- Suku Semende merupakan komunitas adat yang telah ada sejak ratusan tahun di Sumatera Selatan. Wilayah adatnya berupa permukiman, sawah, dan kebun. Sejalan dengan pertumbuhan populasi masyarakatnya, wilayah adat Semende juga bertambah.
- Melalui adat Tunggu Tubang, wilayah adat Suku Semende yang semula hanya di lembah perbukitan Gunung Patah di Kabupaten Muara Enim, meluas ke Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), hingga wilayah Lampung dan Bengkulu.
- Sistem adat Suku Semende mampu beradaptasi atau tidak bertentangan dengan sistem hukum negara Indonesia.
- Suku Semende merupakan komunitas yang mampu mempertahankan sistem pengetahuan dan nilai-nilai lokalnya, meskipun berada dalam tekanan moderenisasi, pasar, dan kebijakan negara.
Suku Semende merupakan komunitas adat yang telah ada sejak ratusan tahun di Sumatera Selatan. Wilayah adatnya, berupa permukiman, sawah, dan kebun. Bahkan, sejalan dengan pertumbuhan populasi masyarakatnya, wilayah adat Semende juga bertambah.
Suku Semende adalah suku yang dibentuk berdasarkan kesepakatan tujuh tokoh atau puyang tahun 1650 di Dusun Paradipe, yang saat ini berada di Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Tokoh tersebut adalah Syekh Nurqadim al-Baharuddin Puyang Awak, yang merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati (Cirebon), Mas Pengulu dari Gechi, Mataram (Jawa), Ahmad Pendekar Raja Adat Pagaruyung (Minangkabau), Puyang Sang Ngerti (Bengkulu), Puyang Perikse Alam (Besemah), Puyang Agung Nyawe, dan Puyang Lurus Sambung Hati (Banten Selatan).
Dikutip dari artikel yang ditulis Efrianto. A dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat yang kini menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III, kata “Semende” memiliki sejumlah pengertian. Pertama, dari kata same (sama) dan nde (milik) yang berarti milik bersama. Kedua, dari kata se-man-de yang artinya rumah kesatuan milik bersama.
Awalnya, tujuh puyang bersama keluarganya hidup di Talang Tumutan Tujuh di Dusun Paradipe, di lembah perbukitan Gunung Patah. Kemudian wilayah adatnya diluaskan, yakni Dusun Pagaruyung dipimpin Puyang Ahmad Pendekar Raja Adat Pagaruyung serta Dusun Perapau dipimpin Puyang Perikse Alam dan Puyang Agung Nyawe.
Selanjutnya, bergabunglah sejumlah tokoh bersama keluarganya dengan Suku Semende, yang kemudian mengembangkan wilayah baru. Misalnya, Muara Tenang oleh Puyang Syekh Putra Sutan Bonang, Tanjung Iman oleh Puyang Nakanadin, Tanjung Raya oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan Guru Sakti Gumay, serta Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kecik.

Saat ini, semua wilayah adat awal Suku Semende dibagi tiga kecamatan; Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Laut, yang masuk Kabupaten Muara Enim.
Selama lima abad, wilayah adat tersebut tetap bertahan. Tidak terjual atau tergusur oleh kelompok masyarakat lain, termasuk para pelaku usaha. Bahkan, beberapa rumah panggung kayu yang berusia ratusan tahun masih bertahan.
“Wilayah adat kami tetap bertahan karena adat Tunggu Tubang,” kata Sarmani (56), warga Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, awal Mei 2025.
Sistem adat Tunggu Tubang adalah sistem yang mengatur anak perempuan pertama dari sebuah keluarga menjadi penanggung jawab pusaka keluarga berupa rumah, sawah, dan kebun. Pusaka ini tidak boleh diperjualbelikan, tapi difungsikan untuk kepentingan keluarga Tunggu Tubang dan keluarga besarnya, serta untuk kebutuhan tradisi dan adat.
Dengan sistem adat Tunggu Tubang tersebut, maka wilayah adat Suku Semende di Muara Enim adalah gabungan Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Laut, seluas 99.802 hektar.
Dari luasan tersebut, sekitar 15.640 hektar merupakan perkebunan kopi, yang menjadi sumber ekonomi utama Suku Semende. Sementara sawah sebagai sumber pangan, luasnya mencapai 3.650 hektar.

Memuliakan anak perempuan
Berbeda dengan adat Minangkabau yang juga memuliakan anak perempuan tertua sebagai pewaris pusaka keluarga yang bersifat tetap, maka Tunggu Tubang tidak bersifat tetap.
“Anak perempuan tertua dapat dicopot statusnya sebagai Tunggu Tubang jika tidak mampu atau tidak menuruti aturan adat yang berlaku. Dia dapat diganti adik perempuannya. Bahkan, Tunggu Tubang dapat diberikan kepada anak laki-laki, jika sebuah keluarga tidak memiliki anak perempuan. Tapi peran tetap dipegang perempuan, yakni istri dari anak laki-laki tersebut,” kata Malai Ibrahim, tokoh adat Desa Cahaya Alam, Semende Darat Ulu.
Selain itu, setiap keluarga dari turunan Suku Semende dapat membangun Tunggu Tubang baru. Misalnya, anak tengah atau bungsu. Saat berkeluarga mereka dapat menjadikan anak perempuan tertuanya sebagai Tunggu Tubang, yang menjaga harta atau pusaka keluarga.
Dari tradisi dapat melahirkan Tunggu Tubang baru, maka wilayah adat Suku Semende yang semula hanya di lembah perbukitan Gunung Patah di Kabupaten Muara Enim, meluas ke Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), hingga wilayah Lampung dan Bengkulu.
Di Kabupaten OKUS, Suku Semende mengembangkan Marga Muara Saung dan Marga Pulau Beringin. Di Bengkulu, terdapat Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajarbulan Seginim. Sementara di Lampung, antara lain Marga Semende Wai Tenung, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende Pughung, dan Marga Semende Ulak Rengas.
Sama seperti Suku Semende di Kabupaten Muara Enim, mereka yang menyebar tersebut juga menjalankan sistem adat Tunggu Tubang. Puluhan ribu hektar wilayah permukiman, persawahan, dan perkebunan menjadi harta pusaka keluarga, yang tidak dapat diperjualbelikan.

Masyarakat terbuka
Suku Semende dikenal sebagai masyarakat terbuka, dengan tetap taat pada adat. Ini dibuktikan hampir semua warganya berpendidikan agama maupun umum.
“Sejak dulu kami tidak menolak perkembangan teknologi. Bahkan, kami sangat menjunjung pendidikan dan ilmu pengetahuan, sehingga banyak jeme (orang) Semende berkarier sebagai akademisi, jurnalis, pengusaha, politisi, pemuka agama, dokter, juga seniman. Mereka menyebar di berbagai wilayah Indonesia, juga ke luar negeri,” kata Ikhsan (31), generasi muda Suku Semende, pertengahan Mei 2025.
Seorang ulama yang cukup terkenal dari Semende dalam 50 tahun terakhir adalah Abdul Rauf Tholon (1939-2017) atau Buya Tholon. “Dia salah satu tokoh reformis di Sumatera Selatan. Intelektual dan tokoh kerukunan umat beragama di Sumatera Selatan,” terangnya.
Malai Ibrahim menambahkan sistem adat Suku Semende dapat menerima hukum negara, meskipun pemerintahan marga sudah dibubarkan atau diubah menjadi pemerintahan desa sejak puluhan tahun lalu.
“Sebab, tidak ada satu pun aturan negara yang bertentangan dengan sistem adat Semende. Misalnya soal hak kepemilikan rumah, sawah, dan kebun, saat ini semuanya didasarkan hukum negara.”
Di sisi lain, tujuan dari pembentukan Suku Besemah adalah menciptakan kelompok masyarakat yang taat beragama, menjauhi perbuatan maksiat, jujur, cinta damai, serta gotong royong, seperti yang ingin diwujudkan Indonesia.

Strategi kultural
Praktik Suku Semende dalam menjaga dan memperluas wilayah adat, bukan hanya sebagai strategi kultural, tetapi juga bentuk produksi dan reproduksi pengetahuan kolektif yang berlangsung lintas generasi.
“Dalam kajian antropologi pengetahuan, apa yang dilakukan masyarakat Semende dapat dibaca sebagai epistemic resilience atau kemampuan suatu komunitas untuk mempertahankan sistem pengetahuan dan nilai-nilai lokalnya, meskipun alam tekanan moderenisasi, pasar dan kebijakan negara,” kata Handoyo, antropolog dan peneliti dari Pusat Riset Kependudukan BRIN, pertengahan Mei 2025.
Sistem Tunggu Tubang, misalnya, tidak hanya berbicara tentang penguasaan atas tanah, tetapi juga tentang distribusi tanggung jawab antaranggota keluarga, relasi gender yang khas, serta pengaturan sumber daya berbasis nilai.
Yang menarik, jelas Handoyo, sistem ini memiliki fleksibilitas internal atau dapat disesuaikan dengan konteks sosial tanpa kehilangan kerangka dasarnya. Ini menunjukkan adanya adaptive knowledge system yang memungkinkan tradisi tetap hidup dan relevan dalam situasi baru.
Dalam perspektif antropologi kebijakan, strategi ekspansi wilayah adat Suku Semende juga mencerminkan kedaulatan epistemik (epistemic sovereignty): mereka tidak hanya mempertahankan tanah secara fisik, tetapi juga berhasil menyebarkan dan menginstitusionalisasi sistem nilai mereka ke wilayah-wilayah baru.
“Proses ini bisa disebut sebagai bentuk soft territorialization, yaitu ekspansi wilayah bukan dilakukan dengan cara agresif atau legal-formal seperti negara. Melainkan, melalui transmisi nilai-nilai budaya dan sistem pengetahuan dalam komunitas diaspora Semende,” katanya.
Pelajaran penting dari Suku Semende adalah menjaga wilayah adat bukan hanya soal batas lahan, tapi soal menjaga relasi sosial, etika pengelolaan sumber daya, dan keberlanjutan nilai. Ini adalah jenis governance from below yang patut dicermati lebih serius oleh pembuat kebijakan dan peneliti.
Tumutan Tujuh, Tradisi Suku Semende Menjaga Sumber Air dan Kehidupan Kucing Liar