- Paparan mikroplastik semakin sulit dibendung oleh siapapun di Indonesia. Pencemarannya diperkirakan tak hanya terjadi di udara terbuka saja, namun juga masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak kesehatan
- Sumber asal paparan mikroplastik diketahui dari aktivitas pembakaran sampah dengan dominasi kandungan material poliolefin, yaitu material yang biasanya dipakai untuk kantong plastik dan kemasan
- Penyebab semakin maraknya warga membakar sampah, adalah karena pengelolaan sampah di lingkungan masih sangat buruk. Kondisi itu memaksa warga untuk mencari solusi mandiri agar sampah tidak menumpuk di lingkungan
- Selain di udara, ancaman mikroplastik ada di dalam tubuh manusia, terutama pada mereka yang menggunakan plastik sekali pakai dan botol air minum dalam kemasan (AMDK). Material yang paling banyak ditemukan, adalah jenis plastik PET (Polyethylene Terephthalate)
Kebiasaan membakar sampah ternyata mempercepat proses pengiriman partikel mikroplastik ke udara yang pada akhirnya mencemari air hujan. Sejalan dengan riset Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) dengan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SEIJ) mendapati ada unsur poliolefin yang mendominasi.
Rafika Aprilianti, Kepala Laboratorium Ecoton mengatakan, dominasi komposisi poliolefin partikel mikroplastik di udara kuat dugaan berasal dari pembakaran sampah plastik, baik kantong maupun kemasan.
Selain itu, ada juga unsur poliamida dan politetrafluoroetilena (PTFE). Dimana, keduanya biasanya berasal dari serat pakaian, komponen otomotif, dan pelapis tahan panas.
Berdasarkan data hasil penelitian, kalau pembakaran sampah plastik mendominasi hingga 55% ketimbang aktivitas transportasi yang berkontribusi 33,3% saja. Fakta itu menjelaskan kalau paparan mikroplastik adalah murni akibat aktivitas manusia karena buruknya sistem pengelolaan sampah.
Merujuk hasil penelitian itu, lanjut Rafika, terdapat lima kota dengan kontaminasi tertinggi dari 18 kota yang jadi objek penelitian. Kelimanya adalah Jakarta Pusat (37 partikel /2jam/9 cm), Jakarta Selatan (30), Bandung (16), Semarang (13) dan Kupang (13).
Dia bilang, mikroplastik adalah potongan kecil plastik berukuran kurang dari lima milimeter. Ia jadi persoalan karena mikroplastik mudah mengikat zat beracun, seperti logam berat dan bahan kimia berbahaya lain di sekitarnya.
“Karena itu, mikroplastik bisa menjadi hingga 106 kali lebih beracun dibanding logam berat tunggal, sebab membawa campuran berbagai polutan sekaligus,” katanya.

Jakarta juaranya
Sofi Azilan Aini, peneliti Ecoton menyebut, Jakarta secara umum menjadi juara untuk kategori kota dengan tingkat kontaminasi mikroplastik udara tertinggi. Terdapat 37 partikel dalam periode waktu dua jam di Jakarta.
Dalam risetnya, peneliti mengambil sampel udara di sejumlah tempat, yaitu Pasar Tanah Abang, Jalan Sawah Besar, dan Kawasan Ragunan. Bahkan, Pasar Tanah Abang menjadi hotspot mikroplastik akibat kombinasi lalu lintas kendaraan tinggi, penggunaan plastik sekali pakai, aktivitas bongkar-muat barang, dan pelepasan serat sintetis dari tekstil.
Sementara itu, kota dengan kelimpahan mikroplastik udara terendah adalah Malang, hanya dua partikel dalam dua jam. Hal itu terjadi karena rendahnya aktivitas industri dan pembakaran sampah serta dominasi vegetasi alami.
Berbagai literatur menyebut, pembakaran plastik bisa menghasilkan partikel mikroplastik dan aerosol sintetis yang bertahan lama di udara dan terbawa angin hingga ratusan kilometer.
“Ketika partikel-partikel ini bereaksi dengan uap air di atmosfer, mereka dapat turun bersama air hujan dan membentuk fenomena yang kini terkenal sebagai hujan mikroplastik,” katanya.
Penelitian Greenpeace Indonesia bersama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) juga mengungkap fakta yang tak kalah mencengangkan. Hasil riset menemukan adanya mikroplastik pada tubuh manusia melalui urin, darah, dan feses.
Studi yang berlangsung Januari 2023 sampai Desember 2024 itu menemukan kandungan mikroplastik pada 95% sampel dari 67 partisipan riset. Material mikroplastik paling banyak adalah jenis plastik polyethylene terephthalate (PET).
Biasanya, PET ada pada kemasan plastik sekali pakai seperti botol air minum dalam kemasan (AMDK). Jenis tersebut adalah yang paling banyak mengontaminasi tubuh partisipan dengan total 204 partikel terdeteksi.
Pukovisa Prawirohardjo, ahli saraf dari FKUI yang menjadi anggota Tim Riset Mikroplastik memaparkan, risiko tertinggi akibat terpapar mikroplastik adalah menurunnya kemampuan kognitif.
“Mereka memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat,” jelas dia. Dampaknya, kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan juga akan ikut turun.
Tim dokter dari Divisi Neurobehavior FKUI -Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengumpulkan data-data dari para partisipan yang kemudian menganalisanya menggunakan Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina).

Air kemasan
Lima ilmuwan pada 2022 mempublikasikan hasil riset di Italia berjudul “Occurrence of Microplastics in Tap and Bottled Water”. Studi ini merekomendasikan publik untuk mengurangi konsumsi air minum dalam kemasan karena terbukti mengandung mikroplastik yang lebih tinggi ketimbang air dari keran atau sumber-sumber alami lainnya.
Kandungan itu muncul akibat degradasi kemasan plastik yang terpapar panas, gesekan, atau proses produksi yang tidak terkendali. Bahkan, plastik food-grade yang diklaim aman tetap berisiko melepaskan partikel mikroplastik ke dalam makanan, terutama saat terkena suhu tinggi atau kondisi penyimpanan yang buruk.
Selain material yang memicu langsung mikroplastik, sampah plastik yang tidak terkelola juga akan terdegradasi dan menjadi mikroplastik dengan tingkat laju penyusutan yang bervariasi. Lebih parahnya, mikroplastik yang terdegradasi dan tercemar ke lingkungan akan bertahan lebih lama, termasuk di lautan.
Itu semua akan meningkatkan risiko tertelan berbagai organisme laut seperti ikan, udang, kura-kura, hingga zooplankton. Setelah itu, mikroplastik dapat masuk ke dalam rantai makanan dan pada akhirnya sampai ke tubuh manusia.
Mikroplastik dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota usus, yaitu kumpulan mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan virus yang penting bagi kesehatan tubuh. Selain itu, mikroplastik juga berpotensi merusak sistem jantung, pembuluh darah, reproduksi, dan saraf dengan meningkatkan stres oksidatif, yaitu kondisi yang dapat merusak sel-sel tubuh.
Tingginya paparan mikroplastik bukan hanya mengancam kesehatan manusia. Tetapi, juga menggambarkan tingginya penggunaan plastik sekali pakai. Di level global, terjadi peningkatan sampah plastik di seluruh dunia hingga lebih dari dua kali lipat sepanjang 2000-2019. Semula, angkanya mencapai 213 juta ton dan meningkat signifikan menjadi 460 juta ton pada 2019.
Pada level nasional, upaya pengurangan dan pengelolaan yang belum maksimal juga menimbulkan timbulan sampah plastik yang berpotensi menjadi masalah. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menyebut, volume sampah plastik naik dari 4,38 juta ton pada 2019 menjadi 7,86 juta ton pada 2023.
Laporan tersebut menjabarkan, saat produksi sampah plastik terus meningkat, pengelolaannya justru masih jauh dari ideal. Adanya kiriman sampah dari negara lain memperburuk situasi itu.
Pada 2023, Indonesia mengimpor sampah plastik sebanyak 252.473 ton dari 27 negara. Belanda menjadi negara eksportir sampah plastik terbesar di Indonesia, menyusul Jerman, Belgia, dan Amerika Serikat (AS).
Perlu langkah kongkret agar kontaminasi mikroplastik tidak semakin meluas.
Upaya itu mencakup sistem pengelolaan sampah dengan dengan melakukan pemilahan, percepatan dan perluasan larangan penggunaan plastik sekali pakai dan mendorong kemasan guna ulang (reuse). “Pemerintah juga perlu menetapkan standar pengujian mikroplastik yang ketat serta ambang batas kontaminasi dalam produk pangan dan lingkungan,” terangnya.
Di luar pemerintah, produsen menjadi pihak utama yang terlibat langsung untuk mengurangi produksi dan distribusi plastik sekali pakai. Pengurangan signifikan itu menjadi bentuk tanggung jawab mereka untuk mengelola sampah plastik yang telah mereka produksi.
“Produsen perlu meningkatkan transparansi komposisi plastik dalam produknya serta peta jalan pengurangan sampah oleh produsen.” .

Benahi di darat
Muhammad Reza Cordova, Peneliti Kimia Laut dan Ekotoksikologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan, pengelolaan sampah yang tepat dan benar akan bisa mengurangi secara signfikan paparan mikroplastik. Namun, dia akui hal tersebut tak mudah.
Dia bilang, pengelolaan sampah di darat, akan mengurangi aliran sampah ke laut. “Berdasarkan penelitian kami, 10-20 persen limbah plastik yang bocor dari bagian utara Jakarta dan bagian barat Jawa akan langsung menuju Samudera Hindia. Bahkan, setelah setahun atau 14 bulan, limbah tersebut akan sampai ke selatan Afrika,” katanya, kepada Mongabay.
Sampah plastik yang masuk ke laut juga akan semakin sulit terkendali, karena akan terurai setelah terpengaruh oleh sinar UV, sinar matahari, panas, dan sebagainya. Jadi, plastik kemudian pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
Karena itu, upaya untuk menghadapi sampah plastik membutuhkan solusi komprehensif untuk mengatasi sampah dari hulu ke hilir. Sinergi multipihak merupakan faktor kunci dari kesuksesan pengelolaan sampah laut di Indonesia.
Reza tekankan pentingnya memahami berbagai temuan baru, seperti adanya jejak mikroplastik di berbagai wilayah laut di Indonesia. Menurut dia, konsumsi ikan yang telah terkontaminasi mikroplastik meningkatkan risiko kesehatan serius, seperti tumor, kanker, serta gangguan kesehatan lainnya seperti hati, sistem reproduksi, sistem imun, bahkan gangguan dalam berpikir.
Pada 2021, Dwi Amanda Utami, peneliti Pusat Riset Geoteknologi BRIN temukan mikroplastik di perairan laut, sedimen sungai, estuari, sedimen di lingkungan terumbu karang, bahkan dalam perut ikan. “Jumlah sampel ikan di Indonesia yang mengandung mikroplastik bahkan lima kali lebih banyak dibandingkan di Amerika,” ucapnya.

*****