- Penertiban kebun sawit dalam Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) makin gencar dengan Nusron Wahid, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), menyebut, akan mencabut sertifikat hak guna usaha (SHGU) perkebunan sawit kalau ada yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi itu. Organisasi masyarakat sipil menyambut positif niatan itu, namun mendorong pengusutan dalang penerbitan sertifikat di kawasan konservasi itu.
- Dari luas Taman Nasional Tesso Nilo, hanya sekitar 24% atau kurang lebih 19.000 hektar yang masih berupa hutan, sisanya telah berubah menjadi areal terbuka, mayoritas pemukiman dan kebun sawit ilegal. Ini melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024, yang melarang perubahan keutuhan kawasan pelestarian alam.
- Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengapresiasi niat baik tersebut. Dia setuju adanya pemberantasan aktivitas ilegal di kawasan konservasi, serta pemulihan Tesso Nilo. Namun, hal itu belum cukup. Fenomena banyaknya sertifikat perkebunan sawit di kawasan konservasi menurutnya bukan sekadar permasalahan administratif.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, juga menyerukan pengusutan tuntas aktivitas ilegal di Tesso Nilo. Dia meyakini sertifikat kebun sawit di kawasan konservasi bukan karena pemerintah kecolongan. Dia menduga, banyak pihak yang terlibat dalam ‘permainan’ sertifikat ini.
Penertiban kebun sawit dalam Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) makin gencar dengan Nusron Wahid, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), menyebut, akan mencabut sertifikat hak guna usaha (SHGU) perkebunan sawit kalau ada yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi itu. Organisasi masyarakat sipil menyambut positif niatan itu, namun mendorong pengusutan dalang penerbitan sertifikat di kawasan konservasi itu.
Nusron menyatakan pencabutan SHGU itu usai rapat kerja dengan Komisi II DPR, Selasa (1/7/25). Melansir Antara, politikus Partai Golkar ini menyebut langkah itu akan dia ambil untuk menertibkan penggunaan lahan secara ilegal dan menjaga TNTN.
“Kita cabut (sertifikatnya), kalau itu kawasan hutan, kita cabut sertifikatnya,” ucapnya.
Sebelumnya, Sapto Aji Prabowo, Direktur Konservasi Kawasan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), juga memastikan tidak akan membiarkan ada aktivitas ilegal di TNTN.
Dari luas TNTN, sekitar 24% atau 19.000 hektar masih berupa hutan, sisanya berubah menjadi areal terbuka, mayoritas pemukiman dan kebun sawit ilegal. Hal itu melanggar aturan antara lain, UU Nomor 32/2024 soal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang melarang perubahan keutuhan kawasan pelestarian alam.
Pemerintah, katanya, akan melindungi habitat penting satwa kunci seperti gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan harimau Sumatera (Panthera tigris sondaica) itu.
“Tindakan-tindakan tegas akan terus diambil untuk memulihkan, melindungi, dan mengelola Taman Nasional Tesso Nilo,” katanya, dalam laman resmi Kemenhut.
Banyak pihak terlibat
Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengapresiasi niat baik ini. Langkah penting, katanya, upaya pemberantasan aktivitas ilegal dan pemulihan TNTN. Namun, belum cukup dengan fenomena banyak sertifikat perkebunan sawit di kawasan konservasi itu bukan sekadar permasalahan administratif.
“Pencabutan sertifikat, tapi pertanggungjawaban pidananya harusnya tetap ada, enggak hapus loh,” katanya saat Mongabay hubungi, Minggu (6/7/25).
Dia bilang, ada banyak potensi delik pidana dalam sertifikasi perkebunan sawit di TNTN yang harus otoritas hukum telusuri. Salah satunya, dugaan pemalsuan dokumen.
“Penegak hukum harus cerdas. Aneh kalau dia enggak bisa menemukan sebanyak itu terkait dengan delik-delik yang terkait dengan penggunaan dokumen palsu.”
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, juga menyerukan pengusutan tuntas aktivitas ilegal di TNTN. Dia meyakini sertifikat kebun sawit di kawasan konservasi bukan karena pemerintah kecolongan.
Apalagi, permasalahan ini sudah menahun. Dugaannya, banyak pihak yang terlibat dalam ‘permainan’ sertifikat ini.
“Kalau kebobolan ya nggak mungkin karena itu jelas statusnya [kawasan konservasi]. Jadi memang ada permainan,” terangnya.
Berdasarkan pemantauan Greenpeace, alihfungsi kawasan konservasi menjadi perkebunan sawit secara eksponensial terjadi pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan, sampai mendapat perhatian internasional. Saat itu Menhut dijabat oleh Zulkifli Hasan (Zulhas).
Pada 2013, sempat terjadi ketegangan antara Zulhas dan aktor Harrison Ford. Aktor kawakan Hollywood itu berkunjung ke TNTN untuk keperluan film dokumenter Years of Living Dangerously tentang perubahan iklim. Dia geram melihat kondisi TNTN yang rusak dan tutupan hutannya tinggal sedikit.
Meski menjadi sorotan, tidak ada tindakan tegas yang pemerintah ambil saat itu. Malahan, lanjutnya, makin banyak sertifikat kebun sawit di kawasan konservasi.
Padahal, UU 41/1999 tentang Kehutanan melarang itu. Rio, sapaan akrabnya, menyebut, analisis spasial Greenpeace menunjukkan, 355 hektar tutupan hutan hilang di TNTN sepanjang 2020.
Sementara Pasal 50 UU itu melarang setiap orang merambah kawasan hutan, menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Sanksinya adalah pidana.
Pasal 21 UU Perkebunan juga melarang penggunaan tanah untuk perkebunan tanpa izin. “Jangankan kawasan taman nasional, kawasan hutan aja itu enggak boleh.”

Usut aktornya
Laporan WWF yang berjudul Palming Off a National Park: Tracking Illegal Oil Palm Fruit in Riau, Sumatera menyebut, kawasan TNTN mengalami perambahan besar-besaran untuk perkebunan sawit ilegal sejak 2002. Pada 2006, perambahan terjadi di area seluas 14.165 hektar, tahun 2008 mencapai 14.704 hektar dan 16.305 hektar tahun 2009. Tahun 2012, WWF mencatat 36.353 ha kebun sawit ilegal aktif di dalam kawasan TNTN.
WWF menemukan indikasi keterlibatan atau kelalaian dari sejumlah otoritas dan pemangku kebijakan yang memungkinkan terjadinya perambahan hutan dan perdagangan TBS ilegal. Dalam laporan itu disebut BPN Indragiri Hulu tercatat mengeluarkan 515 sertifikat tanah melalui program Pronas Swadaya (1998–1999).
Kemudian, mereka mencatat adanya kepala desa dan camat yang mengeluarkan surat penguasaan lahan yang melegalkan transaksi tanah dalam kawasan hutan.
Menurut Rio, satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang gencar kerja di TNTN harus menelusuri dugaan penyuapan dalam polemik sertifikat di kawasan konservasi ini. Pasalnya, BPN lah yang menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM)
“Makanya dia bukan hanya izin-izinnya dicabut, tapi orang-orang di situ harus diusut juga,” ujarnya.
Juni lalu, Tim Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah (Polda) Riau menangkap seorang tokoh adat berinisial JS yang mereka duga memperjualbelikan kawasan hutan. JS telah mengeluarkan lebih dari 100 surat hibah palsu.
Rio bilang, banyak juga kebun sawit di TNTN bermula dari Surat Keterangan Tanah (SKT) yang kepala desa atau lurah keluarkan. Namun, jangan hanya warga biasa yang kena jerat.
Penerima surat hibah, hingga otoritas yang berwenang juga harus pemerintah periksa. Pemerintah tidak boleh tebang pilih dan harus berani menindak aktor-aktor besar.
Dalam sertifikat, biasanya terdapat sejarah penguasaan tanah. Dia yakin, pejabat-pejabat pasti mengetahui sertifikat ini seharusnya tidak dengan mudah diberikan.
“Kenapa sertifikatnya diberikan? berarti ada kongsi, ada aktor-aktor yang sudah saling berkaitan dan bermain di situ. Termasuk, petua adatnya bisa jadi dia sengaja atau dimanipulasi.”
Secara perdata, lanjutnya, pelaku yang membuka kebun di kawasan konservasi TNTN seharusnya juga kena denda. Kerusakan lingkungan harus menjadi perhitungan.
“Karena seharusnya negara mendapatkan pendapatan potensial dari kawasan hutan yang hilang itu. Itu harus dilihat sebagai kerugian negara.”
Menurut dia, penuntasan permasalahan ini terletak di kemauan pemerintah dan penegak hukum. Sebab, banyak acuan aturan yang bisa mereka gunakan dalam penegakan hukum, sehingga tidak akan ada lagi celah pengulangan masalah.
Data Kemenhut menunjukkan, dari luas TNTN 81.739 hektar, sekitar 40.000 hektar beralih fungsi menjadi perkebunan sawit ilegal dan permukiman warga. Rio berharap, pemerintah dan penegak hukum serius mengentaskan permasalahan ini karena kerusakan dan kerugiannya sudah nyata terjadi.
Kalau pemerintah tidak berhasil melakukan upaya penegakan hukum dan menyelesaikan konflik di TNTN, dia khawatir kejadian serupa terjadi di wilayah lain.
“Banyak sekali undang-undang, bahkan regulasi, peraturan pemerintah, peraturan menteri, yang menjelaskan upaya-upaya penegakan hukum yang harus dilakukan, tapi itu tidak dilakukan selama ini.”
Boy mengingatkan, penegak hukum agar tak menindak serampangan. Dia sadar, semangat perlindungan lingkungan di UU Cipta Kerja sangat lemah. Pasal 110A dan 110B, misal, justru memberikan pengampunan, baik bagi perorangan maupun perusahaan yang membuka perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.
Pasal 110A menerapkan keterlanjuran bagi perusahaan ilegal di dalam kawasan hutan sebelum UU Cipta Kerja berlaku untuk memenuhi persyaratan dengan batas waktu tiga tahun. Jika tidak, akan kena sanksi pembayaran denda administratif hingga pencabutan perizinan.
Pasal 110B, menerapkan sanksi pemberhentian sementara hingga denda administratif bagi perorangan yang melakukan aktivitas ilegal di kawasan hutan.
“UU Ciptaker itu sendiri juga memang jadi tantangan penegakan hukum,” ujarnya.
Pemerintah memang telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Perpres ini berisi pembentukan Satgas PKH dan memungkinkan penyelesaian hukum secara pidana.
Namun, kedudukan Perpres ini di bawah UU, hingga banyak pihak menganggap terdapat inkonsistensi hukum.
“Makanya UU Ciptaker ini juga harus direvisi.”

*****
Data Satelit Tunjukkan Deforestasi di TN Tesso Nilo Masih Berlanjut