategori perluasan TNTN (sebelumnya 38.000 hektar menjadi 81.000 hektar). Tapi sebelum perluasan, di sini sudah banyak masyarakat,” kata Keman.
Dia datang bersama rombongan dari Palembang pada 2004. Sebelumnya, mereka para transmigran dari Jawa Tengah yang ingin mengubah nasib lebih baik. Lahan padi pasang surut yang pemerintah berikan sejak 1980-an, lebih sering gagal panen.
Saat ini, kawasan tinggalnya menjadi pemukiman padat penduduk. Masuk dalam administrasi pemerintahan Dusun V Toro Palembang, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan. Nama Palembang merujuk pada asal rombongan.
Saat pertama datang, dia dan rombongan kerja balak, alias menebang kayu buat seorang pengusaha. “Tinggal kayu kecil yang diolah dijadikan bahan. Kami tukang pikulnya, waktu itu.”
Setahun berjalan, ninik mamak di sana menghibahkan hutan bekas tebangan itu pada rombongan, termasuk Keman. Dia kebagian dua hektar dari Jasbun bin Karim, tokoh adat Batin Hitam. Jasbun telah meninggal.
Setelah punya lahan, Dia boyong anak dan istrinya dari Palembang. Sawah di sana dia jual untuk biaya ke Toro. Mereka bangun tempat tinggal berupa tenda plastik.
“Kalau masuk dalam tenda kayak dibungkus permen.”
Jasbun, katanya, tak minta imbal apa pun. Tokoh adat tersebut hanya ingin kawasan itu berpenghuni sehingga maju dan berkembang. Bahkan, dia baru mengurus surat hibah setelah kebun sawit produktif.
Itu sebabnya, usia tanam sawit dengan tahun surat hibah akan beda jauh. Usia pohon sawit tertua miliknya ada yang mencapai 20 tahun.
Seiring waktu, dia juga menambah luas kebunnya. Saat ini, sudah tujuh hektar. Dia beli atau ganti rugi dari sesama rombongan yang menjual lahan karena pindah.
Selain Keman, Buana juga terima hibah lima hektar lahan dari Jasbun pada 2005. Senada, dia pun mengaku tak mendengar informasi tentang TNTN.
“Setahu kami, ini tanah ulayat. Kami dapat izin dari pemangku adat. Buktinya berupa surat hibah.”
Waktu itu, dia hanya tahu areal yang jadi kebun sawit merupakan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Nanjak Makmur. Menteri Kehutanan mencabut izin perusahaan ini pada 2009. Sebagian bekas konsesinya menjadi lokasi perluasan TNTN.
Sejak memutuskan menetap di Toro, Buana juga berambisi untuk mengangkat derajat hidupnya. Sedikit demi sedikit, tiap tahun, dia membeli lahan untuk menambah luas kebunnya. Tapi, dia enggan sebut berapa total lahannya saat ini.
“Itu tak melebihi sampai 50 dan 100 hektar. Di sini, rata-rata di bawah 20. Ada yang 15 dan 10. Macam saya enggak sampenya. Dengan sekian tahun di sini, pelan-pelan kita menabung,” katanya, Selasa (5/8/25).
Kehidupan di Toro dia mulai dari nol. Termasuk tinggal di bawah tenda biru. Lahan pun dia olah sendirian, karena tak ada biaya mengupah orang.
“Itulah perjuangan masyarakat di sini. Kalau sudah nyaman, wajar. Mereka berjibaku di sini. Termasuk saya sendiri.”
Tidak hanya hibah. Ada juga warga yang dapat lahan dengan membeli. Seperti Rasem, Minanto dan Roben Surbakti. Harganya bervariasi.
Rasem, misalnya, beli per pancang antara Rp300.000-Rp400.000. Sampai sekarang, dia hanya mengelola empat pancang. Sebagian dia serahkan ke anak dan menantu yang tinggal bersamanya.
Minanto, minta lahan ke Jasbun. Dia bayar Rp2 juta, sebagai balas jasa atas perintisan atau pembukaan lahan. Luasnya delapan hektar. Dia kelola bersama dua saudara kandung.
Roben Surbakti, beli lahan lebih mahal. Sebab, baru punya modal pada 2015. Dia gelontorkan uang Rp120 juta per hektar kebun yang sudah tumbuh sawit usia 8 -10 tahun, alias sudah produktif.
Rasem, Minanto dan Roben Surbakti, kompak mengatakan tak mendengar informasi mengenai kawasan hutan, ketika mereka mulai menapak kehidupan di areal yang kini berstatus TNTN. Mereka datang sebelum TNTN diperluas pada 2009. Masing-masing pada 2004, 2006 dan 2007.
Namun, ketiganya tak menampik wilayah tersebut merupakan bekas tebangan. Tak ada lagi pohon-pohon besar. Kebanyakan semak.

Penuh suka-duka
Rasem, Minanto dan Roben Surbakti memiliki cerita berbeda ketika memulai hidup di area yang akan negara pulihkan itu. Suka-duka mewarnai perjuangan mereka di tanah itu.
Rasem, misal, nekat datang sebatang kara, setelah menjual ladangnya di Kisaran, Sumatera Utara. Dia mendirikan tempat tinggal beratap lalang yang dia angkut setiap kali pulang menebas atau bersihkan lahan.
Bibit-bibit sawit dia angkut dengan berjalan kaki. Turun-naik menapakai jalan yang curam. Termasuk mengangkut air buat kebutuhan harian.
Tidak mudah baginya menikmati hasil kebun. Sawit baru benar-benar produktif setelah tujuh tahun. Pasalnya, satwa hutan, dari babi hingga gajah, kerap merusak bibit sawitnya. Dia bahkan harus 8 kali tanam di satu lokasi.
Beberapa kali, Rasem terserang malaria. Beruntung, dia punya tetangga yang peduli.
“Orang-orang memanggil dan tengokin kalau saya gak keluar-keluar rumah. Kadang dicariin sampai ke sumur. Takut saya kenapa-kenapa.”
Sementara Minanto tak langsung menetap di lahan yang dia beli. Sebab, masih kerja di kebun karet orang lain di Baserah, Kuantan Singingi.
Dia mengupah orang untuk membersihkan lahannya terlebih dahulu, dan datang setiap dua minggu sekali, ketika hendak menyerahkan upah. Kadang pekerja itu langsung menemuinya di Baserah.
Bukan sawit yang awalnya dia tanam, melainkan karet. Setelah tiga tahun, pohon-pohon karet banyak mati. Barulah dia beralih ke sawit secara bertahap. Mulai 2009, 2010 dan 2011. Sebab itu, usia tanam sawitnya pun bervariasi. Paling tua 16 tahun dan kecil 13 tahun.
“Karena duit dan tenaga,” kata perantau dari Pati, Jawa Tengah, itu.
Selain karet, Minanto, kini sibuk mengurus kebun jeruk yang juga terancam Satgas PKH sita. Lahannya bekas sawit dan karet, dia beli sekitar enam tahun lalu.
Tiap minggu, dia bisa panen 200-300 kg jeruk. Along-along (pengepul) datang langsung membeli. Harganya Rp9.000 per kg.
Roben Surbakti, datang ke wilayah itu sebagai penjaga portal atau ampang-ampang di gerbang masuk Dusun Toro. Bersama rekannya, dia bertugas untuk mengumpulkan uang setoran dari kendaraan pengangkut sawit yang melintas, Rp50 per kg sawit.
Dana itu semacam retribusi, untuk memperbaiki ruas jalan. Mulai dari gerbang utama sampai sepanjang poros dan seluruh ruas jalan dalam dusun. Tepu dan rekannya berjaga 24 jam. Makan dan tidur di pos. dengan gaji Rp2,5 juta per bulan.
Setelah lima tahun, Tepu, panggilan karibnya, beralih menjadi petani mandiri. Dia beli tapak rumah ukuran 20×25 meter seharga Rp20 juta, dan boyong anak dan istri dari Binjai, Sumatera Utara.
Sejak 2022, dia memberanikan diri menjadi pengepul sawit atau tauke yang menampung tandan buah sawit dari petani sebelum mengangkutnya ke pabrik.
Toro yang berada dalam TNTN kini berubah tampilan menjadi pemukiman padat penduduk. Mereka mengurusi hidupnya dengan kesepakatan musyawarah. Membangun insfrastrukur, fasilitas umum, pendidikan dan agama dari modal bersama.
Nasib warga masih belum jelas karena satgas PKH masih merampungkan pendataan, sambil mengimbau pemodal atau cukong yang menguasai kebun puluhan hingga ratusan hektar untuk menyerahkannya secara sukarela. Hingga medio Agustus 2025, mereka telah menerima lebih kurang 7.000 hektar kebun sawit.
Pohonnya langsung mereka tumbang dan ganti dengan tanaman hutan. Satgas PKH menargetkan pemusnahan sekitar 51.000 hektar perkebunan sawit.
Mongabay coba ajukan wawancara dengan Satgas PKH ihwal kejelasan nasib warga dengan mengirim pesan pada Wakil Ketua I Identifikasi dan Verifikasi Satgas PKH, Ardito Muwardi, Selasa 19 Agustus 2025 tetapi dia meminta maaf karena tidak berkompeten untuk menyampaikan informasi.
Koordinator I Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, itu menyarankan, untuk menghubungi Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna. Yang bersangkutan tak merespon permohonan konfirmasi yang Mongabay kirim ke nomor WhatsApp-nya.

*****