- Konflik masyarakat dengan perusahaan di Kalimantan Tengah, terutama di Kapuas, Katingan, Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Barito Timur, terus terjadi.
- Ada 12 konflik dengan beragam masalah. Mulai pencemaran lingkungan akibat limbah cair, perusakan rawa, danau, dan sungai, serta abainya perusahaan akan kewajiban terhadap masyarakat. Dampaknya, sumber pendapatan warga dari alam, hilang.
- Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, berjanji akan melihat langsung dan menyelesaikan sejumlah konflik tersebut. Dalam waktu, satu hingga tiga bulan.
- Selama tidak ada evaluasi semua izin penetapan kawasan, konflik akan berlanjut. Pertikaian semakin rumit karena persoalan lama belum selesai, izin baru bermunculan.
Iring-iringan warga lima kebupaten [Kapuas, Katingan, Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Barito Timur] bergerak ke Kantor Gubernur Kalimantan Tengah [Kalteng], Jumat pagi [28/6/2019]. Aksi damai warga yang digelar bersama Walhi Kalteng dan paralegal tersebut sebagai bentuk protes terhadap sejumlah konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan.
Tercatat, ada 12 aduan dengan beragam permasalahan. Ada pencemaran lingkungan akibat limbah cair, perusakan rawa, danau, dan sungai, serta abainya perusahaan akan kewajiban terhadap masyarakat.
Perwakilan perempuan masyarakat adat Barito Timur, Mardiana, menuturkan perusahaan tambang di hulu sungai membuat air yang dulunya bersih kini tidak dapat dikonsumsi. Ikan mulai sulit didapat. Bahkan, ada sejumlah warga dikriminalisasi dan diintimidasi. “Kami hanya ingin hidup rukun, damai, dan ama,” ujarnya.
Mewakili masyarakat terdampak, Mardiana meminta pemerintah turun tangan agar perusahaan tidak abai menjalankan kewajibannya. Dia menyebut, masyarakat tidak menolak perusahaan jika taat aturan. “Jangan rusak kelestarian alam yang merupakan sumber penghidupan kami,” ujarnya.
Baca: Demo Perusahaan Sawit, Warga Sembuluh Keluhkan Danau Tercemar Limbah

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Dimas Nuvian Hartono, menyebut aksi ini bertujuan menyuarakan penyelesaian pertikaian. “Konflik perusahaan perkebunan di empat kabupaten itu didominasi perampasan lahan oleh perusahaan. Sementara di Barito Timur, sungai rusak akibat penambangan. Banyak lubang dibiarkan menganga, serta masuknya permukiman masyarakat dalam kawasan tambang,” jelasnya.
Dampaknya, sumber penghidupan masyarakat setempat hilang. “Kami berharap komitmen Gubernur Kalteng terlaksana. Sebagaimana penjelasannya, dalam waktu satu hingga tiga bulan, laporan kasus ini bisa terselesaikan dengan baik. Sejumlah kasus yang ada telah kami analisa dan dibuat kronologinya, yang diharapkan dapat membantu pemerintah,” katanya.
Baca: Ketika Presiden Perintahkan Penyelesaian Konflik Lahan Termasuk Dalam Konsesi

Janji gubernur
Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran, yang sebelumnya berkunjung ke kantor Walhi Kalteng, berjanji akan melihat langsung dan menyelesaikan sejumlah konflik tersebut. Dalam waktu, satu hingga tiga bulan. Sugianto juga meminta Bupati Katingan untuk segera mengevaluasi perizinan perkebunan yang ada.
“Kami akan sikapi dengan adil dan bijaksana. Pemerintah dalam membangun Kalteng, menginginkan pertumbuhan ekonomi yang baik, kemanan terjaga, menuju Kalteng maju dan bermartabat.”
Satu sisi, yang perlu diperhatikan pemerintah adalah keberadaan dan kedatangan investor, harus berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. “Perusahaan diharapkan menaati aturan dan segera mengembalikan hak-hak masyarakat, sebelum ada tindakan tegas,” ujar Sugianto.
Baca juga: Pemerintah akan Bentuk Divisi Penanganan Konflik Agraria Lintas Kementerian dan Lembaga

Konflik warisan
Konflik yang ada saat ini, dinilai akibat kebijakan sumber daya alam yang dikembangkan Pemerintah Orde Baru, seperti penetapan kawasan hutan, izin tambang dan perkebunan, yang disebut warisan otoritarianisme. Reformasi 1998 merupakan pembaruan konstitusi, prinsip-prinsip HAM, agraria dan pengelolaan SDM, serta peraturan perundangan baru yang mengakui hak-hak masyarakat.
Namun disayangkan, tidak pernah ada koreksi atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Rezim Orde Baru. Sehingga, dampak besarnya terhadap penetapan kawasan hutan, seperti yang ada di Kalteng, yang 85 persen merupakan hutan.
“Dalam perspektif pemerintah, jika masuk kawasan hutan, dikuasai negara. Sampai saat ini belum ada deliniasi kawasan hutan milik atau hutan hak. Sementara dalam prosesnya selanjutnya ada tata ruang, dengan padu serasi, dibuat areal penggunaan lain dan lainnya. Akibatnya, berdampak seperti saat ini, ada HGU, HPH, HTI, tambang tapi masyarakat tidak tahu,” papar Sandrayati Moniaga dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kamis [27/6/2019].
Selama negara tidak mau berhenti, atau melakukan moratorium dan mengkaji ulang atas semua izin penetapan kawasan, konflik akan berlanjut. Pertikaian semakin rumit karena persoalan lama belum selesai, izin baru bermunculan.
“Pemerintah harus mengubah persepsi, mereka adalah fasilitator semua pihak. Tidak bisa hanya berpihak pada investor. Masyarakat adalah warga negara yang harus dipenuhi haknya,” jelasnya.
Di Kalteng, ada kebijakan unik pada masa pemerintahan sebelumnya, Agustin Teras Narang [Gubernur dua periode, 2005-2015], salah satunya pembuatan surat keterangan tanah [SKT] yang dikeluarkan demang. Meski dinilai kontroversial, hal tersebut sebagai bentuk empowering local otority. Kelemahannya adalah tidak ada keterkaitan langsung dengan BPN, tidak punya kekuatan hak milik, sehingga tidak juga menyelesaikan konflik lahan.
“Menurut saya, di Kalteng belum ada perda pengakuan masyarakat adat seperti daerah lain. Tetapi, ada perda agak unik soal pengakuan hak di masyarakat. Ini mesti dikaji lebih kritis,” sarannya.

Di sisi lain, pengakuan keberadaan masyarakat adat, tidak secara tertulis. Ketika berada dalam wilayah hukum positif, masyarakat kalah terhadap perusahan yang mempunyai SK, izin dan lainnya. “Sehingga, dalam logika hukum positif, memihak dan berpegang pada surat-surat yang dinilai resmi,” jelas Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, baru-baru ini.
Peran pemerintah sangat penting, memastikan dan mengakui keberadaan hak-hak masyarakat tersebut. Yang saat ini terjadi, masyarakat yang lebih proaktif, bahkan untuk membuat perda dinilai aneh. Sementara, keberadaan masyarakat dan hak-hak atas lahan itu jelas ada, dapat ditelusuri. “Karena hak yang tidak diakui ini maka kelompok masyarakat tersebut jadi rentan.”
Di sini peran penting paralegal. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan, terdapat kurang lebih 300 kasus, berkaitan dengan konflik lahan dan masyarakat adat yang terjadi selama ini. “Kasus-kasus tersebut merupakan bahan untuk mendesak DPRD, agar ada upaya penyelesaian kasus,” tandasnya.