Pebisnis Sawit Golden Agri dan Wilmar Alami Kemajuan Kendati Masih Terlibat Isu Lingkungan

Hutan di desa Kuala Cenaku, Indragiri Hulu, Riau yang diambil alih oleh PT Duta Palma, salah satu produsen kelapa sawit anggota RSPO. Perusahaan ini terlibat pengambilalihan hutan rakyat secara sepihak. Foto: Aji Wihardandi

Sehari menjelang pertemuan RSPO kesepuluh tanggal 30 Oktober 2012 di Singapura, Greenpeace Internasional meluncurkan rapor produsen kelapa sawit yang berisi rangking perusahaan besar kelapa sawit dunia terkait dengan hubungan mereka dengan kerusakan hutan dan gambut.

Rapor produsen kelapa sawit ini meliputi sebelas perusahaan besar sawit dunia yang kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia termasuk Papua New Guinea dan Brasil. Kriteria penilaian didasari pada tiga hal, komitmen menghentikan deforestasi, tidak membangun perkebunan di atas gambut dan persentase sertifikat produksi dari RSPO.

“Akankah RSPO akan memperbaiki standar mereka menuju lebih tinggi atau tidak peduli dengan kerusakan gambut di negara seperti Indonesia bahkan empat tahun setelah RSPO memulai sistem sertifikasi. Rapor Greenpeace ini memperlihatkan sedikit sekali perusahaan yang mempelopori kebijakan perlindungan hutan dan gambut sementara banyak perusahaan lainnya yang tertinggal,” ujar Wirendro Sumargo, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dari sebelas perusahaan itu dua peringkat teratas ditempati perusahaan sawit dari luar Indonesia yakni Agropalma Brasil dan New Britain Palm Oil Ltd di Papua New Guinea. Kedua perusahaan ini memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan Greenpeace.

Perusahaan produsen dari Indonesia hanya berada di posisi ketiga yakni Golden Agri-Resources dan Wilmar Internasional di posisi empat. Dua perusahaan yang banyak disorot organisasi pemerhati lingkungan beberapa tahun terakhir ini hanya memenuhi dua kriteria.

“Hanya beberapa perusahaan mengambil langkah-langkah maju untuk melindungi hutan dan gambut. Sebaliknya jauh dari itu, banyak anggota RSPO yang mayoritas produksi mereka justru belum menjalankan best practice termasuk memiliki sertifikat. Sehingga dibutuhkan standar yang lebih kuat untuk memastikan melindungi gambut dan menghentikan pelepasan emisi rumah kaca dari perkebunan mereka,” tambah Rendro.

Metode yang dipakai Greenpeace dalam hal ini yakni meninjau kebijakan perlindungan hutan dan gambut produsen. Greenpeace menyediakan kuesioner untuk diisi perusahaan. Namun sayangnya rapor ini tidak memperhitungkan apakah kebijakan tersebut terlaksana di lapangan. Rapor ini sendiri juga dirancang untuk menyediakan informasi terbaru bagi perusahaan konsumen tentang kebijakan beberapa produsen besar kelapa sawit dunia dalam rangka mendorong mereka untuk memilih kriteria yang lebih ketat untuk kriteria dan prinsip RSPO.

Kredit

Topik

Konflik Agraria Tak Berujung

Ketimpangan kuasa tanah begitu besar di Indonesia hingga menciptakan berbagai persoalan, salah satunya, konflik agraria dan sumber daya alam.  Tanah-tanah di negeri ini, banyak dalam kuasa negara dan skala besar, sedang rakyat terhimpit. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 17,25 juta keluarga petani hanya menguasai tanah di bawah 0,5 hektar. Pendapatan harian petani gurem hanya sekitar […]

Artikel terbaru

Semua artikel