- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya memperluas pasar produk perikanan tuna Indonesia di tingkat global. Salah satunya, memastikan bahwa produk-produk tuna yang siap dipasarkan telah memenuhi standar keberlanjutan,
- Tornanda Syaifullah, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP katakan, saat ini, pasar tuna terbesar adalah ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Timur Tengah. Nah, sertifikat itu diperlukan untuk meyakinkan calon pembeli bahwa produk-produk perikanan Indonesia telah memenuhi standar keberlanjutan.
- KKP mengembangkan Sistem Ketertelusuran dan Logistik Ikan Nasional (Stelina), namun, platform yang tak hanya memastikan produk perikanan berasal dari praktik perikanan yang ramah lingkungan. Selain mencegah praktik penangkapan ilegal, sistem ini akan memperkuat integrasi hulu hilir yang bisa menggambarkan tentang ketertelusuran produk perikanan kepada konsumen.
- Kai Garcia Neefjes, Indonesian Programme Lead of International Pole and Line Foundation (IPNLF) mengatakan, pasar global makin menghendaki produk perikanan yang menjunjung tinggi nilai keberlanjutan. Dan, Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam pengembangan industri perikanan tuna melalui penggunaan huhate dan pancing ulur di kalangan nelayan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya memperluas pasar produk perikanan tuna Indonesia di tingkat global. Salah satunya, memastikan produk-produk tuna yang akan masuk pasar memenuhi standar keberlanjutan.
KKP menyatakan, hampir semua produk tuna sudah memenuhi standar kualitas atau keamanan produk (good manufacturing practices-sanitation standard operating procedure/GMP-SSOP), dan hazard analysis critical control point (HACCP). Meskipun begitu, perlu sertifikas keberlanjutan untuk menjangkau pasar lebih luas.
Menurut KKP, ada beberapa dokumen sertifikat yang menjadi standar keberlanjutan produk tuna, seperti sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI) yang terbit Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Marine Stewardship Council (MSC), hingga British Retail Consortium (BRC).
Tornanda Syaifullah, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP katakan, saat ini, pasar tuna terbesar adalah ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Timur Tengah. “Sertifikat itu diperlukan untuk meyakinkan calon pembeli bahwa produk-produk perikanan Indonesia telah memenuhi standar keberlanjutan,” katanya.
Pada 2024, produksi tuna Indonesia capai 16% dari total produksi dunia dengan nilai ekspor mencapai USD1,03 miliar yang menempatkannya sebagai lima eksportir terbesar di tingkat global. Tornanda memperkirakan, angka tersebut akan terus meningkat seiring permintaan global yang terus naik.
Tornanda katakan, salah satu praktik keberlanjutan itu ditunjukkan dengan penggunaan alat tangkap huhate (pole and line) dan pancing ulur (handline) untuk menangkap tuna. Kedua alat tangkap tersebut lebih ramah karena lebih selektif. Penangkapan tuna dilakukan satu per satu.

Kembangkan sistem
Saat ini, KKP juga mengembangkan Sistem Ketertelusuran dan Logistik Ikan Nasional (Stelina), sebuah platform yang tak hanya memastikan produk perikanan berasal dari praktik perikanan yang ramah lingkungan. Namun juga, bisa menjadi sistem untuk mencegah praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak dilaporkan, dan tak sesuai regulasi (IUUF) terjadi.
Menurut Tornanda, sistem ini akan memperkuat integrasi hulu hilir yang bisa menggambarkan tentang ketertelusuran produk perikanan kepada konsumen. Sistem itu menjabarkan setiap proses dan tahapan awal sampai akhir. Mulai dari data kapal penangkap, laporan hasil tangkapan, lokasi penyimpanan, dan sebagainya.
Pengembangan sistem ini sejalan dengan prinsip ketertelusuran (traceability) produk perikanan yang menjadi syarat utama perdagangan produk perikanan di pasar internasional. Melalui sistem ini, produk kelautan dan perikanan mudah terlacak dari hulu hingga hilir.
Dengan platform ini, data terkait asal-usul ikan, proses penangkapan, pengolahan, distribusi, hingga pemasaran dapat terdokumentasi secara digital. “Harapannya, ini dapat meningkatkan daya saing dan kepercayaan buyers terhadap produk perikanan Indonesia.”
Aris Budiarto, Ketua Tim Kerja Logbook dan Alokasi Kuota KKP menjelaskan, huhate dan pancing ulur lebih ramah lingkungan, karena menggunakan tongkat dan tali pancing, tanpa umpan alami. Huhate biasa menargetkan cakalang sebagai tangkapan utama. “Namun, terkadang huhate juga menangkap tuna sirip kuning yang berukuran kecil hingga sedang.”
Keunggulan huhate adalah hasil tangkapannya yang lebih selektif dan bisa mengurangi risiko tangkapan sampingan (bycatch). Selain itu, tidak merusak habitat dasar laut atau ekosistem laut, dan padat karya karena bisa menyerap banyak tenaga kerja. “Cocok untuk perikanan skala kecil dan menengah.”
Begitu juga dengan pancing ulur, lebih ramah lingkungan karena menggunakan teknik memancing tunggal (single line) dengan kail dan umpan yang diulur secara manual dari perahu. Nelayan kecil di Indonesia banyak menggunakan teknik ini.
Pengguna pancing ulur biasanya menargetkan tuna sirip kuning dan tuna mata besar dengan tangkapan sampingan yang rendah. “Ikan hasil tangkapan juga berkualitas tinggi karena ikan hidup ditangkap dan langsung ditangani, serta modal yang kecil yang cocok untuk nelayan skala kecil.”

Mendapat apresiasi
Kai Garcia Neefjes, Indonesian Programme Lead of International Pole and Line Foundation (IPNLF) mengatakan, pasar global makin menghendaki produk perikanan yang menjunjung tinggi nilai keberlanjutan. “Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam pengembangan industri perikanan tuna melalui penggunaan huhate dan pancing ulur di kalangan nelayan,” katanya.
Menurut dia, cara menangkap satu-satu dengan huhate dan pancing ulur akan bisa mendukung mata pencaharian masyarakat perikanan Indonesia. Selain itu, juga melindungi keanekaragaman hayati laut.
Kai mengatakan, Jepang yang merupakan salah satu market terbesar tuna mengapresiasi praktik perikanan tuna yang ramah dan berkelanjutan. Karena itu, mereka pun mendukung penggunaan huhate dan pancing ulur banyak negara beralih ke API lain demi mengejar produksi yang banyak dan cepat.
Dia memperkirakan, saat ini pasar global tuna bernilai USD44,3 dengan dominasi olahan dan kaleng. Sepanjang Januari – September 2024, valuasi tuna mencapai mencapai 1,17 juta ton atau senilai USD6,5 miliar.
IPNLF menyebut, permintaan paling kuat untuk bahan baku semi olahan (daging panggang beku). Hal itu tentu menjadi peluang Indonesia. Terutama karena praktik perikanan tuna yang bertanggung jawab dan berkelanjutan akan mendukung peta jalan ekonomi biru 2023-2045. “Investasi di perikanan tuna huhate sangat selektif dan memiliki dampak paling kecil pada tangkapan sampingan dan ekosistem yang rapuh,” tegasnya.
Sampai sekarang, pancing ulur masih mendominasi API yang digunakan oleh kapal perikanan tuna dengan 1.353 kapal, dan huhate menjadi yang paling sedikit dengan 117 kapal. Selain kedua API tersebut, kapal tuna Indonesia juga banyak gunakan rawai tuna dan pukat cincin.

Glaudy Perdanahardja, Manajer Senior Perikanan Berkelanjutan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mengatakan, transparansi atau keterbukaan data masih menjadi persoalan perikanan tuna saat ini. Padahal, berperan penting untuk memastikan keberlanjutan sumber daya ikan (SDI) tuna di masa depan.
Data terbuka juga akan mendukung pengelolaan perikanan tuna berbasis sains. Keterbukaan data membantu para peneliti dan manajer perikanan untuk bisa melakukan penilaian persediaan (stock assessment) yang lebih akurat. Dengan begitu, jumlah tangkapan yang diizinkan (total allowable catch/TAC) dan kuota dapat terhitung secara tepat.
Yang lebih penting lagi, kata Glaudy, mencegah praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF). “Dengan demikian, risiko akibat perhitungan stock yang tidak sesuai realitas perikanan dapat dihindari,” katanya kepada Mongabay, belum lama ini.
*****