- Dua spesies baru katak bertaring dari Kalimantan berhasil diidentifikasi. Masing-masing diberi nama Limnonectes maanyanorum sp.nov. dan Limnonectes nusantara sp. nov.
- Taring pada kelompok Limnonectes ini terutama digunakan sebagai senjata dalam male-male combat atau pertarungan antar jantan untuk mempertahankan teritori mereka dan memperebutkan betina saat musim kawin tiba.
- Taring ini juga mungkin merupakan bentuk adaptasi pada habitat di sekitar aliran sungai berbatu yang memiliki mangsa seperti ikan-ikan kecil, udang, dan kepiting (untuk menyergap atau memegang mangsanya).
- Dari 475 jenis amfibi di Indonesia, hingga saat ini hanya satu jenis yang dilindungi pemerintah, sementara jenis lain yang bertatus Endangered hingga Critically Endangered masih menunggu untuk dilindungi.
Tim peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aichi University of Education, Kyoto University, dan Universitas Palangkaraya, berhasil mengidentifikasi dua jenis katak baru dari Pulau Kalimantan.
Dikutip dari BRIN, kedua jenis katak tersebut berasal dari genus Limnonectes yang dijuluki Fanged Frog atau katak bertaring. Masing-masing diberi nama Limnonectes maanyanorum sp.nov. dan Limnonectes nusantara sp. nov.

Mereka memiliki kisah penamaan dan lokasi uniknya masing-masing. Katak Maanyan (Limnonectes maanyanorum sp. nov.), ditemukan di sekitar Gunung Karasik, Kalimantan Tengah.
Nama ilmiahnya diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada masyarakat adat Dayak Maanyan yang mendiami wilayah tersebut. Uniknya, penduduk setempat mengenali katak ini sebagai “Senteleng Watu,” yang berarti “katak batu”.
Sementara Katak Nusantara (Limnonectes nusantara sp. nov.), dikenal oleh masyarakat Dayak Meratus dengan sebutan “Lampinik”. Ia ditemukan di area Loksado dan Paramasan, Kalimantan Selatan.
“Spesies baru ini sebelumnya tertukar dengan L. kuhlii, yang lokasi tipenya di Jawa, tetapi diketahui mewakili garis keturunan berbeda secara genetik,” tulis penelitian Gonggoli dan kolega (2025), yang dipublikasikan dalam jurnal Zootaxa, Januari 2025.

Menurut Amir Hamidy, Profesor Riset Herpetologi PRBE BRIN sekaligus penulis penelitian tersebut, dia sudah bertemu katak itu sejak tahun 2010, atau sekitar 15 tahun lalu.
Dijelaskannya, saat itu Amir tengah menyelesaikan program doktoral, dan memutuskan untuk melakukan sampling di sekitar Paramasan, yang merupakan bagian dari lanskap Pegunungan Meratus.
Persis di pinggir jalan, dia melihat aliran sungai kecil yang tertutup sinar matahari dan memutuskan untuk melakukan sampling malam hari.
“Saat itu, saya juga belum tahu kalau itu adalah jenis baru karena secara morfologi memang jenis ini sangat mirip satu sama lain. Dan kelompok Limnonectes kuhlii ini pertama kali ditemukan di Pulau Jawa, tetapi nama tersebut digunakan pada semua populasi di seluruh wilayah Asia dan Asia Tenggara,” terangnya, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (19/7/2025).
Pada 2016, ada pemetaan secara genetik untuk spesies amfibi di Malaysia, Sabah, dan Kalimantan, dan ternyata dari kelompok L. kuhli ini punya belasan spesies yang belum punya nama. Termasuk dua spesies baru di Kalimantan, dan sisanya berada di Sabah dan Sarawak (14 spesies).
Lalu, Amir mendorong mahasiswanya, Ade Damara Gonggoli, yang merupakan penulis pertama penelitian tersebut sekaligus orang asli Dayak, untuk melakukan penelitian dan mendeskripsikan dua jenis tersebut.
“Secara morfologi memang mirip-mirip, tetapi screening kita melalui barcoding DNA. Ini sangat ampuh mendeteksi jenis baru. Selain itu, karena database katak dunia ini sudah lengkap, saat kita menemukan spesies, bisa kita tes DNA dengan short sequence, disitu akan langsung ketahuan, ini jenis baru atau bukan,” jelasnya.

Kegunaan taring
Baik katak jantan dan betina di kelompok Limnonectes, keduanya memiliki tonjolan di rahang bawah yang terlihat seperti taring. Namun, jantan memiliki taring lebih panjang dibandingkan betina.
Secara sederhana, menurut Amir, kelompok Limnonectes terbagi dua, yakni kelompok besar dan kecil. Betina pada kelompok kecil, lebih besar dibandingkan jantan, sedangkan yang kelompok besar, jantannya lebih besar ketimbang betina.
“Jantan pada kelompok besar juga membentuk kepala dan otot tangan lebih besar. Mereka juga sangat teritorial.”
Setiap pejantan memiliki teritori yang akan dipertahankan dari jantan lainnya. Wilayah ini berguna untuk menarik perhatian para betina, agar mau kawin dan bertelur di teritori mereka. Sifat inilah yang kemudian memicu adanya male-male combat (pertarungan antar jantan) pada saat musim kawin.
“Dalam proses itu mereka saling menggigit. Dua taring itu digunakan untuk pertarungan tersebut, ” kata Amir. “Uniknya, sebagian besar kelompok katak yang menumbuhkan taring ini juga tidak menggunakan suara atau panggilan kawin yang umum dilakukan katak.”

Kelompok ini biasanya hidup di derah sungai yang berbatu. Taring ini juga, bisa jadi merupakan bentuk adaptasi di habitat mereka yang didominasi mangsa-mangsa seperti ikan-ikan kecil, udang, kepiting, dan lainnya.
“Karena mangsa berbeda dari katak yang hidup di daratan atau sekitar pohon, mereka membutuhkan rahang kuat untuk memegang atau menyergap mangsanya.”
Di kalangan peneliti, sebenarnya kelompok katak bertaring sudah sangat dikenal. Tetapi, karena masing-masing jenis memiliki kemiripan yang hampir sama, banyak orang tidak terlalu sadar dengan perbedaan mereka satu sama lain.
“Masih sangat minim yang mempelajari perilakunya, serta sejarah evolusinya sangat menarik.”
Selain itu, yang perlu digali lebuh jauh adalah ekologi spesies ini, karena dalam satu lanskap sungai, bisa terdapat beragam spesies Limnonectes berbeda. Sehingga, sangat memungkinkan setiap spesies menempati relung-relung habitat yang punya spesifikasi khusus.
“Perilaku juga mungkin berbeda, baik kawin, preferensi mangsa, dan lainnya,” kata Amir.

Dilindungi
Dua jenis katak baru ini sejak lama dijadikan sebagai sumber protein bagi masyarakat sekitar. Meski demikian, kondisi sungai yang masih terjaga, memastikan populasi mereka masih cukup melimpah saat ini.
Ini juga didukung kearifan masyarakat lokal yang menangkap katak tersebut dengan tangan kosong, tanpa alat bantu merusak seperti setrum dan lainnya.
“Yang menjadi ancaman utama adalah perubahan iklim global. Ini juga yang menjadi ancaman jenis-jenis katak lain di seluruh dunia.”
Dijelaskan Amir, hanya sedikit katak aktif siang hari, karena mereka sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan perubahan suhu, juga perubahan pola musim. Misalnya kemarau jadi hujan dan hujan jadi kemarau.
“Ini akan mengacaukan siklus reporoduksi katak yang memiliki siklus hidup di darat dan air,” lanjut Amir.
Dikutip dari situs BRIN, Indonesia tercatat memiliki 475 jenis amfibi yang mewakili kekayaan jenis 6,5 persen amfibi global. Namun, hingga saat ini hanya satu jenis amfibi yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia, yakni Leptophryne cruentata, atau dikenal dengan nama kodok merah.
Ia merupakan spesies endemik Jawa dan hanya ditemukan di beberapa lokasi di Jawa Barat, seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Berdasarkan Daftar merah Spesies Terancam Punah IUCN, jenis ini berstatus kritis (Critically Endangered/CR).
“Minimnya spesies amfibi yang dilindungi di Indonesia, bukan berarti populasi amfibi ini aman secara global. Kalau kita lihat status IUCN, banyak spesies amfibi di Indonesia yang sudah CR. Itu lampu kuning, dan harus segera dipertimbangkan untuk dilindungi,” kata Amir.
Sebagai informasi, dikutip dari website Daftar Spesies Amfibi di Indonesia menurut IUCN 2021 yang dikelola Universitas Gadjah Mada, adapun sejumlah spesies amfibi yang belum dilindungi namun berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) adalah Philautus jacobsoni dan Occidozyga tompotika. Sementara spesies seperti Oreophryne zimmeri, Philautus cornutus, Pulchrana centropeninsularis saat ini berstatus Genting (Endangered/EN), dan masih ada jenis lain yang menanti untuk dilindungi.
“Dalam evaluasi status perlidungan jenis-jenis amfibi, sudah saatnya kita perlu mempertimbangkan jenis-jenis yang bisa dilindungi. Terutama, yang sudah masuk kategori Critically Endangered dan Endangered,” tutur Amir.
Referensi:
Gonggoli, A. D., Shimada, T., Matsui, M., Nishikawa, K., Sidik, I., Kadafi, A. M., Farajallah, A., & Hamidy, A. (2025). Two new species of fanged frog from Southeastern Borneo, Indonesia (Amphibia: Anura: Dicroglossidae). Zootaxa, 5575(3), 387–408.
*****