- Dampak kenaikan air laut akibat krisis iklim menjadi ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir.
- Dampak kenaikan air laut membuat penurunan tanah secara signifikan, ekstraksi air yang berlebih yang membuat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bakal tenggelam
- Laporannya Indonesia Cerah bersama Koaksi Indonesia menyebutkan dampak ekonomi akibat kenaikan permukaan air laut sebesar 47 cm di pesisi, menimbulkan kerugian ekonomi Indonesia diprediksi menembus 3,3 miliar dolar AS per tahun
- Semua dampak itu terangkum dalam pameran foto karya fotografer kelahiran Belanda, Kadir Van Lohuizen yang mengingatkan tenggelamnya pesisir dikhawatirkan terjadi konflik internasional dan migrasi massal dari daerah pesisir
Dampak kenaikan air laut akibat krisis iklim sudah menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup manusia, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah pesisir.
Selain merampas tempat tinggal, kenaikan permukaan air laut juga membuat tanah yang semula subur tidak bisa ditanami kembali. Begitupun dengan kondisi airnya yang sudah tidak dapat diminum.
Kondisi itu coba disajikan Kadir Van Lohuizen, fotografer kelahiran Belanda melalui pameran foto tunggalnya bertajuk “Rising Tide: The Human Consequences of Rising Sea Levels” di Erasmus Huis, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kadir berupaya memperlihatkan bagaimana dampak kenaikan air laut akibat krisis iklim yang terjadi di sejumlah negara, seperti di Kiribati, Fiji, Kepulauan Carteret di Papua Nugini, Bangladesh, Kepulauan Guna Yala di Panama, Inggris, Kepulauan Marshall, Belanda dan Amerika Serikat.
Selain itu, banjir rob di pesisir Jakarta juga tidak luput dari bidikan kamera sosok fotografer yang dikenal dengan proyek fotografi jangka panjangnya tersebut.
“Pameran ini memperlihatkan orang-orang yang tinggal di daerah yang terkena dampak ini, tetapi juga mereka yang telah pindah ke tempat yang lebih aman,” terangnya.
Dengan pameran foto-fotonya, Kadir berharap bisa memberikan pemahaman yang lebih baik kepada siapapun tentang kondisi yang terjadi saat ini, sekaligus mengajak semua orang agar berkontribusi mencegah krisis iklim terjadi berbekal pengetahuan yang dimiliki.
Sebab, jika dunia tidak mampu mengatasinya, dikhawatirkan terjadi konflik internasional dan migrasi massal dari daerah pesisir juga tidak dapat terelakkan.
Baca : Terancam Tenggelam, Pembangunan di Utara Jakarta Makin Menggila?

Berpotensi Tenggelam
Krisis iklim yang berpengaruh terhadap kenaikan air laut membawa banyak perubahan pada lingkungan pesisir. Walaupun begitu, krisis iklim bukanlah faktor tunggal yang menyebabkan lingkungan pesisir semakin rentan.
Direktur WALHI Jakarta, Suci Fitriah Tanjung saat dihubungi Mongabay, akhir Juli lalu menyebutkan, persoalan yang dihadapi pesisir Jakarta cukup beragam. Selain kenaikan air laut, masalah lainnya adalah ekstraksi air yang berlebih, serta daya dukung bangunan di atasnya. Dengan begitu, penurunan tanahnya terjadi secara signifikan.
Pernyataan Suci itu mengacu pada riset yang dilakukan tim peneliti geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari riset yang dilakukan tujuh tahun lalu itu disebutkan, setiap tahunnya di Jakarta Utara telah terjadi penurunan permukaan tanah mencapai 25 cm.
Dalam 10 tahun penurunannya mencapai 2,5 meter, atau setara dengan tinggi ondel-ondel boneka khas kebudayaan Betawi. Mendapati fenomena tersebut, peneliti menekankan bahwa peluang Jakarta tenggelam bukanlah mengada-ada.
Sebagai jawaban untuk mengatasi sejumlah persoalan di teluk Jakarta ini, melalui proyek Nastional Capital Integrated Coastal Development (NCIDC) pemerintah telah membangun tanggul laut di beberapa titik.
Seperti diketahui, program baru selesai sekitar 13 kilometer dari prioritas pembangunan 46 km.
Misi penyelamatan ini dilakukan karena pemerintah menganggap Jakarta yang merupakan bagian dari Pulau Jawa adalah kontributor terbesar dalam PDB Nasional, angkanya mencapai sebesar 57,12 persen. Bilangan ini dijadikan indikator bahwa Pulau Jawa sebagai salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi secara spasial.
“Studi JICA pertumbuhan di kawasan Pantura 20 persen dari GDP Indonesia dengan kegiatan industri, perikanan, transportasi, dan pariwisata,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dilansir dari Kominfo dalam Seminar Nasional bertajuk Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa, Melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall), di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca juga : Apakah Pembangunan Tanggul Laut di Teluk Jakarta Sudah Tepat?

Kendati demikian, Suci menilai solusi yang dilakukan pemerintah tidak menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir Jakarta. Kehadiran proyek ini dinilai justru merugikan nelayan kecil dan tradisional yang ada di beberapa wilayah itu.
“Kalau sekarang kita lihat dampaknya itu ada di sekitar Muara Baru, Kali Baru, Muara Angke, Cilincing hingga Dadap itu sudah terlihat bahwa perahu bersandar itu susahnya minta ampun,” katanya.
Walaupun, katanya, beberapa nelayan sudah dikomodir dibuatkan jalur untuk parkir kapal melalui protes yang dilakukan. Akan tetapi menurut Suci kerentanan terhadap alat produksi nelayan itu masih ada. Sebab, nelayan tidak dibekali kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi tersebut.
Dampaknya ke Pulau Kecil
A’an Johan Wahyudi, profesor riset kepakaran biogeokimia laut, Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN mengungkapkan, selain wilayah pesisir kenaikan muka air laut juga berdampak pada pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pertama, pengaruhnya bisa berupa erosi maupun intrusi air laut ke daratan. Karena begitu air laut naik maka ada beban masa air laut yang bisa masuk ke dalam pori-pori ke daratan. “Ini yang membuat intrusi air laut ke darat, sehingga kalau itu terjadi di pulau-pulau kecil akan menyebaban defisit air tawar yang dimanfaatkan oleh penduduk setempat,” ujarnya saat dihubungi, minggu lalu.
Kedua, karena masuknya air laut ke darat ini juga berpengaruh terhadap erosi atau abrasi di sekitar pantai yang bisa memperkecil luas daratan. Sehingga bila pulaunya kecil kemungkinan besar akan hilang. Seperti banyak kasus yang terjadi di pulau-pulau di Samudra Pasifik.
Dia bilang, bila itu terjadi tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan baik itu di pesisir maupun di pulau-pulau kecil di Indonesia.
Kenaikan air laut, katanya, secara global itu mencapai 3 milimeter per tahun. Bila diukur terlalu kecil, namun di beberapa lokasi di Indonesia dampaknya sangat signifikan. Dia contohkan, di Jakarta misalnya banjir rob yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kenaikan air laut saja melainkan juga karena penurunan tanah.
“Efeknya jadi double, ketika muka air laut itu digabung dengan penurunan tanah daratan jadinya gelombang pasang atau erosi atau abrasi dari laut itu semakin tinggi intensitasnya ke daratan,” katanya.
Baca juga : Ancaman Tenggelamnya Wilayah di Pesisir Utara Jawa Tengah Makin Nyata?

Beberapa contoh lain, lanjutnya, ya di Kepulauan Seribu yang intrusi air lautnya itu sudah mencapai ke tengah Pulau. Akibatnya air tawar sudah tidak bisa menjumpai lagi. Air tanahnya menjadi air payau.
Daerah lain seperti di pesisir Semarang dan Probolinggo juga mengalami hal serupa, dampaknya cukup lumayan. Karena air tanah terbatas, maka sebagian penduduk memanfaatkan penampungan air hujan untuk beradaptasi. Atau dibutuhkan bantuan teknologi untuk pengolahan air air laut ke air tawar.
Menurut A’an, penting kiranya melihat kembali data sejauh mana kenaikan air laut di Indonesia ini berdampak. “Karena data ini pasti diperlukan pemantauan dan juga riset yang kiranya mendorong semua pihak agar lebih aware terhadap isu perubahan iklim,” tandasnya.
Kerugian Ekonomi Dampak Krisis Iklim
Dampak kenaikan muka air laut karena krisis iklim membuat wilayah pesisir lebih sering terjadi banjir rob dan mencapai wilayah yang lebih tinggi dan lebih jauh lagi ke daratan. Hal itu berdampak pada masyarakat dan perekonomian lokal bisa semakin parah.
Berdasarkan laporannya tahun 2022, Indonesia Cerah bersama Koaksi Indonesia, menekankan dampak ekonomi akibat kenaikan permukaan air laut. Bila kenaikan permukaan air laut di Indonesia mencapai 47 cm, maka kerugian ekonomi Indonesia diprediksi menembus 3,3 miliar dolar AS per tahun akibat banjir pesisir, hilangnya lahan, salinisasi lahan pertanian yang sebelumnya produktif, dan migrasi penduduk dari daerah yang terkena dampak. (***)