- Setiap 9 Agustus, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional (HIMAS). momen penting untuk menegaskan kembali komitmen terhadap pengakuan, perlindungan, dan penghormatan atas hak-hak masyarakat adat. Di Indonesia, peringatan HIMAS tahun ini masih berselimut kekhawatiran. Alih-alih pengakuan dan perlindungan kuat terhadap masyarakat adat, ancaman baru malah datang lewat wujud penertiban kawasan hutan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
- Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik Puraka mengatakan, negara memang memiliki wewenang menetapkan kawasan konservasi tetapi kekuasaan itu tidak boleh menginjak-injak sejarah, identitas, dan hak hidup masyarakat adat. Jika tidak, maka penertiban hanyalah bentuk kekerasan yang dibungkus atas nama hukum.
- Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, apa yang Satgas PKH yang berdampak ke ruang-ruang hidup masyarakat adat ini merupakan buntut penetapan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) pada 1980-an. Saat itu, sebagian ruang hidup masyarakat langsung kena klaim menjadi kawasan hutan, termasuk konservasi.
- Aturan yang bisa jadi payung hukum bagi masyarakat adat, yakni, Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat, sudah tujuh bulan masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025. Sayangnya, progres pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR belum menunjukkan perkembangan signifikan.
Setiap 9 Agustus, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional (HIMAS). momen penting untuk menegaskan kembali komitmen terhadap pengakuan, perlindungan, dan penghormatan atas hak-hak masyarakat adat. Di Indonesia, peringatan HIMAS tahun ini masih berselimut kekhawatiran. Alih-alih pengakuan dan perlindungan kuat terhadap masyarakat adat, ancaman baru malah datang lewat wujud penertiban kawasan hutan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Tahun ini, melalui Peraturan Presiden Nomor 5/2025, pemerintah membentuk Satgas PKH. Ironisnya, alih-alih menindak pelaku besar perusakan hutan, satgas juga menyasar wilayah/hutan adat yang hidup di dalam hutan—dalam status negara—masuk kawasan hutan.
Di Aceh, misal, hutan Masyarakat Adat Gayo Lues rawat dengan sistem agroforestri kena segel satgas. Tanpa dialog dan partisipasi, satgas bertindak atas dasar klaim bahwa wilayah itu masuk dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Padahal, komunitas adat di sana selama ini berperan sebagai penjaga ekosistem yang justru berkontribusi pada pelestarian hutan.
Situasi serupa juga terjadi di Kabupaten Pelalawan, Riau. Masyarakat Adat Petalangan di Kecamatan Bandar Petalangan kena cap perambah, karena wilayah adat mereka kini masuk dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo.
Pada Mei lalu, Satgas PKH memasang papan larangan di tanah tempat hidup mereka turun-temurun. Semua tanpa dialog, tanpa kompromi, tanpa pengakuan atas sejarah panjang keberadaan komunitas adat ini.
“Negara memang memiliki wewenang menetapkan kawasan konservasi. Tapi kekuasaan itu tidak boleh menginjak-injak sejarah, identitas, dan hak hidup masyarakat adat. Jika tidak, maka penertiban hanyalah bentuk kekerasan yang dibungkus atas nama hukum,” kata Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik Puraka.
Ironis, di banyak daerah, dengan status kawasan hutan termasuk kawasan konservasi, masyarakat adat justru dapat label sebagai “perambah.” Sebutan yang tak hanya keliru, juga mengabaikan peran penting mereka sebagai penjaga benteng terakhir dari ekosistem tersisa.
Padahal, katanya, tanpa masyarakat adat, banyak kawasan hutan yang kini berlabel “konservasi” mungkin sudah lama rusak oleh kepentingan industri.
Rukmini Paata Toheke, Ibu kampung (Tina Ngata) Komunitas Adat Toro menceritakan bagaimana negara merampas wilayah adatnya dengan dalil “konservasi” yang justru menggerus komunitas dari ruang hidup.
Pada 1982, wilayah yang menjadi sumber penghidupan mereka itu negara ambil dengan penetapan jadi Taman Nasional Lore Lindu.

Saat yang sama, label “perambah” atau “ilegal” kerap tersemat kepada Komunitas Adat Toro ketika mereka tinggal, berkebun, atau berburu di wilayah itu.
Padahal, kata Rukmini, sejak lama komunitas ini tinggal, mengelola dan merawat jauh sebelum negara muncul dengan definisi kehutanan modernnya.
Komunitas Adat Toro adalah salah satu Suku Kulawi yang memiliki pranata, dan kelembagaan adat sangat kuat. Secara filosofi di Kulawi secara umum dikenal dengan penyebutan hintuwu (mengatur hubungan antara manusia dengan manusia), katuwuan (hubungan antara manusia dengan alam) dan petukua (hubungan dengan sang pencipta).
Seharusnya, pemerintah paham bahwa pelestarian hutan tidak bisa dengan penggusuran dan intimidasi. Hutan-hutan tersisa justru bertahan karena peran masyarakat adat yang menjaga melalui aturan dan nilai lokal. Dalam Komunitas Adat Toro, katanya, terlihat dari sistem pengelolaan berbasis mukim dan hukum adat yang mengatur penggunaan lahan secara bijak.
Rukmini bilang, ada sekitar 22.000 hektar wilayah adat Toro, dan 18.000 hektar masuk klaim negara sebagai Taman Nasional Lore Lindu.
Pada akhir ‘1999-an, Rukmini berada di garda depan perjuangan melawan taman nasional yang merebut wilayah adatnya. Pada 2021, mereka mengusulkan sekitar 9.000 hektar wilayah adat menjadi hutan adat, hanya 1.747 hektar penetapan.
“Negara seharusnya menghormati kearifan dan pengetahuan masyarakat adat saat menetapkan wilayah konservasi. Jika benar ingin menyelamatkan hutan, maka mulailah dengan mengakui hak-hak masyarakat adat secara sah dan bermartabat,” ujar Rukmini kepada Mongabay.
Kehadiran Satgas PKH dengan pendekatan militeristik, katanya, mestinya sebagai alat menindak tegas terhadap korporasi besar pelanggar hukum, bukan menjadi alat penindas bagi komunitas adat yang tak pernah diajak bicara.
Alih-alih memberdayakan masyarakat adat sebagai mitra pelestari, negara justru menempatkan mereka sebagai pelanggar.
Ironisnya, terindikasi penertiban kawasan hutan lebih menyasar masyarakat adat ketimbang perusahaan besar yang sudah bertahun-tahun merambah kawasan dengan dalih legalitas abu-abu.
Kesan tebang pilih ini mempertegas bahwa kebijakan ini bukan sekadar soal lingkungan, melainkan juga tentang siapa yang dianggap sah dalam mata negara.
Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, apa yang Satgas PKH yang berdampak ke ruang-ruang hidup masyarakat adat ini merupakan buntut penetapan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) pada 1980-an.
Saat itu, katanya, sebagian ruang hidup masyarakat langsung kena klaim menjadi kawasan hutan, termasuk konservasi.
Saat penetapan TGHK, seharusnya pemerintah juga mengidentifikasi batas wilayah adat, termasuk pemukiman mereka. Jika itu pemerintah lakukan sejak awal, bisa menghindari konflik ruang hidup dengan masyarakat adat.
Sayangnya, itu tidak dilakukan. Saat Satgas PKH melakukan penertiban, masyarakat adat ikut terdampak karena wilayah penghidupan mereka turut menjadi sasaran.
“Saat penertiban, Satgas PKH tidak mempertimbangkan sejarah ruang hidup masyarakat adat di wilayah itu. Kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap mereka yang memperjuangkan hak atas tanahnya,” katanya kepada Mongabay.
Seharusnya, Satgas PKH tidak boleh melakukan penertiban tanpa memahami sejarah asal-usul lahan, karena itu bisa memicu konflik agraria.
Apalagi, setiap wilayah memiliki kondisi dan sejarah penguasaan berbeda, dan masyarakat adat telah mengelola wilayah jauh sebelum Indonesia ada.
Kasmita menyebut, satu alasan masyarakat adat masih terabaikan karena belum ada UU Masyarakat Adat yang mengakui dan melindungi hak-hak mereka.
Selain itu, saat ini tidak ada lembaga atau kementerian yang secara khusus dapat kewenangan mengurus pengakuan itu.
“Ketiadaan UU Masyarakat Adat dan lembaga setingkat kementerian yang mengurus hak-hak mereka membuat wilayah adat sulit untuk dilindungi. Apalagi, pengakuan wilayah adat bukan menjadi prioritas pemerintah,” katanya.
Padahal, konstitusi tegas mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Pasal 18B UUD 1945 menjamin pengakuan negara terhadap satuan-satuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, termasuk tanah ulayat dan hutan adat. Hak itu bukan pemberian negara, melainkan telah melekat dan diwariskan secara turun-temurun.
Data BRWA pada Maret 2025 menyebut, luas wilayah ada sudah mencapai 33,2 juta hektar, namun baru 332.000 hektar pemerintah tetapkan sebagai hutan adat.
Hingga kini banyak wilayah adat masih belum mendapat pengakuan formal dari negara. Proses sertifikasi hutan adat pun, katanya, berjalan lamban dan tersendat oleh berbagai hambatan birokrasi dan politik.
Sementara itu, katanya, pemanfaatan lahan di wilayah adat terus berlangsung dan telah terjadi sejak lama. Berbagai industri ekstraktif seperti perkebunan sawit, tambang, dan izin kehutanan lain telah mendapat legitimasi dari negara, sementara wilayah adat belum juga pemerintah akui.

Kecualikan masyarakat adat
Pengecualian hukum juga perlu secara eksplisit dalam Perpres No. 5/2025 agar masyarakat adat tidak menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak.
Dia bilang, negara tidak boleh menyamakan perusahaan skala besar dengan komunitas adat yang hidup dari dan bersama alam secara lestari.
“Ketika pengakuan belum hadir, tapi penertiban sudah dijalankan, maka masyarakat adat berada dalam posisi paling rentan terhadap pemidanaan dan perampasan wilayah.”
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengategorikan masyarakat adat sebagai kelompok khusus yang non-dominan dan memiliki posisi tawar rendah dalam politik, budaya, dan ekonomi.
Mereka termasuk kelompok rentan yang secara historis terpinggirkan, rawan diskriminasi dan pelanggaran HAM, sehingga membutuhkan perlindungan serta perlakuan khusus dalam kebijakan publik.
Sayangnya, marginalisasi masyarakat adat justru merupakan dampak dari paradigma pembangunan dominan sejak Orde Baru. Dalam kerangka itu, pengetahuan lokal dan sistem kehidupan masyarakat adat dianggap kuno, irasional, dan tidak beradab.
Stigma ini untuk membenarkan perampasan lahan dan sumber daya mereka. Kebijakan negara yang tidak berpihak malah memperparah situasi, alih-alih memberikan perlindungan dan afirmasi.
Dalam kajian pendapat hukum oleh Mulya Sarwono dan Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut, Perpres Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, meski bertujuan memperbaiki tata kelola lahan, berpotensi menjadi alat legalisasi perampasan wilayah adat.
Masalahnya, regulasi itu tidak ada “pengecualian” eksplisit terhadap masyarakat adat sebagai kelompok khusus.
Misal, Pasal 1 ayat 5 perpres itu mendefinisikan “setiap orang” sebagai individu atau badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang tertentu. Frasa ini berlaku secara umum, katanya, tanpa mempertimbangkan pengecualian yang semestinya diberikan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat adat yang telah hidup secara turun-temurun di kawasan hutan.
Padahal, dalam hukum Indonesia, pengecualian untuk masyarakat adat bukan hal baru. UU Kehutanan dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) memberikan perlakuan khusus bagi masyarakat adat yang telah tinggal minimal lima tahun terus menerus di kawasan hutan, dengan pembebasan dari sanksi pidana dan administrasi dalam kondisi tertentu. Namun, ketentuan serupa absen dalam Perpres No. 5/2025.
“Dalam Perpres No. 5/2025, potensi kriminalisasi masyarakat adat sangat besar. Perpres ini memperlakukan semua pelaku di kawasan hutan secara sama—baik korporasi maupun komunitas adat—tanpa mempertimbangkan ketimpangan kekuasaan dan kerentanan historis masyarakat adat,” tulis Mulya Sarwono dan Muhammad Arman.
Data AMAN menunjukkan, selama 2014–2024 terjadi 687 konflik agraria di wilayah adat dengan total luas lebih dari 11 juta hektar. Sebanyak 925 masyarakat adat alami kriminalisasi, 60 mengalami kekerasan fisik, dan satu orang kehilangan nyawa.
Tahun 2024, mencatat 121 letusan konflik agraria, sembilan di antaranya berkaitan langsung dengan kawasan hutan.
Riset itu juga menyebut, bahaya Perpres No. 5/2025 makin nyata dengan adanya pelaksanaannya rencana 77 proyek strategis nasional (PSN) periode 2025–2029.
Proyek-proyek besar di sektor pangan, air, energi, dan digitalisasi dinilai berpotensi menekan ruang hidup masyarakat adat, terutama jika berjaan tanpa perlindungan khusus bagi kelompok rentan.
Hasilnya, bukan hanya konflik, tapi juga perampasan tanah yang dilegalkan.
Ironisnya, pendekatan penertiban kawasan hutan yang Satgas PKH adopsi bernuansa militeristik. Satgas dengan pimpinan Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri ini, strukturnya mengesankan bahwa solusi atas persoalan tata kelola lahan kepada pendekatan keamanan. Padahal, pendekatan militeristik terhadap konflik agraria tidak pernah menyelesaikan akar persoalan.
Komite Perjuangan Agraria (KPA) mencatat, keterlibatan aparat keamanan dalam konflik agraria selama satu dekade terakhir menyebabkan, 2.841 orang kena kriminalisasi, 1.054 korban kekerasan, 88 orang tertembak, dan 79 orang tewas. Ini adalah jejak luka.
Riset itu menegaskan, negaraisasi kawasan hutan bukanlah jawaban atas keruwetan tata kelola lahan. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru memperluas konflik dan mengancam eksistensi masyarakat adat. Penertiban Satgas PKH harus berpijak pada penghormatan terhadap hak, bukan sekadar penertiban berbasis kekuasaan.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, Perpres No. 5/2025 hanya menggeser kejahatan yang sebelumnya oleh perusahaan dengan fasilitasi negara, ke kejahatan langsung oleh negara.
Temuan Walhi di 10 provinsi, proses penertiban kawasan hutan ini justru menimbulkan masalah baru dan tidak menjawab pemulihan ekologi dan pemulihan hak rakyat sebagai substansi utama.
Banyak patok-patok penyegelan dan pengambilalihan di lahan masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik tenurial.
Apalagi, kata Uli, setelah pengambilalihan lahan, pemerintah justru menyerahkan kepada PT Agrinas, kejelasan dasar hukum, dan tanpa memastikan kepatuhan perusahaan terhadap regulasi berlaku, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), izin pelepasan kawasan hutan, dan prasyarat lain yang seharusnya ada.
Temuan ini menambah indikasi bahwa proses penertiban kawasan hutan berjalan tanpa transparansi dan akuntabilitas, dan berisiko melanggar hukum itu sendiri.
Ironisnya, struktur Agrinas dominan unsur militer, memperkuat kesan bahwa pendekatan keamanan lebih utama daripada penyelesaian masalah secara ekologis dan sosial.
“Satgas ini hanya punya dua tujuan: cari uang dan ganti pemain. Yang dulu perusahaan swasta menumpuk keuntungan dari bisnis ilegal, sekarang digantikan oleh perusahaan negara, Agrinas,” kata Uli melalui siaran pers Walhi.
Walhi nilai, penyegelan masih tebang pilih, karena wilayah-wilayah kena segel justru merupakan kawasan yang selama ini sedang berada dalam proses penyelesaian konflik.
Menurut Walhi, Satgas PKH gagal menempatkan diri sebagai alat korektif yang berpihak kepada rakyat. Alih-alih menjadi solusi, satgas justru beroperasi di bawah bayang-bayang institusi yang selama ini turut menjadi bagian dari persoalan struktural.
Tanpa perubahan cara pandang mendasar, satgas tidak akan mampu menghadirkan solusi adil, partisipatif, dan berkelanjutan.

RUU Masyarakat Adat tersendat
Sementara itu, aturan yang bisa jadi payung hukum bagi masyarakat adat, yakni, Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat, sudah tujuh bulan masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025. Sayangnya, progres pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR belum menunjukkan perkembangan signifikan.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menilai DPR masih enggan memenuhi amanat konstitusi, khusus Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat.
Sejak awal tahun, koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil terus mendorong percepatan legislasi melalui dialog dan audiensi dengan anggota DPR dan pemerintah.
Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengatakan, telah menyerahkan naskah akademik dan draf RUU versi masyarakat adat kepada pimpinan Baleg serta fraksi-fraksi DPR.
Draf yang mereka ajukan mengusung beberapa poin krusial, antara lain, pengakuan deklaratif terhadap masyarakat adat, mekanisme administratif sederhana untuk pengakuan wilayah adat, dan jaminan hak kolektif bagi perempuan dan anak adat.
Juga ada poin pembentukan lembaga perlindungan dan penyelesaian konflik adat di tingkat nasional dan daerah, serta harmonisasi lebih dari 30 peraturan sektoral yang tumpang tindih dan diskriminatif.
Koalisi menilai ketidakberadaan payung hukum yang komprehensif menyebabkan masyarakat adat rentan menghadapi kriminalisasi, dan perampasan wilayah. Juga, diskriminasi, sampai kehilangan bahasa dan identitas budaya. Kondisi ini turut memicu kekerasan struktural yang terus berulang.
“Namun hingga masa sidang IV, DPR belum membentuk Panitia Kerja maupun merekomendasikan RUU ini sebagai inisiatif DPR. Padahal, tanpa pengesahan inisiatif DPR, RUU tidak bisa dibahas pada tahap selanjutnya,” kata Veni Siregar, melalui rilis yang Mongabay terima.
Veni menambahkan, mayoritas kementerian, lembaga, dan fraksi di DPR menyambut baik dan mendukung pengesahan RUU ini. Mereka juga sudah membahas isu strategis, termasuk kepastian berusaha dan pengurangan biaya ekonomi tinggi di Indonesia.
“Maka DPR seharusnya segera membahas dan mengesahkan RUU ini.”
Ada beberapa alasan utama urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat, yakni: payung hukum tunggal yang menyatukan berbagai aturan sektoral tumpang tindih, penghormatan hak tenurial atas tanah ulayat masyarakat adat, dan pengakuan hak kolektif, termasuk bagi perempuan dan anak adat.
Juga, soal keadilan ekologis, mengingat masyarakat adat terbukti lebih efektif menjaga ekosistem, dan mandat konstitusional untuk memenuhi hak-hak warga negara yang selama ini terpinggirkan.
Abdon Nababan, Juru Bicara Koalisimenegaskan, pentingnya percepatan legislasi. Koalisi menyerukan DPR segera menjadwalkan pembahasan RUU ini di Badan Legislasi, dan pemerintah aktif dalam proses harmonisasi serta pengesahan.
Selain RUU Masyarakat tersendat, penetapan wilayah hutan adat juga belum menerima tindak lanjut konkret dari Kementerian Kehutanan. Kondisi ini, katanya, mencerminkan kendala administratif dan birokrasi yang memperlambat pengakuan masyarakat adat.
Nora Hidayati, Manajer Advokasi Hukum Rakyat dari Perkumpulan HuMa mencatat, hingga kini sudah terbit 156 surat keputusan (SK) penetapan hutan adat sekitar 332.505 hektar. Namun, inventarisasi produk hukum pengaturan dan penetapan masyarakat adat di seluruh Indonesia belum menyeluruh.
Nora bilang, banyak usulan hutan adat yang melalui proses pemetaan mandek pada tahap pengesahan, baik di kementerian maupun dalam penyusunan dokumen.
Misal, sekitar 118 komunitas adat dengan wilayah yang sudah terpetakan belum menerima tindak lanjut konkret dari Kementerian Kehutanan.
“Kondisi ini mencerminkan kendala administratif dan birokrasi yang memperlambat pengakuan masyarakat adat” kata Nora dalam diskusi Sawit Watch beberapa pekan lalu.
Selain hutan adat, kearifan lokal juga menjadi jalur pengakuan penting. Berdasarkan Pasal 63 UU No. 32/2009 dan Permen LHK No. 347/2019, kearifan lokal diakui sebagai warisan budaya yang mendukung pengelolaan lingkungan.

Namun, pembentukan lembaga pengelola seperti Balai Keliring di daerah To Cerekang belum terealisasi, begitu pula di beberapa daerah lainnya.
Di tingkat daerah, kata Nora, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 menjadi dorongan utama percepatan pengakuan masyarakat hukum adat di tingkat kabupaten dan kota. HuMa mencatat, 461 produk hukum daerah terkait pengakuan masyarakat adat, dengan mayoritas berupa Surat Keputusan Bupati, 241 SK.
Pasca putusan MK 35, katanya, terjadi lonjakan signifikan pada produk hukum daerah, dengan 227 produk terkait subjek adat dan 211 produk terkait wilayah adat.
Produk hukum ini beragam, katanya, mulai dari pengaturan lembaga pelaksana, wilayah adat, peradilan adat, hingga perlindungan perempuan adat sebagai subjek hukum khusus.
Nora bilang, masyarakat adat memegang peranan krusial dalam perlindungan hutan melalui tiga aspek utama: pengetahuan lokal, pengelolaan berkelanjutan, dan aturan adat.
Pengetahuan lokal meliputi keterampilan dan filosofi warisan turun-temurun, seperti pengamatan musim berdasarkan tanda alam dan pengobatan tradisional.
“Contoh, masyarakat Dayak yang memanfaatkan tanaman pasak bumi dan bawang Dayak.”
Adapun pengelolaan berkelanjutan terwujud melalui ritual dan aturan yang melarang aktivitas tertentu di hutan larangan guna menjaga keanekaragaman hayati. Misal, larangan sementara pemanfaatan sumber daya alam sebagai bagian dari sistem nilai untuk kelestarian lingkungan.
“Aturan adat, meski tidak tertulis, memiliki kekuatan mengikat sebagai norma sosial yang menjaga keseimbangan ekosistem dan masyarakat. Contohnya, larangan membuka lahan baru di hutan pada komunitas Dayak Punan untuk menjaga kelestarian hutan dan sumber air.”
Namun, Nora menyimpulkan, pengakuan masyarakat adat di Indonesia masih sektoral dan belum terkonsolidasi dalam satu payung hukum khusus. Akibatnya, perjuangan masyarakat adat menghadapi proses birokrasi dan politik yang kompleks.
“Walaupun begitu, melalui kearifan lokal, aturan adat, dan pengetahuan turun-temurun, masyarakat adat terus berperan menjaga hutan sebagai sumber penghidupan dan pelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.”

*****
Aturan Tertibkan Kawasan Hutan, Benahi Tata Kelola atau Sebaliknya?