-
Indonesia mendapatkan tambahan kuota dari Sidang Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) 2025 untuk tiga jenis tuna. Namun di balik keberhasilan itu, ada sejumlah catatan harus Indonesia perbaiki, terutama berkaitan dengan isu kepatuhan.
- Beberapa catatan perbaikan itu, mencakup kelengkapan informasi kapal dengan menyebutkan Nomor Organisasi Maritim Internasional (IMO). Itu adalah sistem penomoran yang wajib dimiliki kapal pelayaran nasional maupun internasional dan berfungsi sebagai pengidentifikasi khusus. Lalu, pelaporan data tidak sesuai dengan standar IOTC.
- Glaudy Perdanahardja, Manajer Senior Perikanan Berkelanjutan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mendorong pemerintah lebih aktif menjalin komunikasi dengan nelayan dan pelaku industri. Dengan begitu, kebijakan yang dibuat berjalan efektif karena benar-benar mencerminkan aspirasi dari bawah.
- Sampai saat ini, jumlah kapal dengan API handline mencapai 1.353 kapal, jauh mengungguli kapal dengan API jenis lain seperti rawai tuna (longline) dengan 435 kapal, pukat cincin pelagis besar dengan 744 kapal, dan huhate dengan 117 kapal.
Indonesia mendapatkan tambahan kuota dari Sidang Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) 2025 untuk tiga jenis tuna. Namun di balik keberhasilan itu, ada sejumlah catatan harus Indonesia perbaiki, terutama berkaitan dengan isu kepatuhan.
Trian Yunanda, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatakan, tuna cakalang dan tongkol (TCT) memang menjadi andalan ekspor Indonesia setelah udang. Namun, ada beberapa hal masih perlu perbaikan.
Catatan perbaikan itu, mencakup kelengkapan informasi kapal dengan menyebutkan Nomor Organisasi Maritim Internasional (IMO).
“Itu sistem penomoran yang wajib dimiliki kapal pelayaran nasional maupun internasional dan berfungsi sebagai pengidentifikasi khusus,” katanya.
Selain nomor IMO, kelengkapan informasi kapal juga mencakup nama dan alamat perusahaan yang mengoperasikan kapal, nomor registrasi perusahaan, foto, nama pelabuhan registrasi, hingga kode panggilan (callsign).
Catatan kepatuhan lain yang wajib Indonesia perbaiki berikutnya berkaitan dengan pelaporan data tidak sesuai dengan standar IOTC. Ia meliputi, data tangkapan dan usaha penangkapan untuk perikanan pesisir, permukaan, dan jaring pancing. Juga, data frekuensi ukuran untuk perikanan pesisir, permukaan, dan jaring pancing dan data tangkapan dan usaha penangkapan, serta frekuensi ukuran untuk hiu.
Selanjutnya, berkaitan dengan tidak ada regulasi pembatasan ukuran ikan untuk jenis ikan berparuh (billfish). Begitu juga cakupan dan pelaporan observer, juga masih menjadi catatan yang perlu perbaikan.
Yunan bilang, selama ini, kapal tuna Indonesia masih belum bisa memenuhi aturan persentase cakupan pengamatan oleh observer minimal 5%. Selain itu, laporan pengamatan oleh observer juga dia nilai masih belum sesuai standar.
“Catatan lain yang juga harus diperbaiki berkaitan dengan pelaporan inspeksi dan pelaporan aktivitas penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF).”
Kapal tuna Indonesia dinilai masih belum memenuhi standar laporan inspeksi dan laporan kapal yang terlibat dalam IUUF setelah inspeksi pelabuhan dilaksanakan.

Alat tangkap
Muhammad Billahmar, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) mengapresiasi capaian Indonesia pada forum IOTC. Sejauh ini, katanya, perikanan tuna Indonesia masih didominasi kapal dengan alat penangkapan ikan (API) jenis pancing ulur tuna (handline).
Berdasar data yang dia miliki, sampai saat ini, 1.353 kapal dengan API handline, jauh mengungguli kapal API jenis lain seperti rawai tuna (longline) dengan 435 kapal, pukat cincin pelagis besar dengan 744 kapal, dan huhate dengan 117 kapal.
Walau pancing ulur tuna mendominasi, namun struktur usaha perikanan tuna dapat berubah karena dipengaruhi banyak faktor. Di antaranya, biaya operasi yang meningkat disebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pungutan hasil perikanan (PHP) naik, hasil dan daerah tangkapan, hingga produktivitas alat tangkap. Situasi itu kerap menjadikan kapal-kapal mengubah API yang lebih sesuai.
Billah menjelaskan, ada sejumlah tantangan dihadapi perikanan tuna Indonesia saat ini. Pertama, inkonsistensi kebijakan yang kerap berubah-ubah. Kedua, berkaitan dengan kebikajan pemerintah yang membuka kembali penanaman modal asing (PMA) untuk penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dengan sejumlah persyaratan.
“Kehadiran PMA juga memunculkan pertanyaan, apakah saat ini sumber daya ikan (SDI) sedang surplus, sehingga PMA diperbolehkan memanfaatkannya?” Pertanyaan ini sangat wajar mengingat sudah ada pengalaman sebelumnya berkaitan dengan buka tutup PMA.
Terakhir, masalah utama nelayan dan pelaku usaha perikanan tangkap tuna adalah pada zonasi penangkapan ikan terukur (PIT). Semua masalah itu harus dicarikan jalan keluar, agar nelayan dan pelaku usaha bisa semakin nyaman.

Peran pemerintah
Glaudy Perdanahardja, Manajer Senior Perikanan Berkelanjutan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mendorong pemerintah lebih aktif menjalin komunikasi dengan nelayan dan pelaku industri.
Dengan begitu, kebijakan yang dibuat benar-benar mencerminkan aspirasi dari bawah. “Nelayan dan industri bisa berperan aktif untuk mengkomunikasikan kepentingan dan concern-nya,” katanya kepada Mongabay.
Terkait PMA bisa kembali di sektor perikanan tangkap, kata Glaudy ada persyaratan harus terpenuhi. Meskipun begitu, katanya, investasi baru akan meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan SDI dan berdampak pada habitat ikan.
Untuk itu, , Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota menjadi kunci guna mencegah penangkapan berlebih. “Ini bisa jadi basis untuk meregulasi perikanan maupun investasi.”
Berkaitan dengan pemanfaatan tuna di masa surplus produksi, dia menilai PMA bisa memanfaatkannya, baik dengan status sebagai badan hukum Indonesia ataupun asing. Secara teori, keduanya bisa dilakukan.
Tuna memang menjadi komoditas andalan, baik dari nelayan dan pelaku usaha. Sampai saat ini ada empat API yang banyak digunakan, yakni, pancing, mencakup pancing ulur dan tonda.
Pancing ulur adalah alat tangkap ramah lingkungan dan selektif, namun membutuhkan banyak tenaga dan waktu terutama dengan target ikan tuna berukuran besar. Sementara, tonda adalah pancing yang ditarik dengan kapal bergerak, efisien pada area yang luas, namun pengoperasian yang berada di permukaan perairan menghasilkan ikan dengan ukuran yang lebih kecil, termasuk juvenile tuna.
Kemudian, longline adalah alat tangkap dengan sistem kerja menggunakan tali utama yang panjang dengan dipasang banyak mata pancing. Alat tangkap tersebut memiliki target spesifik pada ikan tuna ukuran besar.
“Alat tangkap ini selektif, namun resiko by catch seperti hiu, penyu dan burung laut, sehingga perlu adanya mitigasi yang tepat,” kata Glaudy.
Selanjutnya, ada API pole and line atau di Indonesia timur disebut huhate. Alat tangkap ini banyak digunakan nelayan dengan menggunakan tongkat (pole) dan mata pancing yang dibantu umpan hidup dengan percikan air untuk menarik cakalang dan tuna.
Biasanya, pemakaian pole and line di permukaan air oleh kapal lebih 30 GT dan sering menangkap juvenile tuna. Kelemahannya, alat tangkap ini tergantung pada ketersediaan umpah hidup.
Terakhir, purse seine. API adalah jaring yang membentuk lingkaran untuk mengitari kawanan ikan, dengan kantong terbentuk dari tali bawahnya ditarik. “Efisien menangkap banyak ikan (bulky fisheries), namun kurang selektif, dan risiko by catch yang tinggi seperti juvenile tuna,” katanya.
Dari empat API yang banyak dipakai pada kapal perikanan tuna, pancing ulur menjadi primadona. Pole and line menjadi paling sedikit. “Pancing ulur atau handline banyak ditemukan pada perikanan skala kecil, karena tidak membutuhkan investasi yang besar.”
*****
Menyoal Keberlanjutan Kala Usaha Perikanan Tuna di Benoa Tangkap Hiu