- Kabar mengenai masyarakat mengalami berbagai persoalan ketika daerah mereka ada industri skala besar seperti sawit, kayu, tambang dan berbagai proyek infrastruktur termasuk yang berlabel proyek strategis nasional (PSN), terjadi dibanyak penjuru wilayah di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Masyarakat adat, masyarakat lokal, petani, masyarakat pesisir, nelayan mengalami kehilangan ruang hidup dan kerusakan lingkungan ketika investasi atau proyek besar datang.
- Berdasarkan data UN Women, perempuan dan anak perempuan menghabiskan waktu 2,5 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki setiap hari untuk melakukan kerja perawatan tak berbayar. Perempuan juga banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional, seperti bertani dan menjadi nelayan. Pekerjaan ini harus didukung oleh kelestarian alam.
- Siti Maimunah, pendiri Mama Aleta Fund, menyebut, pada titik tertentu, tubuh perempuan menjadi makin rentan dengan ada industri ekstraktif di sekitar mereka. Contohnya, di Morowali, perempuan dan anak menjadi menderita ISPA karena aktivitas pertambangan nikel.
- Suraya Afiff, antropolog dari Universitas Indonesia, mengatakan, doktrin pembangunan atau industri membawa manfaat bagi masyarakat sering bias gender. Mereka mereduksi makna “manfaat” sebagai kesempatan kerja. Masalahnya, kesempatan kerja--pekerjaan-pekerjaan yang diupah—sering diberikan kepada laki-laki. Siti Maimunah, pendiri Mama Aleta Fund, menyebut, pada titik tertentu, tubuh perempuan menjadi makin rentan dengan ada industri ekstraktif di sekitar mereka. Contohnya, di Morowali, perempuan dan anak menjadi menderita ISPA karena aktivitas pertambangan nikel.
Kabar mengenai masyarakat mengalami berbagai persoalan ketika daerah mereka ada industri skala besar seperti sawit, kayu, tambang dan berbagai proyek infrastruktur termasuk yang berlabel proyek strategis nasional (PSN), terjadi dibanyak penjuru wilayah di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Masyarakat adat, masyarakat lokal, petani, masyarakat pesisir, nelayan mengalami kehilangan ruang hidup dan kerusakan lingkungan ketika investasi atau proyek besar datang. Perempuan, jadi pihak yang mengalami dampak berlipat ketika krisis terjadi.
Para perempuan adat di Maluku, misal, mereka terkepung berbagai ancaman kekerasan imbas aktivitas perusahaan-perusahaan ekstraktif. Sebagian perusahaan itu mendapat izin dari pemerintah, namunada juga yang ilegal tetapi dibiarkan.
Di Kabupaten Seram Bagian Barat, perempuan adat terancam perusahaan nikel. Di Seram Timur dan Utara, terancam perusahaan minyak dan gas. Belum lagi ancaman dari aktivitas tambang emas di Kabupaten Buru dan Maluku Barat Daya.
Ada juga pembangunan geotermal di Buru dengan lahan berisiko tumpang tindih dengan hutan adat dan permukiman warga.
Perempuan di Maluku juga terancam oleh eksploitasi tambang marmer di Seram Bagian Barat dan pasir garnet di Seram Bagian Selatan. Ada juga galian C dan batu pelicin beton-aspal di Kei.
Apriliska Titahena, perempuan adat Hunitetu Seram Bagian Barat sekaligus Koem Muda Maluku, salah satu yang khawatir dengan kondisi ini.
Bagaimana tidak, dari luas daratan Maluku sekitar 46.914 km², kekayaan alam dalam kuasa banyak perusahaan.
Imbasnya tidak hanya di daratan, juga pesisir, tempat hidup dan sumber pencaharian masyarakat rusak.
“Ketika tambang-tambang ini merusak bagian di darat maka lautnya juga berdampak,” kata April.

Saat ini, mereka sudah rasakan dampak buruknya. Daerah tempatnya tinggal sering banjir dan berlumpur. Kebun kelapa hingga cengkih pun terendam.
Di pesisir, para nelayan, termasuk perempuan, makin kesulitan mendapatkan ikan dan hasil tangkapan laut. Kalaupun ada, warga khawatir sudah terkontaminasi limbah. Padahal, sebagian besar sumber penghidupan masyarakat ada di pesisir.
“Maka ini menjadi keresahan bersama, kegelisahan bersama,” katanya.
Para perempuan, katanya, tidak pernah terlibat dalam rencana pemberian izin dan pembangunan perusahaan-perusahaan eksploitatif itu.
Padahal, yang paling terdampak adalah perempuan. Dari 1,9 juta penduduk Maluku, 900.000 merupakan perempuan.
Selain sulit mendapat ikan dan hasil tangkapan laut, para perempuan juga kesulitan mengakses air bersih untuk minum, memasak, mandi, dan sebagainya. Akhirnya, berimbas pada kesehatan.
Lebih jauh, sulitnya akses air juga meningkatkan potensi kekerasan seksual terhadap perempuan.
“Bayangkan kalau misalnya perempuan adat sebagai pengelola di komunitas, lalu dia ingin mengakses air bersih yang jauh begitu, itu juga rentan terhadap dirinya.”

Tak hanya ruang hidup rusak, ancaman kriminalisasi pun kadang datang ketika masyarakat melawan, tak ingin hutan maupun lingkungan mereka rusak.
Tak hanya di Maluku. Albertha Siska, Perempuan Adat Ga’ai Kung Kemul, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, juga alami nasib hampir sama. Desanya paling ujung di Kabupaten Bulungan.
Desanya terapit dua PSN, yakni, pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala besar di Sungai Kayan, berada di Long Pelban dan Long Lejau.
Proyek raksasa ini memerlukan bendungan besar dan rentan mengubah aliran sungai, arus air, hingga akses masyarakat adat.
Padahal, kata Siska, kehidupan masyarakat bergantung dari alam itu.
“Sumber penghidupannya dari situ, mencuci hasil dari kebun, dari ladang, mencari ikan,” katanya.
Kemudian, di hilir atau pesisir, terdapat proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI), juga PSN.
Masyarakat tak mendapatkan informasi penuh. Pengukuran tiba-tiba. Bahkan, pengeboman batu (blasting) di Desa Peso dan Lombia untuk pelebaran sungai juga tanpa pemberitahuan.
Kondisi laut juga tak kalah mengkhawatirkan. Dia menyebut, air disedot untuk kebutuhan KIHI dan limbah langsung ke laut.
Kondisi ini, katanya, menyebabkan mata pencaharian tradisional warga mati. Di darat, perempuan tak bisa memetik sayur. Di pesisir, tak bisa mendapat ikan.
Siska bilang, di beberapa desa memang listrik minim, hanya bisa menyala dari pukul 18.00 hingga 23.00.
Mereka perlu listrik, tetapi tidak dengan cara yang juga mengancam kehidupan.
Kini, sebagian desa terancam tenggelam dan masyarakat bakal gusur dari tempat tinggalnya, termasuk tanah adat.
“Jadi sebenarnya kalau ditanya dari hati yang paling dalam, kami tidak mau pindah, kami tidak mau diusir ke mana pun dari tempat ini, karena kami sudah cinta kampung dan alam kami.”
Ketika ada proyek ini, kasus pelecehan terhadap perempuan juga muncul. Ada perempuan yang alami pelecehan seperti, ‘mengajak berhubungan seks’ sebagai upaya menjatuhkan dari warga yang terpengaruh proyek.
Bahkan, masyarakat penolak proyek alami tekanan secara ekonomi. Perusahaan tutup akses warung, kos-kosan, dan usaha kecil warga. Warga dipaksa tergantung pada fasilitas perusahaan yang lebih mahal.
“Bahkan, perusahaan sekarang sudah mengeluarkan surat edaran larangan untuk karyawannya belanja, ngekos atau kontrak di tempat masyarakat lokal.”
Cerita dari para perempuan adat itu hanya secuil dari begitu banyak kasus yang terjadi di nusantara ini.
Komnas Perempuan menerima 80 laporan pengaduan terkait konflik sumber daya alam dan penggusuran. Dari jumlah itu, 11 laporan berkaitan dengan PSN.

Diskriminasi perempuan
Suraya Afiff, antropolog dari Universitas Indonesia, mengatakan, doktrin pembangunan atau industri membawa manfaat bagi masyarakat sering bias gender.
Mereka mereduksi makna “manfaat” sebagai kesempatan kerja. Masalahnya, kesempatan kerja–pekerjaan-pekerjaan yang diupah—sering diberikan kepada laki-laki.
“Perempuan muda atau apalagi perempuan yang sudah berkeluarga sulit masuk,” katanya.
Akhirnya, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan keperawatan dan reproduksi sosial yang tidak diupah. Laki-laki mungkin masih bisa bekerja di PLTU atau tambang, namun perempuan menjaga rumah dan merawat anak.
Kondisi ini, katanya, diperparah kultur patriarki yang masih kental di Indonesia dan membebankan perempuan hanya memegang ranah domestik.
Perempuan, katanya, juga terbebani untuk menjamin air dan makanan yang sehat. Ketika air tercemar atas nama pembangunan dan investasi, maka perempuan yang paling banyak terdampak.
Berdasarkan data UN Women, perempuan dan anak perempuan menghabiskan waktu 2,5 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki setiap hari untuk melakukan kerja perawatan tak berbayar.
Perempuan juga banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional, seperti bertani dan menjadi nelayan. Pekerjaan ini harus didukung oleh kelestarian alam.
Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebut, perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60% bagi perekonomian keluarga.
“Sementara keputusannya ada di laki-laki, perempuan tidak diajak bicara. Dampak dari pembukaan ini adalah perempuan kehilangan lahan untuk pertanian, dan tentu saja income (pendapatan) untuk keluarga juga.”
Diskriminasi terhadap perempuan bukan baru-baru ini saja terjadi. Siti Maimunah, pendiri Mama Aleta Fund, menyebut, hampir semua kesempatan yang perempuan dapatkan saat ini merupakan hasil perjuangan.
“Bahkan, untuk dapat pekerjaan, perempuan harus protes dulu. Agar keadilannya terpenuhi, mereka protes,” katanya.
Tantangan saat ini bertambah dengan ada krisis iklim dan masifnya ekstraktivisme. Banyak akses-akses yang terputus.
“Ruang hidup yang rusak itu membuat perempuan semakin tidak punya nilai tawar, semakin miskin.”
Pada titik tertentu, kata Siti, tubuh perempuan menjadi rentan ketika hidup di sekitar industri ekstraktif. Contohnya, di Morowali, perempuan dan anak menjadi menderita ISPA karena aktivitas pertambangan nikel.
Kasus ISPA di Morowali mengalami peningkatan yang signifikan pada 2023. Pada tahun itu, kasusnya mencapai 57.527, jauh lebih tinggi dari 2020 sebanyak 10.273.
Tak heran jika perempuan banyak melakukan perlawanan terhadap pembangunan yang tidak adil dan membahayakan. Meski tak selalu aksi di jalan, kata Siti, selama ini para perempuan tetap melawan.
“Siasat dan strategi perempuan bisa jadi berbeda. Perempuan mempunyai cara-cara sendiri untuk melawan.”

*****