- Organisasi masyarakat sipil mendorong Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji formil Undang-undang (UU) Nomor 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi). Apalagi, Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 mengharuskan uji formil wajib diputus dalam waktu 60 hari sejak Presiden memberikan keterangan resmi.
- Viktor Santoso, kuasa hukum penggugat, menyebut, Presiden telah memberikan keterangan pada 28 April 2025. Jadi, harusnya MK sudah mengeluarkan putusan pada 28 Juni 2025.
- Secara substansi, UU Konservasi juga bermasalah. Menurut Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara, perluasan kawasan konservasi laut (MPA) di bawah regulasi ini tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat pesisir.
- Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menilai UU KSDAHE cacat ideologis dan fungsional. Regulasi ini, katanya, tidak mengakomodasi Pasal 18H ayat 2 dan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 yang menjamin perlindungan dan penghormatan masyarakat adat.
Organisasi masyarakat sipil mendorong Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji formil Undang-undang (UU) Nomor 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi). Apalagi, Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 mengharuskan uji formil wajib diputus dalam waktu 60 hari sejak Presiden memberikan keterangan resmi.
Viktor Santoso, kuasa hukum organisasi masyarakat sipil, menyebut, presiden telah memberikan keterangan pada 28 April 2025. Jadi, seharusnya MK sudah mengeluarkan putusan 28 Juni 2025.
“Ini menjadi perkara formil pertama yang melewati 60 hari kalau kita hitung sejak presiden memberikan keterangan di persidangan,” katanya dalam diskusi di Jakarta, 4 Juli 2025.
Untuk itu, dia mengingatkan MK segera memutus perkara. Semakin melewati batas waktu, maka akan banyak persoalan timbul di lapangan.
Permohonan uji formil UU Konservasi ini masyarakat sipil layangkan 18 September 2024, dengan nomor perkara 133/PUU/PAN.MK/AP3/09/2024. mereka menganggap proses pembentukan regulasi ini cacat secara formil.
Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyerukan hal serupa. Dia minta MK segera memutus dan mengabulkan permohonan masyarakat sipil
“Mahkamah Konstitusi ini adalah guardian of constitution atau garda atau gerbang terakhir untuk menjaga dan melindungi konstitusi kita,” katanya.
Dia khawatir, belum adanya putusan final dari MK jadi celah hukum pemerintah membuat aturan turunan UU Konservasi.
Meskipun, MK dalam putusan selanya, mewajibkan pemerintah untuk tidak membahas aturan turunan dari UU Konservasi ini. Tetapi, beberapa pemerintah daerah dan kementerian justru melakukan hal sebaliknya.
“MK memerintahkan pemerintah untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana sampai dengan adanya putusan akhir, tapi tidak menyebutkan atau tidak menambahkan frasa tidak membahas. Itu menjadi satu kekosongan ataupun celah hukum yang dimanfaatkan pemerintah,” katanya.
Bukan tidak mungkin jika MK mengabulkan permohonan uji formil tersebut yang artinya membatalkan UU 32/2024, pemerintah justru membuat UU Konservasi baru. Dalam kondisi itu, dia berharap pembuatan UU baru akan melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat.
“Full participation itu harus ada. Masyarakat adat, masyarakat pesisir, dan juga masyarakat lokal itu harus terlibat secara aktif, full dan secara aktif,” katanya.
Ketidakterlibatan masyarakat ini lah yang menjadi salah satu materi gugatan. Viktor bilang, pembuatan UU ini tanpa menyentuh para pihak yang berkaitan dengan ekosistem sumber daya alam hayati seperti masyarakat adat dan lokal.
Kecacatan lain terlihat dari tidak terpenuhinya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Viktor menyebut, tidak adanya pasal yang mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum atau pelaku konservasi.
Padahal, masyarakat adat dan lokal memiliki praktik konservasi berdasarkan kearifan lokalnya masing-masing. Seperti praktik tanah ulen, leuweung titipan, sasi, awig-awig, panglima laot, dan sebagainya.
Kemudian, ketentuan areal preservasi juga pemohon nilai tidak jelas dan tidak menjawab tuntutan untuk mengakui aktor konservasi lain di luar negara. Penetapan areal konservasi, terkesan hanya berorientasi pada penambahan kawasan konservasi tanpa memperhatikan aspek hak dan distribusi manfaat.
Terutama, Pasal 9 ayat (1) UU 32/2024 yang mempersempit ruang lingkup areal preservasi yang sebatas mempertahankan fungsi perlindungan wilayah dengan melakukan tindakan konservasi.
UU ini juga tidak mengakomodasi pasal yang mengatur persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa) atau free, prior, informed consent (FPIC) dalam penetapan area konservasi dan preservasi.
Kecacatan formil UU Konservasi juga terlihat dari tidak terpenuhinya asas keterbukaan. Masyarakat tidak bisa mengakses naskah akademik maupun RUU secara mudah.
DPR mulai menyiapkan RUU Konservasi sejak 2016 dengan nama RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Kala itu, belum intensif dan belum sepenuhnya DPR dan pemerintah setujui.
Lalu, proses legislasi dengan nama RUU Konservasi mereka mulai sejak April 2021. Selama proses penyusunan, publik tidak dapat mengakses 20 dokumen hasil rapat atau proses pembahasan UU di website DPR.
Sebab itu, dalam uji formil ini, para pemohon ingin MK menyatakan UU Konservasi ini bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon juga ingin MK menyatakan UU Konservasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.”

Abaikan dan kriminalisasi masyarakat
Secara substansi, UU Konservasi juga bermasalah. Menurut Fikerman, perluasan kawasan konservasi laut (MPA) di bawah regulasi ini tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat pesisir.
Menurut dia, regulasi ini sangat berisiko mereduksi hak-hak masyarakat, baik masyarakat adat maupun komunitas lokal yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Praktik penetapan kawasan konservasi kerap abai dengan prinsip dan budaya masyarakat setempat.
Contoh, praktik konservasi di Pulau Komodo yang justru hanya mengubah kehidupan masyarakat di sana, Warga semula nelayan beralih menjadi pemandu wisata atau pekerjaan lain yang berkaitan dengan pariwisata. Hal serupa terjadi di Wakatobi dan Bunaken, Sulawesi Utara.
Di Sumatera Utara, masyarakat yang bergabung dengan Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN) sebenarnya sudah melakukan praktik konservasi. Namun, wilayah itu justru tidak pemerintah masukkan dalam wilayah konservasi.
“Jadi hubungan ini juga semakin jelas terlihat bahwa antara UU Konservasi dan UU Penataan Ruang yang dalamnya terdapat kawasan konservasi juga menjadi alat tersendiri untuk negara melakukan perampasan ruang yang sudah direncanakan bahkan dari kebijakan,” katanya.
Kriminalisasi menjadi ancaman nyata dalam UU Konservasi. Fahrizal, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), mengatakan, UU Konservasi menimbulkan sejumlah kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
“Kami beberapa kali mendampingi masyarakat adat yang itu dikriminalisasi karena hidup berdampingan dengan wilayah-wilayah konservasi,” katanya.
Tahun 2024, PPMAN mendampingi dan mengadvokasi empat warga adat penganut kepercayaan Jingitiu di Kabupaten Sabu Raijua, NTT. Negara mengriminalisasi mereka yang hanya mengambil kayu di wilayah konservasi.
Mirip dengan Mikael Ane dari Komunitas Adat Gendang Ngkiong, Manggarai Timur. Kriminalisasi padanya terjadi karena mengambil kayu di kawasan hutan untuk bikin rumah.
Kemudian, kasus Ibu Sona dari Komunitas Adat Talang Mamak di Riau. Dia kena tuduh membakar hutan. Pengadilan kemudian memutuskan Sona bersalah dan vonis satu tahun penjara.
Sementara, Komunitas Adat O’Hongana Manyawa—sering disebut Tobelo Dalam—yang tinggal di Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Halmahera, Maluku Utara, tak boleh berburu dan mengambil kayu di taman nasional itu.

Jauhkan manusia dan alam
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menilai, UU Konservasi cacat ideologis dan fungsional. Regulasi ini, katanya, tidak mengakomodasi Pasal 18H ayat 2 dan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 yang menjamin perlindungan dan penghormatan masyarakat adat.
UU ini juga memisahkan manusia dengan wilayah hidupnya. Konsekuensinya, peradaban masyarakat adat runtuh.
“Karena pengetahuan cara hidup, tatanan hidup masyarakat adat itu melekat dengan ekologinya. Kalau dia tinggal dalam kawasan hutan, peradabannya itu melekat dengan ekologi hutan tersebut. Ketika dia dipisahkan dengan hutan, maka peradabannya itu mengalami keruntuhan.”
Dari pengamatannya, kepunahan beberapa jenis makhluk hidup juga terjadi sejak negara memisahkan masyarakat adat dengan wilayah tersebut. Menunjukkan ketidaksanggupan negara menjaga kawasan hutan di Indonesia.
Seharusnya, UU Konservasi justru secara mendasar mengubah paradigma yang bermasalah. Ia harus bisa mengakui hak hidup dan hak mengembangkan kebudayaan masyarakat adat dalam suatu wilayah ekosistem.
Sayangnya, UU ini justru membuka celah aktivitas pertambangan geothermal dalam kawasan konservasi. “Misal, memperbolehkan aktivitas geothermal di taman nasional, atas dasar apa geothermal bisa dilakukan di kawasan konservasi?”

*****