- Kala musim penghujan, banjir terus menghantui warga Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, terutama yang tinggal di tepian Danau Limboto. Kalau musim hujan, guyuran hujan dan luapan danau akan mengubah pemukiman warga jadi ‘danau’.
- Warga Desa Buhu, Gorontalo, misal, berhadapan dengan banjir berulang setidaknya sejak 2001. Berbulan-bulan dalam setahun, mereka harus tinggal di pengungsian karena pemukiman mereka tergenang banjir. Seperti tahun lalu, sekitar tiga bulan warga Buhu hidup di pengungsian.
- Sumanti Maku, Kepala BPBD Kabupaten Gorontalo mengatakan, selama 2021 alami banjir cukup banyak. Kerusakan alam dan hutan di hulu jadi penyebab utama.
- Sabaruddin, dosen Konservasi Kehutanan, Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo mengatakan, hutan beralihfungsi jadi perkebunan termasuk satu faktor penyebab banjir di Gorontalo. Satu contoh, hutan ditanami jagung atau tanaman musiman sejenis (monokultur). Pola tanam ini, katanya, kerap didukung kebijakan pemerintah.
Saat pulang ke rumah, Deri Mustafa hanya bisa pakai perahu kala rumahnya yang terletak di Dusun I Desa Buhu, Kecamatan Telaga Jaya, Kabupaten Gorontalo, itu tergenang banjir. Pasar rakyat di desa itu pun jadi tempat tinggal sementara.
“Banjir sudah jadi tamu tak asing saat hujan deras. Rumah pasti terendam, harus mengungsi,” katanya belum lama ini di pengungsian.
Dia bersama warga Desa Buhu, hidup dengan banjir sejak 2001. Deri bilang, kalau hujan, baju dan perabotan rumah tangga harus segera diamankan ke tempat pengungsian.
Lelaki 52 tahun ini resah tetapi hanya bisa pasrah. Tidur di tenda pengungsian bak jadi kebiasaan.
Dia tinggal di tepi Danau Limboto, Saat banjir, rumahnya biasa terendam sampai dua meter!
“Jika air mulai surut, biasa sampai 15 cm. Jika hujan datang lagi, air naik lagi.”
Baca juga: Nasib Kota Gorontalo Kala Lahan Terus Terdegradasi
Erna Hotolua, warga Buhu, juga alami serupa Deri. Dia bersama anak dan suami terpaksa tinggal dalam tenda pengungsian. Di tenda itu, kalau malam kedinginan, siang hari dia kepanasan.
Ancaman kesehatan juga menghantui warga terdampak banjir. Beberapa warga mulai terkena penyakit gatal-gatal. Ada juga flu berat karena kedinginan dan kena hujan. Pemerintah Kabupaten Gorontalo, katanya, memberikan sembako dan obat-obatan kepada mereka.
“Kami berharap, banjir tak terjadi lagi ke depan. Kita juga ingin hidup tenang tanpa banjir, bukan harus menghadapi banjir seperti ini,” kata Erna.
Banjir melanda Desa Buhu sejak 28 September lalu. Kala itu, Markas Kepolisian Resor Kabupaten Gorontalo dan Universitas Gorontalo tak luput dari banjir. Ratusan rumah terdampak di Desa Buhu dan Hutadaa, Kecamatan Telaga Jaya dampak luapan Danau Limboto, danau terbesar di Gorontalo.
Desa Buhu dan Hutadaa, terendam air sampai 22 Desember 2021. Jelang tutup tahun, baru banjir surut dan warga kembali ke rumah setelah sekitar tiga bulan di pengungsian.
Olis Adam, Kepala Desa Buhu, kepada Mongabay, awal Januari lalu mengatakan, banjir terjadi setiap tahun. Desanya berdampingan dengan Danau Limboto, kalau hujan deras, rumah-rumah warga terendam.
“Air di danau meluap ke pemukiman. Itu terus menerus.”
Baca juga: Sebulan Dua Kali Banjir, Pengelolaan Lingkungan Gorontalo Salah Arah?
Hutan hulu rusak
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kabupaten Gorontalo mencatat, selama 2021, ada 39 kali banjir di 13 kecamatan dari 19 kecamatan di kabupaten itu. Antara lain, Kecamatan Boliyohuto, Mootilango, Limboto Barat, Tilango, Limboto, Batudaa, dan Tabongo. Korban banjir mencapai 9.362 keluarga dengan 30.024 jiwa.
Sumanti Maku, Kepala BPBD Kabupaten Gorontalo mengatakan, selama 2021 alami banjir cukup banyak. Dia bilang, kerusakan alam dan hutan di hulu jadi penyebab utama.
“Hulu cenderung rusak, banyak penebangan liar, tak heran banjir,” katanya.
Saat hujan deras, lahan-lahan atau hutan di Kabupaten Gorontalo tak mampu lagi menahan air. Terlebih, terjadi pengdangkalan danau buntut deforestasi di hulu. Warga hilir pun kebanjiran.
Data Global Forest Watch mencatat, dari 2002-2020, deforestasi Kabupaten Gorontalo 11.600 hektar hutan primer basah dan meyumbang 43% kehilangan tutupan pohon dalam periode sama. Area primer basah di Kabupaten Gorontalo berkurang 17% dalam periode waktu itu.
Pada 2001-2020, Gorontalo kehilangan 27.700 hektar pohon, setara 20% penurunan tutupan pohon sejak 2000, dan 19,0 juta ton emisi CO₂e.
Sabaruddin, dosen Konservasi Kehutanan, Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo mengatakan, hutan beralihfungsi jadi perkebunan termasuk satu faktor penyebab banjir di Gorontalo. Dia contohkan, hutan ditanami jagung atau tanaman musiman sejenis (monokultur). Pola tanam ini, katanya, kerap didukung kebijakan pemerintah.
Jagung, katanya, sudah jadi unggulan di Provinsi Gorontalo. Gunung-gunung di Gorontalo, selain hutan lindung dan konservasi, hampir semua jadi lahan jagung. Tanaman itu, katanya, berkontribusi besar terhadap sedimentasi hingga banjir bandang.
“Ketika pohon diganti jagung, itu akan menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga lingkungan. Akibatnya, banjir sering terjadi,” katanya.
Dalam proses mitigasi banjir di hulu, katanya, penanaman dengan pola agroforestri, merupakan perpaduan antara usaha pertanian dan kehutanan. Sayangnya, mengubah kebiasaan petani yang terus menanam tanaman semusim dan satu jenis agak sulit. Apalagi, pemerintahan memberikan subsidi bibit jagung.
“Dampak lingkungan sangat besar. Sistem agroforestri harus dilakukan. Itu juga sebagai mitigas untuk penanganan banjir,” katanya.
Kabupaten lestari?
Gorontalo, merupakan satu kabupaten yang memiliki label lestari. Asosiasi Lingkar Temu Kabupaten Lestari [LTKL] jadikan kabupaten terbesar di Gorontalo itu sebagai anggota sejak 2018 dengan jabatan sekretaris jenderal. Meski begitu, banjir terjadi berupang di ‘kabupaten lestari’ ini.
Muhammad Jufri Hard, dari Jaringan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) menilai, label kabupaten lestari Gorontalo jadi ironi kalau tak ada penanganan banjir. Apalagi, rencana kontinjensi penanganan bencana di Gorontalo, belum selesai dibuat.
Dia bilang, rencana kontinjensi akan menjelaskan peran-peran semua pihak serta tindakan, respon sebelum, saat terjadi, dan sesudah bencana. Ia akan jadi panduan pemerintah provinsi atau kabupaten dalam menangani bencana atau banjir di Gorontalo.
Selain itu, katanya, Pemerintah Kabupaten Gorontalo seharusnya menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) lebih jelas. Satu contoh, soal pemukiman di pinggiran danau yang dahulu merupakan kawasan danau. Hingga tak heran kalau hujan tinggi, pemukiman tergenang.
“Manusia mendekatkan diri pada ancaman bencana. Kawasan yang sebenarnya tidak bisa ditinggali, jadi tempat pemukiman. Sisi lain, RTRW tidak tegas mengatur itu,” kata Jufri.
Seharusnya, label kabupaten lestari bukan hanya komitmen, tetapi harus benar-benar terlaksana dari hulu ke hilir.
“Harus ada perencanaan pembangunan yang mampu meminimalisir rosiko. Bencana tidak bisa ditanggulangi, tapi risiko bencana bisa dikecilkan.”
Cokro Katilie, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gorontalo mengatakan, Kabupaten Gorontalo jadi anggota LTKL karena memiliki komitmen besar dalam pengelolaan lingkungan.
Komitmen mendorong penurunan emisi gas rumah kaca melalui praktik pertanian berkelanjutan yang mengintegrasikan pertanian, peternakan, pengolahan limbah, dan penggunaan energi terbarukan hingga kabupaten ini masuk anggota LTKL. Bahkan, katanya, hal itu sudah masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah [RPJMD].
Dia bilang, bencana dan deforestasi, katanya, membawa kesadaran mereka untuk berkomitmen dalam pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan. Komitmen itu, katanya, harus dilakukan semua pihak, dan perlu proses cukup panjang.
“Kalau tidak ada komitmen bersama, pasti setiap instansi dan pihak lain, jalan sendiri-sendiri.”
Saat ini, katanya, mereka masih proses perubahan perilaku petani dengan mendorong pakai pupuk organik yang bebas bahan kimia. Mereka juga kampanye tak pakai plastik sekali pakai, serta melarang pembalakan liar di hulu.
Dia akui kalau dalam penanganan bencana atau banjir belum maksimal. Perlu ada langkah khusus agar banjir tidak terus terjadi.