- Masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung yang jumlahnya sekitar 1.459 juta jiwa, diperkirakan akan mengalami krisis pangan, jika krisis iklim mencapai puncaknya.
- Sampai saat ini, kebutuhan pangan di Bangka Belitung, khususnya beras, masih impor. Belum mandiri. Kemudian, basis ekologis yang secara tradisional menjadi sumber kedaulatan pangan mulai berkurang atau hilang.
- Produksi padi pada komunitas adat, seperti Suku Mapur, terus mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya, kian menyempitnya lahan pertanian.
- Guna menjaga kedaulatan pangan di Kepulauan Bangka Belitung, ada tiga upaya harus dilakukan; hentikan semua perluasan perkebunan sawit dan pertambangan timah, pulihkan lahan pertanian yang sudah rusak, pulihkan basis ekologis seperti hutan, sungai, dan laut.
Masyarakat Kepulauan Bangka Belitung yang jumlahnya sekitar 1.459 juta jiwa, diperkirakan akan mengalami krisis pangan, jika krisis iklim mencapai puncaknya. Mengapa?
“Sampai saat ini, kebutuhan pangan di Bangka Belitung, khususnya beras, masih impor. Belum mandiri. Kemudian, basis ekologis yang secara tradisional menjadi sumber kedaulatan pangan mulai berkurang atau hilang. Kerusakan akibat penambangan timah ini bersifat jangka panjang, bahkan permanen, sehingga kapasitas produksi pangan lokal tidak dapat pulih meskipun aktivitas tambang berhenti,” kata Fitri Ramdhani, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Kamis (4/12/2025).
Dijelaskan Fitri, pertambangan timah menciptakan kondisi kerentanan pangan struktural. Ini dikarenakan aktivitas ekstraksi mengubah secara fundamental struktur ekologis, ekonomi, sosial, dan politik yang menopang pemenuhan pangan masyarakat.
“Dalam konteks ekologis, operasi tambang biasanya menyebabkan kerusakan lahan pertanian, pencemaran air, hilangnya daerah tangkap ikan, serta degradasi tanah yang mengurangi kemampuan alam menyediakan pangan.”
Pertambangan timah juga menghasilkan ketimpangan penguasaan lahan dan distribusi kekuasaan. Lahan-lahan produktif yang sebelumnya digunakan untuk pertanian dan sumber ikan, banyak beralih fungsi menjadi area tambang yang dikendalikan oleh perusahaan besar atau elite lokal. Masyarakat kecil kehilangan akses terhadap ruang hidup yang memungkinkan mereka memproduksi atau mendapatkan pangan, sementara posisi tawar mereka semakin melemah.
“Maka, kelompok miskin, buruh tambang, perempuan, dan rumah tangga tanpa lahan paling rentan terhadap rawan pangan,” kata Fitri.

Jessix Amundian, Direktur Tumbek for Earth, memperkirakan jika terjadi krisis pangan di Bangka Belitung yang luas daratannya hanya 1,64 juta hektar, kelompok masyarakat yang pertama terdampak adalah komunitas adat. Misalnya Suku Mapur, Suku Maras, serta Suku Melayu yang menyebar di Pulau Bangka, Pulau Belitung, dan pulau-pulau kecil.
“Komunitas ini hidup dari hasil alam, baik hutan, laut, maupun pertanian,” jelasnya, Selasa (2/12/2025).
Dijelaskan Jessix, bukan hanya pertambangan timah yang menyebabkan hilang atau berkurangnya wilayah pangan masyarakat. Juga perkebunan monokultur, seperti perkebunan sawit.
Mengutip data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDASHL) Baturusa-Cerucuk tahun 2024, sepanjang 2016-2022 terjadi dinamika perubahan luasan perkebunan. Tahun 2019-2020 luas perkebunan bertambah 40.724 hektar. Tahun 2020-2021, perkebunan menambah luasnya 22.213 hektar.

Meningkatnya luas perkebunan tersebut hasil alih fungsi lahan. Sebagian besar berasal dari pertanian lahan kering campur semak (12.845 hektar), belukar (7.807 hektar), belukar rawa (2.488 hektar), dan lahan terbuka sebesar 2.763 hektar.
“Secara keseluruhan, luas perkebunan sawit di Bangka Belitung hingga 2022 seluas 274.352 hektar,” kata Jessix.
Sementara luasan pertambangan timah pada 2021-2022 mengalami kenaikan hingga 5.602 hektar, yang sebagian besar berada di Kabupaten Bangka.
Berdasarkan data Walhi Kepuluan Bangka Belitung, luas izin usaha pertambangan di Provinsi Bangka Belitung mencapai 915.854 hektar. Di darat, luasnya sekitar 349.653 hektar. Sementara di laut sekitar 566.201 hektar.
“Pada 2018, jumlah kolong atau eks tambang timah ini mencapai 12.607 kolong dengan total luasan sekitar 15.579,747 hektar. Kolong-kolong ini jelas menjadi lahan mati, yang tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai lahan pertanian,” ujar Jessix.
Dibandingkan penggunaan lahan perkebunan dan pertambangan timah, lahan pertanian di Bangka Belitung sangat kecil. Tahun 2022 tercatat sawah seluas 11.771 hektar dan pertanian lahan kering seluas 37.163 hektar.

Terus menurun
Asih Harmoko, Ketua Lembaga Adat Mapur di Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, menyatakan kedaulatan pangan pada komunitas Mapur mulai rapuh.
“Selama sepuluh tahun terakhir, padi yang kami hasilkan terus berkurang. Penyebab pertama, lahan untuk behume (menanam padi talang) terus berkurang. Kedua, serangan hama kian meningkat setiap tahunnya, seperti tikus, burung, dan monyet. Ketiga, cuaca tidak menentu,” katanya, Rabu (3/12/2025).
“Sekarang ini, hasil behume yang dilakukan satu kali sekitar 300 kilogram dalam satu hektar. Dulu, mencapai 3-4 ton. Saat ini, sebagian besar orang Mapur membeli beras ke warung atau pasar.”
Dijelaskan Asih, penyebab utama berkurangnya lahan behume dan hutan karena hadirnya perkebunan sawit dan penambangan timah ilegal.
“Yang paling luas itu perkebunan sawit, tapi saya tidak tahu luasnya. Kalau penambangan timah hanya beberapa hektar.”
Dusun Air Abik yang luasnya 6.000 ribu hektar, sekitar 400 hektar merupakan kawasan hutan. Saat ini, hanya 10 hektar yang dijadikan hume, yang dikelola belasan kepala keluarga. Sebelumnya, sekitar 150 kepala keluarga mengelola hume seluas 25 hektar. Jenis padi yang ditanam adalah padi lokal, seperti padi mayeng, padi utan, padi baok, dan padi merah.
Orang Mapur tersebar di Kabupaten Bangka, tapi sebagian besar menetap di Dusun Air Abik, Dusun Pejem, Dusun Mapur, dan Dusun Pugul. Dusun Air Abik merupakan dusun tertua Suku Mapur. Dulunya, suku ini dikenal sebagai sentra produksi padi. Mereka memiliki tradisi Nujuh Jerami, yakni ritual rasa syukur kepada Tuhan setelah panen. Tradisi ini dilakukan setiap April.

Pulihkan
Ada tiga upaya guna menjamin masa depan pangan di Kepulauan Bangka Belitung. Pertama, hentikan semua perluasan perkebunan sawit dan pertambangan timah. Kedua, pulihkan lahan pertanian yang sudah rusak. Ketiga, pulihkan basis ekologis seperti hutan, sungai, dan laut.
“Ketiga upaya tersebut harus dilakukan bersamaan. Sebab pada waktunya nanti, ketika puncak krisis iklim, Kepulauan Bangka Belitung tidak dapat lagi mengandalkan pasokan pangan dari luar. Hampir semua wilayah lebih mengutamakan kebutuhan pangan lokal dibandingkan untuk wilayah lain,” lanjut Fitri.
Jessix berharap, komunitas yang menjadi prioritas kedaulatan pangan ini adalah komunitas adat. “Mereka yang kali pertama terdampak. Kemudian mereka tidak memiliki akses atau jaringan untuk keluar apabila terjadi krisis pangan. Yang terpenting, mereka yang lebih memiliki pengetahuan dalam mengelola lahan di Kepulauan Bangka Belitung untuk menghasilkan pangan.”

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahan Pangan (DPKP) Provinsi Bangka Belitung, kebutuhan beras di kepulauan tersebut sekitar 146.233 ton per tahun. Sementara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 Bangka Belitung menghasilkan beras sekitar 45.930 ton. Kabupaten Bangka Selatan penghasil tertinggi beras, sekitar 38.545 ton. Guna mencukupi kebutuhan beras tersebut didatangkan dari luar. Angkanya mencapai sekitar 80 persen. Bahkan pada 2024, didatangkan beras dari Thailand, Viatnam, dan Myanmar sebanyak 42.000 ton.
Saat ini, stok beras di Kepulauan Bangka Belitung sebanyak 154.312,67 ton, sehingga cukup aman memasuki 2026.
Keinginan untuk tidak mengimpor beras atau swasembada beras beberapa kali dicanangkan pemerintah provinsi. Terbaru, seperti disampaikan Hidayat Arsani, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, pada Juni 2025 lalu.
Dalam meningkatkan produksi padi, dikeluarkan sejumlah kebijakan. Misalnya, bersama pemerintah pusat memberikan bantuan bibit berkualitas, pupuk, hingga teknologi pengelolaan produktivitas lahan, kepada para petani.
Selain itu, akan memperbaiki infrastruktur pertanian seperti irigasi, jalan akses hingga pembangunan embung. Embung berguna sebagai penampung air, terutama air hujan, yang dapat digunakan selama musim kemarau.
*****
Tradisi Nugal, Menjaga Kedaulatan Pangan Masyarakat Tempirai