- Jalan Korea, salah satu titik pemantauan burung-burung endemik Papua, di Kabupaten Jayapura, Papua, terancam. Titik ini masuk dalam area konsesi perusahaan sawit, dan bisa berarti pepohonan bakal hilang dan satwa termasuk burung pun akan menghilang…
- Jalan Korea, merupakan satu spot pemantauan burung yang jadi destinasi wisata para pecinta burung dunia selama 27 tahun terakhir.
- Alex Waisimon, pengelola ekowisata Bird Watching menilai, kehadiran perkebunan sawit di wilayah ini, hanya mengulang cerita buruk dari berbagai daerah lain di Papua, di mana orang Papua yang bergantung pada hutan justru tersingkiran hutan itu sendiri.
- Emmy Mandosir, Kepala Badan Lingkungan Hidup Papua mengatakan, segera berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, membahas persoalan ini. Kalau memang kawasan ini titik pemantauan burung endemik, masih memungkinkan evaluasi perizinan dan mengeluarkan wilayah itu.
Kami ke lokasi pembukaan lahan PT. Permata Nusa Mandiri (PNM), Rabu (5/6/19). Ratusan meter sebelum kamp perusahaan, mobil kami berhenti. Di sebelah kiri jalan, di balik hutan tipis tersisa, tampak hamparan lahan kosong nan luas. Hutan baru terbabat untuk tanam sawit.
Melalui jalan setapak, kami masuk ke lokasi ini. Pohon-pohon yang ditebang sudah diangkut keluar. Hanya tergeletak sisa kayu bersama jejak ban alat berat yang tertinggal di tanah.
Alex Waisimon, dengan teropong berusaha melihat ujung dari area yang sudah dibuka. Teropong yang sama biasa dia pakai untuk melihat burung.
Baca juga: Alex Waisimon, Penjaga Hutan dari Lembah Grime
Alex Waisimon, banyak beraksi dalam melindungi hutan, melestarikan cendrawasih dan satwa lain sekaligus berperan meningkatkan ekonomi masyarakat melalui ekowisata Bird Watching.
Dia penerima penghargaan sebagai Pahlawan Keragaman Hayati ASEAN atau The ASEAN Biodiversity Heroes dari ASEAN Center for Biodiversity (ACB). Sebelum itu, Alex juga terima penghargaan Kalpataru 2017 dan Kick Andy Heroes 2017.
Hari itu, meski tak banyak bicara, Alex, tampak gusar. Pembukaan lahan kebun sawit ini mengancam burung endemik di tempat ini. Bahkan, satu spot pemantauan burung yang jadi destinasi wisata para pecinta burung dunia selama 27 tahun terakhir, masuk dalam konsesi perusahaan. Spot ini dikenal dengan nama Jalan Korea.
Jalan Korea karena merupakan bekas jalan pengangkutan kayu satu perusahaan asal Korea. Jamil, pemandu wisata dari Nimbokrang, yang pertama kali mengenalkan titik ini.
Di titik Jalan Korea, tampak pohon-pohon masih berdiri tegak. Ini sebenarnya hanya pohon-pohon sisa karena area ini juga jadi sasaran para penebang liar. Jejak penebang liar bahkan masih tampak baru di sepanjang pinggir jalan.
Beberapa burung endemik Papua bisa ditemukan di titik ini. Dikutip dari website burungnusantara.org, species burung yang bisa dilihat antara lain, kasuari gelambir tunggal, mambruk Victoria, cenderawasih mati kawat dan cenderawasih paruh sabit paruh putih.
Spot inipun jadi favorit para pencinta burung dan muncul dalam berbagai review website travel dan burung seperti, bindertravel, pinecreekpictures, milestothewild, burung-nusantara, birdingindonesia, papuabirdclub dan website lain.
Dalam peta izin kebun sawit PNM, Jalan Korea, ini masuk konsesi. Letaknya tidak jauh dari ujung areal terakhir yang dibuka.
Alex kecewa dengan sikap pemerintah membiarkan area ini jadi kebun sawit. Padahal, mengembangkan spot yang sudah terkenal ini jauh lebih mudah dan menghemat biaya dibanding merintis destinasi wisata baru sebagaimana yang gencar dilakukan Pemerintah Kabupaten Jayapura.
Ditambah lagi, kenyataan perkebunan sawit tak pernah mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat adat, sebagai pemilik ulayat.
Baca juga: Alex Waisimon, Pahlawan Keragaman Hayati dari Papua
Bagi Alex, kehadiran perkebunan sawit di wilayah ini, hanya mengulang cerita buruk dari berbagai daerah lain di Papua, di mana orang Papua yang bergantung pada hutan justru tersingkiran hutan itu sendiri.
Alex tidak bisa berbuat banyak. Spot Jalan Korea ini, bukanlah wilayah sukunya. Apalagi, terdengar kabar, masyarakat pemegang hak ulayat lokasi ini sudah menerima uang ganti rugi dari perusahaan.
Selain spot Jalan Korea, spot pemantauan burung lain di sekitar juga terancam. Pembukaan lahan kebun sawit seluas 32.000 hektar ini secara drastis akan mengubah ekosistem di wilayah ini. Spot KM 8, misal, meski tak masuk dalam konsesi tetapi terletak sangat dekat dengan batas perkebunan sawit ini.
Tidak semua marga sudah melepas lahan ke perusahaan. Alex berkeras hati tak akan membiarkan perusahaan ini masuk ke wilayahnya, bahkan untuk sekadar membangun jalan.
Pada 2016, suku Waisimon, sudah menyerahkan lokasi ini kepadanya untuk dikelola jadi kawasan konservasi seluas 19.000 hektar. Di wilayah mereka juga terdapat beberapa spot pemantauan burung yang dikenal dengan nama Isio Hill’s Bird Watthing.
“Kalau untuk Suku Waisimon tetap pertahankan. Suku lain mereka senang sawit masuk. Kami tidak. Karena spot ini sudah terkenal, kami tinggal meneruskan. Untuk itu, pemerintah harus perhatikan.”
Alex berharap, pemerintah segera turun tangan menyelamatkan spot Jalan Korea dan sekitar.
***
PNM mendapat izin lokasi melalui Surat Keputusan Bupati Jayapura Nomor 213 Tahun 2011, izin lingkungan pada 20 Februarui 2014 melalui Keputusan Bupati Jayapura Nomor 62/2014. Izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian kehutanan Nomor SK680/Menhut-II/2014.
Perusahaan ini mendapat seluas 32.000 hektar meliputi Distrik Unurumguay, Namblong, Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi. Perusahaan ini juga akan membangun pabrik pengolaha sawit di Demta.
Dalam dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PNM, area konservasi hanya di badan sungai seluas 2.671 hektar. Tak ada informasi, di kawasan ini ada tempat hidup berbagai burung endemik Papua yang harus dilindungi.
Nama Marga Waisimon, tidak ada dalam daftar pemilik ulayat. Adapun daftar 26 marga yang area masuk konsesi PNM antara lain Ters, Jek, Meigar, Yanbe, Sobor, Sasbe, Gorto, Sawa, Goakan, Yandu, Tecuari, Bano, Kasmando, Joshua, Kasse, Bue, Yewi, Hawasse, Bally, Sem, Swally, Sanggrawai, Sanggrabano, Wow, Manggo, dan Tarko.
Agus Sawa, perwakilan salah satu suku yang wilayah masuk konsesi PNM mengaku, belum menandatangani pelepasan wilayah. Namun, dia bersama 13 suku para pemilik yang lain sudah menerima uang dari PNM Rp4 milliar untuk lahan seluas 10.000 hektar.
Matias Sanggra, Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Orya Distrik Unurumguay bilang, tak banyak tahu tentang pelepasan kawasan ini.
“Dari DAS belum tahu tentang perusahaan ini. Biasa mereka cari masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Baru kami ini macam saya sebagai DAS sebagai distrik, sama sekali tidak tahu. Itu yang susahnya di sini. Sudah masalah, baru dorang (masyarakat adat) lari sama kita. Orang-orang perusahaan ini pintar juga.”
Dia mengetahui, orang-orang yang kini ada dalam manajemen PMN adalah orang-orang sebelumnya ada di manajemen PT Rimba Matoa Lestari (RML), terletak tidak jauh dari PNM. RML sendiri sedang bermasalah dengan masyarakat pemilik ulayat.
Respon pemerintah?
Meski terkenal di kalangan pencinta burung dunia, Dinas Pariwisata Kabupaten Jayapura tak tahu tentang spot Jalan Korea ini.
Saya menemui Alfius Youwe, Kepala Bidang Promosi Wisata Dinas Pariwisata Kabupaten Jayapura di sela-sela kegiatan di Sentani 26 Juni 2019. Alfius mengatakan, tiga spot pemantauan burung yang terdaftar di Dinas Pariwasata adalah di Kampung Putali, Distrik Ebungfau; Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, dan Kampung Amai di Distrik Depapre. Paling terkenal, katanya, Kampung Rhepang Muaif di Nimbokrang.
Di Kampung Rhepang Muaif, yang dimaksud adalah Isyo Hill’s bord Watching yang dikelola Alex Waisimon. Spot pemantauan burung lain seperti KM 8 atau Jalan Korea, baru dia ketahui.
Markus Budiadi, Kepala Bidang Amdal Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura saat saya temui mengatakan, tak ada informasi dari masyarakat terkait keberadaan areal pemantauan burung ini saat penyusunan dokumen amdal.
“Waktu itu, tidak ada informasi dari masyarakat waktu penyusunan dokumen. Kan kita ada sosialisasi. Sebelum proses amdal kan kita sosialisasi ke sana to.”
Kaji ulang dan keluarkan dari konsesi
Emmy Mandosir, Kepala Badan Lingkungan Hidup Papua mengatakan, segera berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura terkait persoalan ini.
Saat ditemui di kantornya, 25 Juni 2019, kata Emmy, amdal perusahaan ini diproses oleh Komisi amdal Kabupaten Jayapura di bawah pengawasan Badan Lingkungan Hidup Papua.
“Tidak ada yang tidak bisa diselesaikan. Kalau memang ada dalam kawasan izin saat ini, tentu kita harus evaluasi lagi . Kalau memang ada dalam izin perlu kita lakukan yang namanya pembaharuan terhadap dokumen ini hingga itu dikeluarkan.”
Emmy berjanji, mengecek langsung ke lapangan untuk melihat sendiri kondisi eksisting spot burung ini dan akan berkoordinasi dengan perusahaan.
Ketika dikonfirmasi mengenai persoalan ini, Humas PNM, Ridwan Syarif Abbas mengatakan, tak bisa menjawab dan menyarankan untuk bertanya langsung ke Dinas Kehutanan.
Perda pengelolaan hutan adat
Pemberian izin perkebunan sawit dan praktik pembalakan liar marak di Kabupaten Jayapura, sudah lama jadi kekhawatiran banyak pihak.
Alex yang sejak 2015, mulai mengembangkan Isyo Hill’s Bird sejak awal mengantisipasi masalah ini. Dia didukung berbagai pihak memperjuangan perlindungan hukum atas wilayah ini.
Pada 2018, Bupati Jayapura Matius Awaitouw, akhirnya mengeluarkan surat keputusan (SK) Nomor 188.4/150 Tahun 2018. SK ini menetapkan Bukit Isyo Rhepang Muaif sebagai hutan adat masyarakat hukum adat Yawadatum Wilayah Grime Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, seluas 19.000 hektar.
Dalam peta fungsi kawasan SK 782/Menhut-II/2012, wilayah ini area pemanfaatan lain dan hutan produksi konversi. Dengan SK Bupati Jayapura, dia harapkan wilayah ini tak akan mengalami alih fungsi tetap terlindungi sebagai karya usaha ekowisata bird watching maupun pemanfaatan lain yang memberi keuntungan langsung kepada masyarakat.
Kini, Isyo Hill’s Bird Watching, terus berkembang. Di lokasi ini kini tersedia penginapan, ada 18 kamar siap huni. Di sini juga tersedia aula termpat berbagai pihak mulai dari peneliti, mahasiswa, hingga masyarakat melakukan kegiatan bersama. Sekolah alam masih dalam proses pembangunan. Juli hingga November, tempat ini menerima jadwal kunjungan para pencintan burung. Kini, 300 wisata dalam setahun mengunjungi tempat ini.
“Saya pikir, kita kelola ini saja sudah cukup. Yang penting mau kerja keras. Kerja sendiri, kasi ajar masyarakat. Beberapa kelompok kita ajar supaya mereka bisa hidup dari hutan.”
Namun, katanya, mengembangkan Isyo Hill’s saja tidak cukup. Alex harus berjuang menyelamatkan spot-spot lain sekitar. Daya tarik memantau burung di Nimbokrang, bukan hanya di Isyo Hills juga di spot-spot lain termasuk Jalan Korea.
Adapun tempat wisata burung terkenal di Papua, ada di Biak, Nimbokrang, Arfak, Sorong, Waigeo.
Keterangan foto utama: Alex Waisimon saat berada di lokasi pembukaan lahan PT. Permata Nusa Mandiri. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia