- Junianto dan Ari Hidayat merupakan pemuda yang berkomintem menjaga kelestarian burung liar di hutan Gunung Slamet.
- Mereka sebelumnya meupakan mantan pemburu burung yang kini menjadi garda terdepan penjaga kelestarian hutan Gunung Slamet.
- Bagi Junianto, setiap kicau burung di pagi hari merupakan tanda hutan masih lestari. Sedangkan bagi Ari, setiap sarang yang berhasil dijaga merupakan kemenangan kecil yang sangat bermakna.
- Pada 2018, Ari meraih juara pertama tingkat Provinsi Jawa Tengah untuk kategori kader konservasi alam dalam lomba Wana Lestari. Setahun kemudian, ia menerima Kalpataru sebagai Perintis Penyelamat dan Pembina Lingkungan Hidup tingkat provinsi.
Kabut tipis menyelimuti lereng selatan Gunung Slamet wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Junianto dan Ari Hidayat berjalan pelan, menelusuri hutan tersebut. Kedua lelaki asal Banyumas ini sudah bersahabat sejak kecil. Mereka garda terdepan konservasi, meski pernah berstatus mantan pemburu burung di hutan Gunung Slamet.
Junianto telah berburu burung sejak kelas 4 SD. Rumahnya di Desa Sambirata, Kecamatan Cilongok, merupakan kampung terakhir di lereng Gunung Slamet yang dikelilingi hutan.
Dia belajar dari orang-orang di kampung untuk menggunakan pulut, getah pohon yang dikeringkan hingga lengket, lalu dioleskan di ranting untuk menjebak burung.
“Kalau kena air, lengketnya hilang, jadi harus pasang siang hari,” ujarnya, Kamis (14/8/2025).

Wilayah buruannya mulai ketinggian 800-1.500 meter di atas permukaan laut (m dpl). Sekitar setengah jam, ada saja burung yang kena seperti jenis pleci, atau brinji gunung. Dia juga kerap membawa burung hantu atau ular sebagai “umpan”.
Tahun 2000, berburu menjadi pekerjaan utamanya. Dia bahkan jadi pengepul, menerima pasokan dari delapan pemburu lain untuk dijual di Pasar Ajibarang, Cilongok, Purwokerto, dan kota lain.
“Burung berkurang karena sering ditangkap, sementara uang makin sedikit,” kenangnya.
Kesadaran itu perlahan mengubah pikirannya. Dia tidak lagi berburu, tetapi memotret burung di sekitar rumahnya, menggunakan kamera kakaknya. Dia perhatikan karakter burung yang menjadi bidikan lensanya, seperti puyuh, elang bido dan lainnya.
“Saya juga bertani cabai, singkong, dan kapulaga.”
Tahun 2022, Junianto bertemu Biodiversity Society (BS), komunitas pegiat konservasi di Banyumas. Dari situ, dia mulai terlibat pendataan burung di Karanggondang, juga memetakan sarang, dan memberi edukasi kepada pemburu lain.
“Kalau ketemu pemburu, saya bilang jangan tangkap di sini.”

Sementara Ari, bukan hanya pemburu tetapi juga pedagang satwa di media sosial. Awalnya, dia ikut tetanga berburu di Baturraden, Kedungbanteng, Cilongok, hingga Brebes. Saat menjaring, total burung kacamata yang terjerat bisa mencapai 400 individu.
Tahun 2011-2012, Ari giat menawarkan satwa di media sosial. Jenisnya, elang jawa, kukang, landak, sugar glider, hingga ular. Pelanggannya termasuk kolektor yang memesan langsung ke rumahnya.
Perjalanan itu berubah drastis ketika pemerintah memperketat pengawasan perdagangan satwa dilindungi di media sosial. Puncaknya, ketika dia mendapat peringatan dari pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah.
“Rasanya seperti dikejar-kejar. Sejak itu, aku berhenti total, menjadi penjual tahu keliling dan tukang sablon.” ujarnya.
Pada 2013, Ari bertemu tim Biodiversity Society (BS), yang mengajaknya ikut bakti sosial membersihkan sungai. Bersama BS, dia menjalankan program menjaga sarang burung di Gunung Slamet dengan melibatkan warga.
“Kalau ada warga yang berbuat salah, kita beri masukan. Jika benar, kita dukung. Kini, banyak pemburu yang menjadi pelindung hutan.”
Dedikasinya mendapat pengakuan. Pada 2018, Ari meraih juara pertama tingkat Provinsi Jawa Tengah untuk kategori kader konservasi alam dalam lomba Wana Lestari. Setahun kemudian, ia menerima Kalpataru sebagai Perintis Penyelamat dan Pembina Lingkungan Hidup tingkat provinsi.

Kini, senjata mereka bukan lagi pulut atau jaring, melainkan kamera dan buku catatan. Mereka mencatat spesies burung yang terlihat, memotret sarang, dan memastikan tak ada pemburu masuk ke area konservasi.
Bagi Junianto, setiap kicau burung di pagi hari merupakan tanda hutan masih lestari. Sedangkan Ari, setiap sarang yang berhasil dijaga merupakan kemenangan kecil yang sangat bermakna.
“Dulu aku pikir memburu itu keren, hasilnya cepat. Sekarang aku sadar, melindungi jauh lebih berharga,” kata Ari.
Di lereng selatan Gunung Slamet, suara burung memang tak lagi seramai dulu. Namun, kegigihan Junainto dan Ari memberi harapan bahwa generasi mendatang masih akan mendengar nyanyian alam itu.
“Mengembalikan populasi burung yang hilang itu sulit. Tapi kalau kita konsisten, pasti ada hasil,” jelasnya.

Peran penting burung
Aswi Andriasari Rofiqoh, akademisi Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, menegaskan burung bukan sekadar makhluk indah yang merdu suaranya, melainkan biota dengan peran ekologis sangat vital. Keberadaan burung menjadi indikator daya dukung lingkungan serta keseimbangan ekosistem.
“Burung memiliki nilai ekologis, budaya, sekaligus ekonomi yang tinggi. Keberadaannya mencerminkan kualitas lingkungan hidup dan pelestariannya merupakan warisan penting bagi generasi mendatang,” ujarnya, Minggu (17/8/2025).
Burung memainkan peran krusial dalam rantai makanan. Selain sebagai predator alami pengendali populasi serangga, burung juga berfungsi sebagai penyerbuk dan penyebar biji.
“Burung yang memakan buah akan membuang bijinya dan tumbuh menjadi pohon baru. Proses ini membantu kelangsungan regenerasi hutan. Beberapa jenis berperan sebagai predator puncak. Bila hilang, dapat menimbulkan ledakan populasi tikus atau serangga yang berimbas gagal panen.”

Kehidupan burung kian terancam akibat deforestasi, fragmentasi hutan, hingga perubahan iklim. Berdasarkan pengamatan di lereng Gunung Slamet, Aswi menemukan bahwa perubahan struktur habitat telah memengaruhi populasi burung.
“Ada jenis yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Jika habitatnya terganggu, kemampuan reproduksinya menurun.”
Selain faktor alam, praktik perburuan dan perdagangan liar masih menjadi ancaman serius.
“Pelestarian burung itu penting, tidak hanya demi ekologi, tetapi juga bagi nilai ekonomi dan budaya masyarakat. Jika burung hilang dari hutan, regenerasi hutan akan terhambat, rantai makanan terganggu, dan ekosistem kehilangan keseimbangannya,” pungkas Aswi.
*****
Meski Populasinya Meningkat, Elang Jawa Masih Terancam, Apa Sebabnya?