- Perusahaan tambang emas sudah mendapatkan izin produksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk menambang di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Warga terkejut, warga dan cemas karena tanpa tahu menahu pulau tempat mereka hidup mau ada pertambangan yang menguasai sebagian pulau.
- Warga Sangihe selama ini hidup sebagai nelayan dan pertanian. Mereka khawatir, ruang hidup hancur kala pertambangan masuk. Belum lagi sumber air bersih bisa hilang dan bencana pun mengintai.
- Pulau Sangihe berada di dua lempeng besar Eurasia dan Pasifik, serta dua lempeng kecil Sangihe dan Laut Maluku, dan beberapa gunung api masih aktif. Perda Tata Ruang Kepulauan Sangihe mengidentifikasi pulau kecil ini berada di daerah rawan bencana letusan Gunung Awu, letusan gunung bawah laut Banua Wuhu.
- Koalisi Save Sangihe Island juga bikin petisi penolakan tambang emas di pulau itu di Change.org. “Pulau Sangihe Indah, Kami Tolak Tambang! Begitu juga petisi ini. Hingga pekan terakhir Mei ini, penandatangan petisi sudah lebih 35.000-an dari target 50.000 orang.
Elbi Pieter, warga Pulau Sangihe di Sulawesi Utara, kaget saat mendapat undangan sosialisasi dari perusahaan tambang emas, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) awal 2021. Elbi tak menyangka sosialisasi ini untuk menawar harga tanah warga yang telah jadi konsesi tambang.
Seingat Elbi, beberapa tahun lalu pernah ada pengeboran untuk eksplorasi tambang. Saat itu, warga langsung menolak. Karena perusahaan mengatakan mereka belum mengantongi izin produksi, warga tak protes lagi.
“Saya hadir di hari ke tiga (sosialisasi). Saya mendengar izin sudah ada,” katanya.
Warga, katanya, tak pernah tahu proses perizinan. Tak ada sosialisasi bahwa kampung mereka akan jadi konsesi tambang.
Saat sosialisasi Elbi mencoba meminta penjelasan tak ada sosialiasi sebelum izin keluar, dan kalau lahan mereka hendak dibeli kemana harus pindah. Elbi tak mendapat jawaban.
Dia menduga ada oknum tertentu yang menandatangani atau menyetujui sepihak izin yang keluar.
Sejak itu, Elbi keras menolak. Ibu lima anak ini tak mau ada tambang masuk ke kampungnya. Tak mau tanah mereka diganti rugi. Mereka tak mau mengungsi. Bagi Elbi, Pulau Sangihe saat ini sudah cukup memberikan damai dan penghidupan.
Dia khawatir, kalau tambang masuk, mereka akan kehilangan mata pencaharian sebagai petani dan nelayan.
“Kami hanya mengambil hasil dari tanah dan laut. Saya mampu membiayai anak saya ke perguruan tinggi sampai selesai,” katanya.
Sebagian besar warga Sangihe hidup dari hasil pertanian dan perikanan. Elbi dan suami bertani dan tangkap ikan. Mereka bertanam tomat, merica, jahe, singkong, keladi. Suami juga tangkap ikan.
Dia juga menyadari betapa penting mangrove tempat setiap hari mengambil ikan. Saat pandemi COVID-19 ke Indonesia, Elbi dan warga Sangihe sigap menanam berbagai bahan pangan untuk bertahan hidup saat ada pembatasan bagian dari protokol kesehatan.
“Kalau desa ini ditambang dan tanah beralih kepemilikan, mau makan apa kami? Dengan apa kami biayai anak kami? Kami mau dipindahkan kemana?”
Kekhawatiran serupa diungkapkan Achmad Nasir, putra asli Sangihe yang kini jadi dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Nasir, menolak keras ada tambang di Sangihe. Meski rencana tambang berada di Sangihe Selatan, Nasir khawatir berdampak ke Sangihe Utara mengingat ini pulau kecil.
“Saya menjadi sarjana dari kelapa, pala dan cengkih di Sangihe,” katanya.
Sangihe, adalah pulau kecil dengan luas 736 km2. Sejak 29 Januari 2021, TMS mengantongi izin produksi yang keluar dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Perusahaan yang mengkapling 42.000 hektar Pulau Sangihe ini dan sudah punya izin lingkungan yang terbit dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Sulawesi Utara.
Masyarakat tak pernah tahu dan tak terlibat dalam proses izin lingkungan yang memberi izin selama 33 tahun, hingga 2052 kepada perusahaan untuk mengeruk emas dari tanah mereka.
Kekhawatiran masyarakat, selain karena pulau berada di area patahan gempa, konsesi tambang perusahaan mencakup gunung yang menurut warga menyimpan lebih dari 70 sumber air bersih.
Perusahaan lakukan eksplorasi pada 2007-2013. Rencananya proses produksi menggunakan sistem penambangan terbuka, dengan peledakan. Target produksi, 4 juta ton batuan penutup dan bijih besi, serta 180-200 ribu ton emas yang diolah dengan sianida.
Perusahaan di atas Desa Bowone Dinebase ini dimiliki Sangihe Gold Corporation dengan kepemilikan saham luar negeri (Kanada) 70%, sisanya Indonesia, termasuk Sungai Belayan Sejati, Sangihe Prima Mineral, dan Sangihe Pratama Mineral.
Pulau Sangihe berada di dua lempeng besar Eurasia dan Pasifik, serta dua lempeng kecil Sangihe dan Laut Maluku, dan beberapa gunung api masih aktif.
Perda Tata Ruang Kepulauan Sangihe mengidentifikasi pulau kecil ini berada di daerah rawan bencana letusan Gunung Awu, letusan gunung bawah laut Banua Wuhu.
“Ketika hujan, sepanjang jalan aspal sering longsor, dominan berada di wilayah yang diberikan izin tambang oleh KESDM,” kata Jull Takaliuang dari Koalisi Save Sangihe Island.
Menurut Jull, ada tujuh kecamatan dalam konsesi TMS, dengan lebih 50.000 jiwa di 80 kampung berpotensi terdampak operasi perusahaan. Juga ada hutan lindung Sangihe.
Di perairan, menurut catatan koalisi, ada sekitar 3,5 hektar mangrove di Teluk Binebase juga masuk dalam konsesi.
Jull mengingatkan, kasus Teluk Buyat, dengan PT Newmont Minahasa Raya, perusahaan tambang yang karena kelalaian membuang limbah tambang, menyebabkan anak-anak di sekitar Teluk Buyat lahir cacat.
Setelah Teluk Buyat, kata Jull, masyarakat perlu melihat bagaimana di Pulau Bangka menolak tambang. Bukan perjuangan mudah.
Beruntung perjuangan warga terbayar dengan pencabutan izin perusahaan tambang di Pulau Bangka dan menjadi yurisprudensi bagi pulau kecil lain yang terancam tambang.
“Karena pasca disahkan omnibus law (UU Cipta Kerja) banyak izin tambang akan masuk ke pulau kecil,” kata Jull.
Kemenangan masyarakat di Pulau Bangka juga tak lepas dari dukungan musisi Kaka Slank yang membuat petisi online di platform Change.org. Bagi Kaka, keharian tambang emas paling merugikan untuk masyarakat lokal dan masyarakat adat. Keuntungan, katanya, hanya untuk segelintir orang.
“Sulawesi Utara itu ga ada pulau yang nggak bagus. Semua kaya dan indah. Semua ga perlu diapa-apain, ga perlu digali-gali, dieksploitasi. Menjual keindahan dan hasil alam aja sudah cukup,” katanya.
Koalisi Save Sangihe Island protes di daerah maupun ke pusat. Di Jakarta, antara lain, mereka datang ke Kantor Staf Presiden sampai bertemu Menteri ESDM untuk menyampaikan protes atas kehadiran tambang emas di Pulau Sangihe. Koalisi juga bikin petisi penolakan tambang emas di Change.org. “Pulau Sangihe Indah, Kami Tolak Tambang! Begitu juga petisi ini. Hingga pekan terakhir Mei ini, penandatangan petisi sudah lebih 35.000-an orang.
Belajar dari pengalaman menolak tambang di Pulau Bangka, Kaka mengingatkan warga agar tak terpecah demi keuntungan sementara.
“Kita ingin anak cicit kita bisa menikmati Pulau Sangihe,” katanya.
Risiko bencana
Kehadiran tambang di pulau-pulau kecil ini bukan yang pertama kali terjadi. Catatan Jatam, setidaknya ada 55 pulau kecil di Indonesia sudah dikapling pertambangan. Padahal, Undang-undang No 1/2014 melarang penambangan di pulau-pulau kecil karena secara teknis menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar.
Jatam juga mencatat kerentanan pelanggaran hak asasi manusia oleh korporasi dan negara untuk memaksakan kehadiran tambang di Pulau Kecil, misal kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi yang menimpa masyarakat adat di Pulau Romang, Maluku.
Daya rusak tambang, selain langsung pada lingkungan dan perubahan iklim, juga berpotensi mengundang bencana.
“Mayoritas pulau kecil yang ditambang dekat dengan ring of fire yang berpotensi gempa dan tsunami,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam.
Mengutip laporan gerakan #BersihkanIndonesia bersama Jatam dan Trend Asia, “Bencana yang Diundang: Bagaimana Potret Awal Investasi Ekstraktif-Energi Kotor dan Keselamatan Rakyat di Kawasan Risiko Bencana Indonesia”, menemukan, ratusan proyek industri ekstraktif justru dibangun di daerah berisiko tinggi bencana gempa, tsunami, longsor dan banjir.
Secara rinci, di seluruh Indonesia, ada 131 izin konsesi pertambangan berada di wilayah berisiko tinggi bencana gempa bumi, 2.104 konsesi pertambangan berada di wilayah berisiko tinggi bencana banjir, 744 konsesi pertambangan berada di wilayah berisiko tinggi bencana tanah longsor.
Ada 57 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas 8.887 Megawatt (MW) dalam status beroperasi dan 31 PLTU lain dengan total kapasitas 6.950 MW dalam status ragam, tahap pembangunan berada di wilayah berisiko tinggi bencana gempa bumi. Ini belum termasuk PLTU yang berada di daerah risiko banjir dan tanah longsor.
Kajian ini juga mengulas ada konflik kepentingan oligarki industri ekstraktif yang saat ini berada di lingkar pemerintahan. Mereka yang berkuasa, membuat dan mendorong berbagai kebijakan berbasis proyek pro-industri ekstraktif yang memperparah risiko bencana.
Temuan kunci lain, kata Merah, ada peningkatan kerentanan bencana di Indonesia karena infrastruktur ekologis sudah rusak oleh eksploitasi industri ekstraktif. Padahal, infrastruktur ekologis ini secara alamiah berfungsi untuk menghadapi ancaman bahaya bencana.
Dia contohkan, fungsi ekologis Gunung Tumpang Pitu dan Salakan di pesisir Banyuwangi Selatan sebagai benteng alami dan gua-gua jadi ruang evakuasi warga saat tsunami 1994. Kini, kedua gunung ini rusak dan terancam operasi pertambangan emas PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo.
“Warga terdampak dibuat makin rentan. Namun, warga dibuat tidak boleh menolak perusakan industri ekstraktif di wilayahnya. Ruang partisipasi warga ditutup, tak ada hak untuk menolak dan veto bagi rakyat.”
Menurut Merah, upaya warga malah berhadapan dengan kekerasan. Data Jatam Nasional, sepanjang 2014-2020, terdapat 269 korban kriminalisasi dengan menggunakan instrumen regulasi yang dikeluarkan pemerintah.
Tidak hanya dengan UU Minerba, seperti kasus nelayan Kodingareng yang menolak kriminalisasi oleh Makassar New Port dengan UU Mata Uang.
Selain sebagai alat kriminalisasi, regulasi seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja justru mengundang bencana. Ia terlihat dari fleksibilitas perubahan tata ruang yang makin mempermudah investasi ekstraktif berdiri di kawasan rawan bencana, jaminan perpanjangan otomatis bagi kontrak pertambangan besar hingga tak ada peluang mengoreksi konsesi di kawasan berisiko tinggi.
Selain itu, juga pemusatan kewenangan hingga kemudahan proyek strategis nasional (PSN) yang mensubversi ruang daerah dan menempatkan penilaian risiko bencana di daerah di bawah kepentingan pemerintah pusat dan pengusaha belaka.
Merah sebutkan seperti di Wadas, Jawa Tengah, penolakan warga dan ancaman karena penambangan di kawasan berisiko tinggi bencana tanah longsor diabaikan. Tencana penambangan quarry, batu andesit untuk Bendungan Bener tetap dipaksakan atas nama PSN.
******
Foto utama: Pulau Sangihe, pulau kecil nan indah yang terancam tambang emas. Foto: Wikipedia/ https://www.ppid.sangihekab.go.id/images/kantorgub