- Pulau kecil harus bebas dari eksploitasi. Karena itu, akademisi dan masyarakat sipil mengkritik langkah pemerintah yang menganakemaskan PT GAG Nikel dari pencabutan izin usaha pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Alasan lokasi perusahaan yang berjarak 40 kilometer dari kawasan wisata Geopark Raja Ampat pun tidak cukup kuat.
- Abdul Motalib, akademisi kelautan Universitas Khairun Ternate, menyebut, pencemaran lingkungan tidak bisa hanya melihat jarak. Walau puluhan kilometer, material sedimen tambang yang tersuspensi menurutnya tetap dapat mencapai lokasi tersebut.
- Muhammad Karim, dosen Universitas Trilogi, menilai tambang di pulau-pulau kecil lebih banyak menciptakan kemiskinan dan ketimpangan ketimbang kesejahteraan. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin di Maluku Utara per September 2024 mencapai 79,69 ribu orang. Di Papua Barat Daya, angkanya mencapai 96,81 ribu orang.
- Parid Ridwanuddin, Team Leader Kelautan Auriga Nusantara mengatakan ada aturan-aturan bermasalah yang memberikan ruang untuk penambangan nikel di pulau-pulau kecil dan berpotensi merusak ekosistem serta wilayah konservasi laut. Misalnya UU Cipta Kerja Pasal 35A yang melegalkan pengubahan wilayah konservasi ke wilayah eksploitasi.
Pulau kecil harus bebas dari eksploitasi. Karena itu, akademisi dan masyarakat sipil mengkritik langkah pemerintah yang menganakemaskan PT GAG Nikel dari pencabutan izin usaha pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Alasan tak cabut izin karena lokasi perusahaan yang berjarak 40 kilometer dari kawasan wisata Geopark Raja Ampat pun menuai kritik.
Abdul Motalib, akademisi kelautan Universitas Khairun Ternate, menyebut, pencemaran lingkungan tak bisa hanya melihat jarak. Walau puluhan kilometer, material sedimen tambang yang tersuspensi menurutnya tetap dapat mencapai lokasi itu.
“Saat musim hujan, material dari Pulau Gag diproyeksikan bisa sampai ke Geopark dalam waktu yang sangat cepat, tergantung kecepatan arus air,” katanya.
Terlebih, tambang di Pulau Gag berdekatan dengan tambang-tambang lain di Sulawesi dan Maluku. Ketiganya terhubung dalam sistem Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow/ITF)—arus laut yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur.
Akibatnya, sedimen tambang dari kawasan tersebut berpotensi terbawa hingga jauh dan mencemari berbagai wilayah. Kandungan kimia dalam sedimen tambang nikel, seperti nikel, kromium, dan arsenik, juga sangat beragam dan berisiko tinggi mencemari perairan.
Dia mengatakan, proyeksi itu membutuhkan penelitian lapangan lebih lanjut, termasuk untuk menghitung waktu tempuh sedimen tersuspensi menuju kawasan Geopark.
Di luar aspek ekologis, Abdul menyoroti status Pulau Gag yang tergolong pulau kecil, hanya sekitar 6.500 hektar. Sementara, Undang-undang Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 km persegi (atau 2 juta hektar).
Pasal 35 huruf k Undang-undang itu yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan penambangan mineral di pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya” bahkan secara tegas melarang penambangan mineral di pulau kecil dan perairan di sekitarnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023, juga menyatakan tambang di pesisir dan pulau kecil dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat terpulihkan (irreversible) dan melanggar prinsip kehati-hatian serta keadilan antar generasi turut memperkuat larangan itu.

Cabut izin tambang pulau kecil
Sebelumnya, pemerintah mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, yakni PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham. Keempat IUP dicabut karena terbukti melanggar ketentuan lingkungan hidup. Sementara GAG Nikel, menurut pemerintah, sudah menjalankan proses pertambangan sesuai ketentuan.
“Itu, alhamdulillah, sesuai dengan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Karena itu juga adalah bagian dari aset negara, selama kita awasi betul,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Istana Negara, Selasa (10/6/25).
Meskipun demikian, kata Abdul, seharusnya bukan hanya empat izin tambang yang dicabut. GAG dan seluruh izin pertambangan nikel lain, terutama yang berada di pulau kecil, juga perlu dievaluasi ulang.
Dia bilang, Indonesia memiliki cadangan nikel yang besar. Dari total 139,4 juta ton cadangan dunia, sekitar 72 juta ton (52%) berada di Indonesia. Namun, produksi nikel Indonesia sudah terlalu masif.
Data U.S. Geological Survey (2016–2025) menunjukkan, produksi nikel Indonesia pada 2024 mencapai 2,2 juta ton, sementara produksi global mencapai 3,7 juta ton. Sementara, Yayasan Auriga Nusantara mencatat, hingga Mei 2025 pemerintah menerbitkan 413 izin untuk komoditas nikel. Operasi penambangan paling banyak berada di kawasan Indonesia Timur, dengan smelter terbanyak di Sulawesi Tengah.
Nikel menyebabkan hilangnya 26.100 hektar tutupan hutan di Halmahera Tengah dan 56.300 hektar di Halmahera Timur pada 2001-2022. Kondisi ini, sejalan dengan masifnya izin tambang nikel di Maluku Utara.
Laporan kolaboratif dari Forum Studi Halmahera (Foshal), Trend Asia, dan YLBHI mencatat, ada 58 izin yang mencakup area seluas 2262.743 hektar di Maluku Utara, belum termasuk kawasan industri seperti IWIP dan Harita Nickel. Di Pulau Halmahera saja terdapat 28 izin aktif.
Dampak dari pertambangan masif di pulau kecil turut memicu krisis sosial dan budaya. Secara ekologis, penambangan menyebabkan degradasi habitat berbagai organisme.
Dari sisi budaya, pertambangan nikel menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam pulau kecil. Sementara secara sosial, rusaknya ekosistem mengakibatkan hilangnya mata pencaharian, ketimpangan sosial, dan konflik antarwarga.
Abdul menjelaskan, dari hasil eksperimen, nikel dapat merangsang kalsifikasi karang dalam suhu normal. Ketika suhu meningkat, nikel memperkuat efek negatif dari pemanasan laut dan menurunkan pertumbuhan karang hingga 37%.
Banyak ekosistem laut rusak akibat tambang, dari hasil tangkapan ikan yang berkurang, budidaya rumput laut yang gagal, hingga terumbu karang yang hancur. Padahal, lanjutnya, perekonomian masyarakat pesisir sangat bergantung pada kelestarian ekosistem laut.
“Kalau dihitung-hitung, jangan-jangan nilai ekonomi dari terumbu karang kita melampaui nilai ekonominya nikel.”
Yoesep Budianto dari LaporIklim mengatakan, pulau-pulau kecil di Indonesia Timur merupakan episentrum keanekaragaman hayati laut dunia. Keanekaragaman karang batu Indonesia bahkan tertinggi di dunia (69% dari global).
“Tiga kawasan dengan biodiversitas tertinggi adalah perairan Raja Ampat, laut Halmahera dan laut Sulawesi,” katanya.
Dia bilang, ekosistem terumbu karang berkontribusi menyediakan pangan laut bagi jutaan masyarakat pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Namun, tambang nikel membuat persediaan pangan masyarakat itu berkurang.
Menurutnya, kehancuran sumber daya hayati terumbu karang akibat aktivitas ekstraktif nikel sangat nyata. Semua mengatasnamakan pembangunan.

Mitos tambang menyejahterakan
Muhammad Karim, dosen Universitas Trilogi, menilai, tambang di pulau-pulau kecil lebih banyak menciptakan kemiskinan dan ketimpangan ketimbang kesejahteraan. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin di Maluku Utara per September 2024 mencapai 79,69 ribu orang. Di Papua Barat Daya, angkanya mencapai 96,81 ribu orang.
Menurut dia, pemerintah tidak bisa mengategorikan tambang di pulau kecil sebagai bagian dari pembangunan ekonomi biru—yang semestinya berlandaskan pada prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
“Kalau tambang disebut ekonomi biru, itu menyesatkan. Malah memicu paradoks,” ujarnya.
Dia menyebut, narasi ekonomi biru kerap menjadi “kedok” industrialisasi dan militerisasi kelautan. Misal, pembangunan pelabuhan laut dalam (deep-water ports) yang pendanannya lewat skema ekonomi biru, padahal tujuannya untuk mempercepat akses ke sumber daya dan memberikan ruang bagi operasi militer.
Karim juga menilai promosi pertambangan laut dalam (deep-sea mining), termasuk pasir laut, sebagai bagian dari transisi energi justru berisiko memperburuk krisis iklim dan merusak keanekaragaman hayati laut.
“Sering kali, proses hilirisasi tambang justru disertai perampasan lahan dan keterlibatan oknum aparat serta militer.”
Karim mengatakan selama ini pemerintah juga belum pernah mengeluarkan hasil penelitian keterkaitan tambang nikel dengan dampaknya terhadap ekologi dan ekonomi. Dia curiga itu pemerintah sengaja, supaya masyarakat tidak mengetahui dampak tersebut.
Dia menyoroti perjanjian PBB tentang Keanekaragaman Hayati di Areal Luar Yurisdiksi Nasional (Areas Beyond National Jurisdiction/BBNJ Agreement) yang akan banyak negara adopsi. Perjanjian itu berisiko menjadi alat tata kelola laut (ocean governance) yang menguntungkan negara atau korporasi paling eksploitatif, termasuk Indonesia.
Pasalnya, Indonesia adalah satu dari 82 negara yang menandatangani BBNJ Agreement pada 2023. “Temuan riset menegaskan bahwa ekonomi biru bukanlah obat mujarab untuk mewujudkan pembangunan kelautan yang adil dan berkelanjutan. Jauh panggang dari api untuk benar-benar menyejahterakan rakyat.”
Dalam perjanjian BBNJ diharuskan penilaian dampak lingkungan terhadap kegiatan manusia di laut lepas, termasuk eksplorasi tambang laut dalam, pelayaran, dan penelitian.
Parid Ridwanuddin, Team Leader Kelautan Auriga Nusantara mengatakan, penandatangan perjanjian itu saja tidak cukup. Masih ada aturan-aturan bermasalah yang memberikan ruang untuk penambangan nikel di pulau-pulau kecil dan berpotensi merusak ekosistem serta wilayah konservasi laut. Misal, UU Cipta Kerja Pasal 35A yang melegalkan pengubahan wilayah konservasi ke wilayah eksploitasi.
Kemudian UU Minerba No 2 Tahun 2025 Pasal 28A yang menyebutkan, wilayah hukum pertambangan meliputi seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi – yang merupakan kesatuan wilayah kepulauan Indonesia, termasuk tanah di bawah perairan dan landas kontinen
“Saya kira ini tidak akan bekerja dengan baik, kalau di Indonesia itu masih ada dua undang-undang predatoris. Seharusnya, tidak boleh ada pemberian izin di wilayah-wilayah ekosistem esensial, karena itu sumber pangan.”

*****