- Pengembangan pariwisata yang masif di Karimunjawa mulai meresahkan. Ruang tangkap nelayan terbatas dan pengalaman tak mengenakkan sering dialami. Beberapa nelayan mengeluh tak bisa berlabuh di beberapa pulau kecil yang notabene selama ini menjadi tempat mereka terlindung jika cuaca tiba-tiba tak menentu.
- Erwin Suryana, Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan nelayan tradisional tak boleh mendekat di wilayah laut yang dikelola para investor menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Nelayan memiliki hak untuk mengakses laut. Jika tak terpenuhi, maka itu merupakan pelanggaran konstitusional yang serius.
- Kepulauan Karimunjawa memiliki dua status, kawasan konservasi sekaligus destinasi pariwisata Nasional. Bambang Zakariya, Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Kemujan, Karimunjawa mempertanyakan pengawasan dan menilai ketidakberpihakan Balai Taman Nasional Karimunjawa pada kepentingan masyarakat lokal. Mereka yang memiliki hak mengelola kawasan seringkali justru berpihak pada kepentingan investor dan kegiatan-kegiatan yang justru merusak alam.
- Endarto, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kemujan, Taman Nasional Karimunjawa menjelaskan, penetapan zona terakhir pada 2012 sesuai aturan, evaluasi maksimal 10 tahun. Pada 2022, evaluasi berlangsung dengan mengumpulkan data dari masyarakat dan petinggi desa. Data itu kemudian dianalisis dan dibuat draf peta. Prosesnya cukup lama.
Juharif, warga Desa Kemujan, Karimunjawa, Jawa Tengah (Jateng) akrab dengan laut sejak masih remaja. Selama 40 tahun menjadi nelayan, dia tahun betul bagaimana perubahan kehidupan di laut dari tahun ke tahun. Dari tangkapan melimpah, hingga prediksi cuaca yang kian sulit.
Nelayan 54 tahun ini ceritakan, pernah suatu ketika, pergi melaut cuaca tiba-tiba berubah dengan cepat. Dia kemudian ke Pulau Genting, lokasi terdekat untuk berlindung, namun, orang tak dikenal mengusirnya.
“Waktu itu dilarang menepi, itu katanya tempat wisata atau apa entah. Jadi kayak ada batasnya. Padahal, laut itu milik bersama kan?” katanya heran.
Selama puluhan tahun menjadi nelayan, belum pernah dia alami kejadian seperti itu.
Anto, nelayan lain juga pernah alami peristiwa serupa. Dia tak boleh menepi di pulau yang sama ketika hendak berlindung dari cuaca buruk. Nelayan 68 tahun ini pun tak bisa berbuat banyak selain nekat menerjang gelombang, kembali pulang.
“Ya, mau gimana wong gak diperboleh. Padahal dulu tidak seperti itu.”

Matanya menerawang jauh ke cakrawala sambil mengenang Karimunjawa ketika dia masih muda. Kala itu, laut Karimunjawa masih sangat bersih dan alami dan menjadi sumber pangan seolah tiada habis. Rumah penduduk tak begitu padat. Begitu juga wisatawan, tak begitu banyak.
Zaman sudah berubah. Kebutuhan manusia tak hanya sandang dan papan. Ada juga kebutuhan berwisata. Namun, seberapa hebat perubahan itu, keinginan Anto tetap sama, bumi tempatnya berpijak tetap asri dan nyaman ditinggali hingga dia bisa melakukan aktivitasnya sebagai nelayan tanpa halangan apapun.
“Sepanjang pantai ini sudah milik orang kaya (investor/ pengembang wisata), mungkin sebentar lagi dibangun penginapan. Mugi-mugi (semoga) tetap bisa mencari ikan,” katanya sambil menunjuk pantai tempat kami duduk di bawah pepohonan yang rindang.
Sontak, saya menoleh ke sekeliling. Mata saya menyisir pantai yang masih alami. Butiran pasir yang mengkilap terkena cahaya matahari, air yang biru bersih, dan hijau pepohonan di pinggir pantai. Sepi. Pantai tersembunyi yang belum ada pengunjung dari luar.
Fais dan Gufron, dua nelayan lain menduga pulau-pulau kecil di Karimunjawa itu sudah ada yang punya karena mereka juga pernah alami hal serupa, dilarang menepi ke pulau-pulau itu. Meski terlihat kosong, pulau-pulau itu ada penjaganya.
Mas’ud Dwi Wijayanto, Kepala Desa Kemujan, Karimunjawa mengatakan, sekitar 70% warga sebagai nelayan. Dalam pertemuan dengan nelayan, mereka banyak keluhkan berbagai hal. Mulai dari kebingungan mereka soal zonasi, zona pemanfaatan, hingga ‘larangan’ untuk tak bisa mengakses pulau kecil, serta kapal-kapal di wilayah nelayan kecil.
Dia pun berjanji untuk menindaklanjuti permasalahan ini. “Akan ditindaklanjuti segera.”

Langgar konstitusi
Erwin Suryana, Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, kehadiran investor maupun pengembang pariwisata ke Karimunjawa sebetulnya tak menjadi soal. Masalahnya, larangan nelayan untuk mendekat di wilayah kelola investor.
Larangan itu jelas menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hak nelayan untuk mengakses laut. Padahal, pulau-pulau kecil di Karimunjawa menjadi tempat berlindung bagi para nelayan saat cuaca buruk. Keselamatan nelayan terancam dengan penguasaan laut oleh pihak tertentu.
“Ini sebenarnya pelanggaran konstitusional yang serius, bagaimana nelayan gak bisa lagi mengakses lautnya apalagi secara tradisional itu area penangkapan mereka,” katanya.
Erwin menegaskan, hak-hak nelayan terlindungi secara konstitusional. Sebagaimana Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang menyatakan beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan UUD 1945.
“Ada 3 hak konstitusional nelayan di dalam keputusan MK yang harus negara penuhi.”
Pertama, hak mengakses laut, yang termasuk dalam hal ini adalah hak melintas dan hak memanfaatkan laut. Tidak boleh ada pembatasan bagi nelayan kecil dan tradisional untuk mengakses laut.
Erwin meyakini, cara kerja nelayan kecil dan tradisional jauh lebih eco friendly ketimbang yang skala besar dengan alat tangkap yang besar pula.
“Mereka gak akan menghabiskan sumber daya karena mereka tahu persis kalau habis gak bisa hidup. Kesadaran itu sudah ada dan bakal mereka jaga terus agar laut tetap melimpah.”
Kedua, berkaitan dengan hak mengelola sumber daya. Negara harus mendorong atau mendukung upaya dan praktik baik oleh nelayan dalam mengelola sumber daya perikanannya. Termasuk, berpartisipasi dengan kegiatan yang bersifat konservasi di pesisir dan laut.
Hak ini memberikan kesempatan nelayan mengembangkan mangrove maupun padang lamun. Jadi, negara harus memberikan dukungan terhadap upaya yang konservasi yang nelayan lakukan secara mandiri.
Ketiga, hak untuk lingkungan laut yang bersih dan sehat. Negara, katanya, wajib menyediakan sumber daya laut dan pesisir yang bersih dan sehat. Hal bisa ditandai dengan melimpahnya sumber daya perikanan.
“Tugas negara mengatur hak-hak yang diberikan oleh negara kepada subjek, ya warga negara. Berkaitan laut, subjek utama adalah mereka yang memanfaatkan laut, nelayan,” katanya.
Sayangnya, praktiknya, hak-hak nelayan ini seringkali terabaikan
Erwin mengkritik pembatasan area tangkap nelayan tradisional oleh KKP dengan dalih keselamatan. Pasalnya, kebijakan itu menurunkan hasil tangkapan ikan.
“Harusnya negara menjamin keselamatan nelayan, bukan dengan menerapkan sistem yang membatasi seperti itu. Harusnya memastikan perlindungan nelayannya berjalan.”

Ketimpangan penguasaan
Kepulauan Karimunjawa terletak di Laut Jawa. Sekitar 80 kilometer di utara Kota Jepara dan secara administratif termasuk bagian dari Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Luas kepulauan 111.625 hektar, terdiri dari 1.285 hektar daratan dan 110.340 hektar perairan. Kepulauan Karimunjawa terdiri atas 27 gugusan pulau.
Kepulauan Karimunjawa memiliki dua status, kawasan konservasi sekaligus destinasi pariwisata nasional. Penetapan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/Kpts-II/1986 dengan luas 111.625 hektar.
Termasuk dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50/2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2010–2025.
Bambang Zakariya, Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Kemujan, Karimunjawa mengatakan, hampir seluruh wilayah Karimunjawa di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan pengaturan beberapa zonasi. Bahkan peta zonasi sudah terpampang di depan Kantor Kepala Desa Kemujan, Karimunjawa.
Peta itu terkesan hanya formalitas. Selain rancu, warga juga tidak memahami zonasi dalam peta ini. Misal, zona pemanfaatan laut terlihat pada peta di sepanjang pantai Desa Kemujan.
Padahal, sepanjang pantai yang menurut hasil pengamatannya sudah dikuasai oleh para investor dan pengembang pariwisata. Zona pemanfaatan itu juga mengelilingi pulau-pulau kecil tempat beberapa nelayan diusir saat hendak berlindung.
“Area konservasi tapi mengapa mayoritas wilayah pesisir udah ada resort dan cafe. Pokoknya untuk kepentingan pariwisata yang dikuasai segelintir orang.”
Surat Keputusan Direktur Jenderal KSDAE No.SK48/KSDAE/RKK/KSA.0/2/2024 tentang Zona Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa menyebutkan ada delapan zona di taman nasional, salah satunya, zona pemanfaatan, terutama untuk kepentingan pariwisata.
Selain itu, juga untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, pemulihan ekosistem, dan masih banyak hal lagi. Tak disebutkan secara eksplisit peruntukan bagi nelayan.
Sementara, Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan memungkinkan penyewaan zona pemanfaatan itu untuk perorangan maupun badan usaha. Besaran iuran beragam.
Bambang bilang, mayoritas lahan sudah di kavling oleh pengembang pariwisata. Bahkan ada beberapa kampung yang sudah tergusur akibat pengembangan pariwisata, sebut saja di Dusun Legon Lele dan Dusun Kemloko.
Kemudian, di Pulau Tengah, Desa Kemujan sudah ada Grand Mega Diving Resort di atas laut. Lokasi itu tempat merupakan area terumbu karang.
“Akses lokal makin terbatas, bahkan nelayan dilarang melintas di area dekat dengan resort dan ada juga di beberapa pulau lain. Kami ini merasa seperti sedang disapu dari tanah air kami sendiri,” ujarnya.
Dia mempertanyakan penetapan Taman Nasional Karimunjawa justru menimbulkan ketidakadilan pada masyarakat lokal. Selain itu, lemahnya pengelola taman nasional, ekosistem juga berpotensi terganggu lantaran minimnya pengawasan.

Apa kata pemerintah?
Endarto, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kemujan, Taman Nasional Karimunjawa menjelaskan, penetapan zona terakhir pada 2012 sesuai aturan, evaluasi maksimal 10 tahun.
Pada 2022, evaluasi berlangsung dengan mengumpulkan data dari masyarakat dan petinggi desa. Data itu kemudian dianalisis dan dibuat draf peta. Prosesnya cukup lama.
“Data itu dikonsultasikan publik mulai dari desa, undangan yang menentukan pak petinggi (kepala) desa masing-masing, siapa yang diundang,” katanya.
Setelah konsultasi di desa, baru konsultasi publik ke tingkat kecamatan, kabupaten, dan terakhir di tingkat provinsi. Setelah itu, baru penetapan oleh Ditjen dan sosialisasi zonasi di tingkat desa.
Peta yang terpasang di depan kantor kepala desa katanya merupakan salah satu permintaan warga saat sosialisasi zonasi agar bisa terlihat dan diakses publik.
Zona pemanfaatan pariwisata, kata dia, terbagi untuk ruang publik dan usaha. Ruang publik untuk kepentingan publik dan ruang usaha untuk pengusaha dan izin usaha wisata.
Jadi, zona pemanfaatan yang tertera di peta zonasi nantinya akan terbagi lagi menjadi blok-blok, misal blok ruang usaha dan ruang publik.
Pembagian blok menunggu anggaran dari pusat. Jadi, pembagian tersebut masih berproses hingga saat ini. Meski begitu, zona pemanfaatan memang diutamakan untuk usaha pariwisata, bukan zona menangkap ikan bagi nelayan. Dia sarankan nelayan masuk ke zona tradisional.
“Kita butuh masukan dari masyarakat kira-kira nanti mana untuk publik dan usaha, memang belum. Perlu dapat masukan, kalau pengusaha kita kasih ruang dan kita akan dikomunikasikan dengan masyarakat terutama nelayan domisili di situ, nanti terganggu gak, ada permasalahan gak.”
Terkait keluhan nelayan yang tidak bisa menepi di pulau saat cuaca buruk, Endarto akan mengkomunikasikannya kepada pengelola pulau. Balai Taman Nasional akan menjembatinya.
“Iya. Bisa sih minta kita mediasi, ya, misal minta tolong ke petugas nanti kita hubungkan misal pemilik pulau atau langsung juga bisa. Apalagi cuaca seperti ini berlindung dan sebagainya memang harus ada kerjasama. Iya (BTN menjadi jembatan). Kami berusaha semua berjalan dengan sebaik-baiknya.”
*****