Media online di Jakarta, bulan lalu menghapus artikel di kolom opininya. Penghapusan artikel itu terkait kritik terhadap sepak terjang militer yang mengambil alih sebagian jabatan sipil. Hampir mirip seperti militer di era rezim otoritarian Orde Baru. Menariknya penghapusan artikel itu atas permintaan penulis karena alasan keselamatan.
Penulis kolom opini itu mengaku mengalami teror dari orang tak dikenal setelah tulisan yang berisi kritik terhadap jenderal tentara aktif yang menempati jabatan sipil tayang di media online ternama itu. Teror terhadap penulis itu pun mendapat kecaman dari Dewan Pers.
Kencenderungan pembungkaman kebebasan berekspresi di ranah media massa juga pernah Konsorsium Jurnalisme Aman kemukakan awal 2025 melalui laporan tentang Indeks Keselamatan Jurnalis 2024. Laporan itu menyatakan, indeks keselamatan jurnalis di Indonesia pada 2024 sekitar 60,5 poin. Angka itu menunjukkan, jurnalis di Indonesia masuk dalam kategori ‘agak terlindungi.’ Kategori itu sejatinya menyatakan, jurnalis Indonesia dalam posisi rentan. Kerentanan keselamatan jurnalis itu juga tercermin dari data Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Berdasarkan data AJI pada 2024 terdapat sebanyak 73 kasus.
Sedang pelaku kekerasan terhadap jurnalis bervariasi. Menurut data AJI itu sebagian besar oleh polisi, disusul militer. Sedikit berbeda dengan data AJI, data Konsorsium Jurnalisme Aman, dalam Indeks Keselamatan Jurnalis 2024, mengungkapkan pihak paling berpotensi melakukan kekerasan terhadap jurnalis, adalah organisasi masyarakat/ormas (40%). Polisi berada di posisi kedua 24%, disusul pejabat pemerintah dan aktor politik yang masing-masing 14%.
Semua pelaku pembungkaman kebabasan berekspresi adalah pihak yang memiliki kekuasaan, baik kekuasaan politik, senjata atau ekonomi.
Dalam konteks ini, pembungkaman kebebasan berekspresi tidak bisa terpisahkan dari ketimpangan relasi kuasa. Pertanyaannya, bagaimana kebebasan berekspresi di Indonesia ke depan?
Kalau meletakkan kebebasan berekspresi dalam bingkai relasi kuasa, maka untuk melihat masa depan di Indonesia kita juga harus melihat arah kebijakan ekonomi-politiknya.
Berdasarkan pidato-pidato Presiden Prabowo Subianto di berbagai kesempatan, arah kebijakan ekonomi-politik pemerintahan adalah pembangunan berbasiskan ekonomi ekstraktif.
Kebijakan pembangunan berbasiskan ekonomi ekstraktif di era pemerintahan Prabowo Subianto ini terbungkus dengan jargon-jargon nasionalisme. Untuk memperkuat jargon-jargon nasionalisme inilah, pemerintah memperkuat peran militer.
Selain memperkuat peran militer di luar ranah pertahanan, jargon nasionalisme juga diperkuat dengan kemunculan wacana swasembada pangan dan energi. Proyek-proyek ‘swasembada pangan dan energi’
itu adalah proyek skala besar dengan melibatkan modal yang tidak kecil.

Pembangunan ekonomi ekstraktif
Konsekuensinya, model pembangunan ekonomi ekstraktif ini selain hanya melibatkan segelintir elite ekonomi juga bisa memperbesar risiko kerusakan alam.
Dari titik inilah risiko konflik sosial berbasiskan sumberdaya alam bermula.
Salah satu proyek ekstraktif di sektor pangan terbungkus jargon swasembada pangan itu adalah food estate. Proyek skala besar untuk swasembada pangan menyebabkan kerusakan alam hingga menimbulkan konflik sosial berbasiskan sumber daya alam dengan masyarkaat lokal.
Hal sama terjadi dalam swasembada energi. Dalam pidato pelantikan Presiden Indonesia kedelapan, Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa swasembada energi Indonesia berbasiskan biofuel, geothermal dan batubara.
Semua sumber energi berskala besar yang dia sebutkan dalam pidato itu rentan konflik berbasis sumber daya alam dengan masyarakat sekitar.
Biofuel berbasiskan singkong, tebu dan sawit hampir mirip dengan food estate. Proyek skala besar yang mengesampingkan realitas sosial dan ekologis masyarakat tempatan. Alih fungsi hutan ugal-ugalan dan konflik agraria dengan masyarakat lokal dan adat adalah bagian tak terpisahkan dari proyek-proyek skala besar itu.
Di luar proyek swasembada pangan dan energi itu, dalam pidato-pidatonya, Prabowo juga berjanji melanjutkan hilirisasi nikel. Sejak dari hulu hingga hilir, komodiatas nikel juga menimbulkan konflik sosial berbasis sumber daya alam.
Dengan kata lain, model pembangunan ekonomi ekstraktif telah berbanding lurus dengan konflik berbasiskan sumber daya alam. Pertanyaannya, apa hubungan ekonomi ekstraktif dengan kerentanan jurnalis?
Ekonomi ekstraktif, yang berciri ekstraksi sumber daya alam memerlukan dukungan politik. Dukungan politik itu untuk membungkam suara-suara berbeda dengan agenda elite di pusat kekuasaan.
Suara-suara berbeda itu termasuk suara dari masyarakat adat/lokal di lokasi proyek-proyek ekonomi ekstraktif. Pembungkaman itu bisa melalui cara kekerasan dengan aparat keamanan atau melalui cara hegomoni.
Menurut Antonio Gramsci, pemikir sosial dari Italia, hegomoni adalah dominasi kepentingan kelas elite terhadap kelas yang mereka eksploitasi. Dalam hegomoni, kelas yang tereksploitasi dengan sukerela menerima dominasi dari kepentingan kelas yang mengeksploitasi meskipun sejatinya kepentingan elite itu bertentangan dengan kepentingan mereka.
Dalam konteks inilah kemudian terjadi risiko kebebasan berkespresi terbungkam, baik cara kekerasan maupun hegemoni. Bila cara-cara hegomoni tak berhasil, kekerasaan jadi pilihan mereka untuk membungkam kebebasan berekspresi.
Salah satu kekerasan terhadap jurnalis terkait proyek ekstraktif itu terjadi dalam pemberitaan proyek geothermal di Pocoleok, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam kasus pembangunan geothermal, dengan pendana Bank Pembangunan Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau/KfW), itu bukan hanya masyarakat Pocoleok yang menjadi korban kekerasan juga jurnalis lokal.
Kekerasan terhadap penulis dan jurnalis merupakan ancaman bagi kebebasan berekspresi dan mengancam demokrasi. Membungkam kebebasan berekspresi warga adalah keniscayaan bila model pembangunan Indonesia makin bertumpu pada ekonomi ekstraktif. Arah pembangunan harus diubah dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi restoratif. Pertanyaannya, apakah para pengambil kebijakan saat ini paham dampak buruk dari pembangunan berdasarkan pada ekonomi ekstraktif?
*Penulis adalah Firdaus Cahyadi, Founder of Climate Justice Literacy Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

*****
25 Tahun Reformasi: Industri Ekstraktif Masih Kuasai Pertiwi