Kehadiran kucing-kucing liar karismatik dalam sebuah ekosistem hutan, merupakan tanda keutuhan hutan sebagai sumber pangan, air dan udara bersih yang manusia butuhkan.
Ketika satwa ini punah, maka hutan akan kehilangan makna dan berpotensi digerus, sehingga memicu berbagai persoalan seperti krisis iklim, hingga meningkatnya serangan hama pertanian.
“Saat hutan kehilangan figur sentralnya, maka hutan tidak lagi bermakna. Lalu dibabatlah. Dan kita bisa bayangkan apa yang terjadi kemudian,” kata Erwin Wilianto, pendiri Yayasan SINTAS Indonesia dan anggota IUCN-SSC Cat Specialist Group, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [4/6/2025].
“Banyak praktisi sekarang memahami penyelamatan satwa liar, merupakan kunci dalam memerangi krisis iklim,” lanjutnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, apa yang dikhawatirkan Erwin sudah terjadi di sekitar landskap hutan Suaka Margasatwa [SM] Gunung Raya, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan.
Di masa lalu, kawasan hutan ini merupakan habitat bagi beragam jenis satwa Pulau Sumatera, seperti gajah sumatera, harimau sumatera, kucing emas, macan dahan, kucing kuwuk, tapir, dan lain sebagainya.
Saat ini, semua satwa tersebut sangat jarang terlihat, sejalan dengan tergerusnya tutupan hutan oleh perkebunan kopi dan lain sebagainya.
Merujuk data terbaru BKSDA Sumatera Selatan yang diperoleh Mongabay Indonesia, sekitar 64 persen [32.608 hektar] dari luas total kawasan Gunung Raya [50.950 hektar], masuk dalam blok rehabilitasi- kategori kawasan yang terganggu atau berganti menjadi perkebunan.
Kenedi, warga Desa Kotabatu, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan mengatakan, babi saat ini menjadi satu-satunya satwa yang berkonflik dengan masyarakat yang berkebun di sekitar Gunung Raya hingga di sekitar Danau Ranau dan Gunung Seminung.
“Dulu konflik dengan gajah, sekarang tidak lagi. Kucing-kucing liar juga sudah sangat jarang terlihat. Tinggal babi inilah yang jadi masalah,” katanya.
Berdasarkan kunjungan Mongabay Indonesia sebelumnya, serangan babi juga menjadi masalah bagi para petani kopi di dataran tinggi Sumatera Selatan, seperti di wilayah Semende, Pagar Alam, dan sekitar Lahat.
“Serangan babi tidak hanya merusak kopi, tapi juga padi, kebun ubi, dan lainnya,” kata Dapawi, petani kopi di Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim.
Tercatat, ada lima jenis kucing liar yang hidup di dataran tinggi Sumatera Selatan, yakni harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] yang dikategorikan sebagai kucing besar. Dan empat jenis kucing kecil, yakni macan dahan [Neofelis diardi], kucing emas [Catopuma temminckii], kucing kuwuk atau macan akar [Prionailurus bengalensis], dan kucing batu [Pardofelis marmorata].
Jenis kucing-kucing liar kecil, sejak lama berpeluang untuk bisa hidup berdampingan dengan manusia, dan memberi manfaat dalam pertanian, yakni sebagai pengendali hama biologis alami.
*****