- Belakangan ini Masyarakat Adat Meratus di Kalimantan Selatan, ramai jadi perbincangan. Pemerintah berencana menjadikan tempat mereka hidup sebagai Taman Nasional Gunung Meratus. Masyarakat adat di Kalimantan Selatan ini menolak. Mereka sudah hidup di sana turun menurun, mengelola sekaligus menjaga hutan.
- Masyarakat Dayak Meratus dikenal sebagai komunitas yang mewarisi sastra lisan. Mereka tidak pernah menciptakan aksara sendiri atau menuliskan kisah-kisah keramat peninggalan nenek moyang dalam bentuk buku.
- Masyarakat Dayak Meratus dikenal sebagai komunitas yang mewarisi sastra lisan. Mereka tidak pernah menciptakan aksara sendiri atau menuliskan kisah-kisah keramat peninggalan nenek moyang dalam bentuk buku.
- Orang Dayak dikenal dengan kehidupan komunal dan tinggal di rumah balai atau rumah betang, bangunan memanjang dengan beberapa bilik dengan penghuni puluhan hingga ratusan orang dalam satu kelompok. Hal serupa juga berlaku bagi Masyarakat Dayak Meratus. Dahulu, mereka juga tinggal di dalam balai, ada ruang upacara, ruang duduk (laras), ruang milik keluarga/bilik/ ujuk. Kini, tradisi itu mulai berubah. Begitu yang terjadi pada Balai Malaris dan Lok Lahung di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Belakangan ini Masyarakat Adat Meratus di Kalimantan Selatan, ramai jadi perbincangan. Pemerintah berencana menjadikan tempat mereka hidup sebagai Taman Nasional Gunung Meratus. Masyarakat adat di Kalimantan Selatan ini menolak. Mereka sudah hidup di sana turun menurun, mengelola sekaligus menjaga hutan.
Pertanyaan pun muncul, bagaimana sebenarnya kehidupan orang-orang yang mendiami kawasan perbukitan dan lembah di hutan tropis itu?
Mongabay merangkai dalam cerita yang memperlihatkan kemampuan fisik mereka, sapaan kekerabatan, budaya lisan, tempat tinggal, hingga istilah peznyebutan dan identitas.

Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Kuat secara fisik
Menurut Devi Damayanti, peneliti antropoligi, secara umum, Orang tua-orang tua Meratus tumbuh dengan rasa rendah hati ketika berhadapan dengan suku-suku lain yang lebih sering datang menemui mereka. Begitu juga dengan generasi mudanya lebih terbuka dan mudah bergaul.
“Dari segi perawakan, Orang Meratus memiliki ciri fisik mirip dengan orang Banjar. Warna kulit cenderung sawo matang, meski umumnya tampak lebih terang,” katanya.
Rubi, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan, satu hal yang menonjol adalah otot betis Orang Meratus terlihat lebih besar, menandakan kekuatan fisik yang terbentuk dari kebiasaan berjalan kaki.
“Memang, rata-rata betis kami seperti ini,” ujar Rubi, sambil sedikit berjinjit, memperlihatkan otot, saat menemani kami berjalan di dataran rendah Pegunungan Meratus pada ketinggian 249 kaki di atas permukaan laut pertengahan Agustus lalu.
Sejak kecil, mereka sudah terbiasa hidup di daerah dengan kondisi geografis yang tidak merata, bergunung, berhutan, berlembah, hingga bertebing terjal dan curam. Mereka berjalan setiap saat, berburu, meramu, berladang, naik turun bukit, memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari.
Di tempat dia tinggal, sampai sekarang tidak ada jalan umum beraspal. Jalan hanya setapak. Apabila ingin bepergian ke kampung lain, masih harus menempuh jarak yang sangat jauh seharian, menyeberangi sungai, bebatuan, lalu lanjut dengan mengendarai motor.

Dari kondisi itulah kemudian muncul istilah sabigi (satu biji). Gunung Sabigi Pondok, yang berarti di seluruh bukit hanya ada satu rumah saja. Bahkan, ada pula wilayah yang hanya dihuni satu rumah.
Lain lagi kalau harus pergi ke pasar, perjalanan harus betul-betul dipersiapkan. Dulu, perjalanan ke pasar pada Desa Batang Alai Selatan, misal, bisa memerlukan waktu tujuh hari, itu sebabnya orang harus membawa bekal beras sagantang.
Uniknya, mereka tidak memasak atau berkemah di tengah hutan tetapi menumpang di pondok dan rumah yang dilalui sepanjang jalan menuju pasar.
Ketika pulang pun, jalan yang sama akan ditempuh. Barang-barang yang banyak itu mereka kemas sedemikian rupa agar talinya dapat ditahan di dahi dan barang dipanggul di punggung. Ini kemudian disebut mahambin.
Mereka sanggup membawa barang sampai puluhan kilogram beratnya.
“Sekarang kalau mau ke pasar pun perlu perjalanan dua hari satu malam. Pasar terdekat di Desa Hinas kiri, satu kali dalam seminggu,” katanya.

Sapaan kekerabatan
Rubi menyapa kakeknya, Pinan, yang berusia 74 tahun, dengan sebutan awat. Dalam keseharian, saya tidak pernah mendengar kata-kata itu baik dalam bahasa Banjar maupun Dayak Bakumpai, yang umumnya menggunakan sebutan Ni tuwe untuk kakek, baik di Kalimantan Selatan maupun Kalimantan Tengah.
Rupanya, dalam keseharian, Masyarakat Adat Dayak Meratus, ada istilah-istilah kekerabatan dalam percakapan sehari-hari.
Hubungan kekerabatan ini mereka sebut cu’ur. Dengan memahami cu’ur, seseorang dapat mengetahui kedudukan dan sapaan yang tepat.
Misal, istri dari busu (paman) disebut umang (bibi), sedangkan suami dari apih (nenek) disebut awat (kakek). Namun, sebutan itu tidak selalu berpasangan secara semestinya.
Dalam buku berjudul “Nyanyian Sunyi Di Pegunungan Borneo,” Devi Damayanti juga menyebut, ada kalanya seseorang memiliki hubungan darah dengan paman sekaligus bibinya, hingga sapaan tetap sama sesuai kedudukannya.
Lebih rumit lagi kalau ayah atau ibu memiliki banyak paman dan bibi, atau orang tua tiri yang semua harus dipanggil dengan sebutan awat (kakek) dan apih (nenek).
“Akibatnya, seseorang bisa saja memanggil suami dari umang (bibi) dengan sapaan awatan (kakek), sebab sang bibi memang adik kandung ayahnya, tetapi suami bibi adalah paman jauh dari pihak ibu.”
Orang Meratus, memiliki cara tersendiri yang justru mempermudah dalam urusan sapaan. Seperti Masyarakat Dayak lain di Kalimantan, mereka menggunakan sistem teknonimi, yakni penyebutan seseorang berdasarkan nama anaknya.
Artinya, ketika seseorang sudah memiliki anak, nama panggilannya akan ikut berubah mengikuti nama sang anak. Dalam bahasa Meratus, ini disebut nama baranak.
Contoh, jika sang anak bernama Jitu, maka tidak lagi disapa dengan namanya sendiri, melainkan berubah menjadi Ma Jitu atau Induan Jitu.
Pada masa lalu, bahkan seorang penghulu biasa memberi nama khusus kepada pasangan pengantin ketika menikahkan mereka. Misal, pasangan Latir dan Ipal, saat menikah akan dipanggil “Ma Bula dan Induan Bula.” Sapaan itu akan terus digunakan hingga lahir anak pertama mereka.

Begitu mereka mempunyai anak bernama Jitu, sebutan Ma Bula dan Induan Bula akan ditinggalkan, berganti jadi Ma Jitu dan Induan Jitu.
Belasan tahun kemudian, ketika Jitu menikah dan memiliki keturunan, penyebutan itu akan berganti lagi.
Devi menjelaskan, jika anak Jitu bernama Apir, maka Jitu sebagai ayah akan dipanggil Ma Apir atau Pan Apir. Sementara Ma Jitu dan Induan Jitu, yang kini berstatus kakek-nenek, berubah menjadi Awat Apir dan Apih Apir.
Aturan teknonimi ini berlaku luas, bahkan orang tua tetap menyebut anak kandungnya yang sudah menikah dengan ‘ngaran baranak-nya, bukan dengan nama kecilnya lagi.
Prinsip yang sama, juga untuk menyebut kakak, adik, ipar, sepupu, keponakan, ataupun tetangga. Dengan kata lain, setiap panggilan orang berdasarkan nama anak, cucu, atau nama pengantin jika memang belum memiliki anak.

Budaya lisan
Masyarakat Dayak Meratus dikenal sebagai komunitas yang mewarisi sastra lisan. Mereka tidak pernah menciptakan aksara sendiri atau menuliskan kisah-kisah keramat peninggalan nenek moyang dalam bentuk buku.
Sejarah dan cerita turun-temurun terjaga melalui tuturan para leluhur, hingga tetap hidup di tengah masyarakat. Kisah-kisah biasanya diceritakan lalu diyakini sebagai sejarah yang sakral.
Menurut Abdul Hadi, Ketua Adat Hantakan Hinas Kanan, bahkan, ada cerita tentang dua orang leluhur yang datang dari seberang lautan membawa kitab suci, namun kitab itu hilang ketika salah satu leluhur berenang menuju tanah yang kini menjadi tempat tinggal mereka.
Sejarah lisan terutama dikuasai para tetua. Anak-anak dan remaja juga, tetapi tidak jarang banyak yang tidak mengetahui kisah-kisah itu.
Setiap orang yang masih hafal cerita leluhur bisa saja menyampaikan versi berbeda, meski tokohnya sama. Bagi orang Meratus, kisah klasik adalah bagian dari sejarah mereka.
Pakar budaya Dayak, Fridolin Ukur pernah mengatakan, kalau peristiwa dalam mite atau legenda memang berada di luar keterkaitan waktu dan ruang. Meski tidak bisa terverifikasi secara historis, tetapi kisah itu tetap sejarah, karena Masyarakat Dayak hayati sedemikian rupa.
Setiap suku memang memiliki tokoh pahlawan legendaris. Orang Tionghoa mengenal Si Djin Kui, orang Sunda punya Mundinglaya di Kusumah, sedangkan orang Dayak Meratus menjadikan Bungsu Kaleng sebagai tokoh penting.
Menurut kepercayaan mereka, Bungsu Kaleng adalah figur sakti dan berani. Kisahnya hidup dalam berbagai tuturan, meski sulit diverifikasi secara nyata.
Cerita-cerita lisan Dayak Meratus bukan hanya dongeng atau mitos, melainkan bagian dari identitas budaya. Meski perlahan memudar seiring waktu dan kurang dikenal generasi muda, kisah ini tetap menjadi warisan penting yang meneguhkan keyakinan, serta pandangan hidup masyarakat Meratus terhadap leluhur maupun alam sekitarnya.
Mitos bukanlah dongeng, tetapi peristiwa empiris yang dianggap benar-benar terjadi, serta dianggap suci oleh masyarakat pendukungnya. Mitos tidak perlu dipertentangkan dengan sejarah, karena perbedaan paradigma. (Sulistyanto,2017: viii).

Tidak lagi tinggal di balai
Orang Dayak dikenal dengan kehidupan komunal dan tinggal di rumah balai atau rumah betang, bangunan memanjang dengan beberapa bilik dengan penghuni puluhan hingga ratusan orang dalam satu kelompok. Hal serupa juga berlaku bagi Masyarakat Dayak Meratus.
Dahulu, mereka juga tinggal di dalam balai, ada ruang upacara, ruang duduk (laras), ruang milik keluarga/bilik/ ujuk. Kini, tradisi itu mulai berubah. Begitu yang terjadi pada Balai Malaris dan Lok Lahung di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Hartatik, peneliti yang fokus pada kajian etnoarkeologi, khusus religi Suku Dayak, masih mengingat betul pengalaman selama dua bulan saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada 1993.
Pada masa itu Balai Malaris dan Lok Lahang masih ada puluhan keluarga. Balai, berfungsi sebagai tempat tinggal, ruang bercengkrama, sekaligus lokasi pelaksanaan upacara adat.
Dia bilang, proses perubahan hunian dari rumah komunal ke rumah individu dipengaruhi beberapa faktor, baik internal maupun eksternal.
Faktor internal berasal dari dalam diri masyarakat, yaitu, sikap menerima atau menolak terhadap sesuatu yang baru.
Faktor eksternal dari luar masyarakat, misal, demografi, perubahan iklim, perubahan sumber daya alam, perdagangan, dan kebijakan penguasa.
Masyarakat Adat Dayak Meratus mulai tidak lagi tinggal di balai bermula sekitar 1904, saat pemerintah kolonial Belanda berusaha memusnahkan rumah panjang dengan alasan tidak higienis dan rawan kebakaran. Hingga setiap warga wajib tinggal secara terpisah di rumah individu.
“Ada juga anggapan kalau Belanda waktu itu sengaja memecah mereka agar tidak lagi kompak sebab di balai, mereka saling bertemu dan berinteraksi satu sama lain,” katanya.
Gelombang kedua datang pada masa Indonesia, sekitar 1970-1995an. Masa itu pemerintah melalui Departemen Sosial melaksanakan program resettlement penduduk (respen) untuk menempatkan penduduk pedalaman pada tempat tinggal yang dianggap layak.
Saat itu, pemerintah membangun pemukiman massal dengan berbagai istilah seperti PKMT, PMT, dan KAT. Dari 1973-1990an, sedikitnya terbangun 10 PMKT dan KAT bagi Masyarakat Dayak Meratus tersebar di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan.
Rumah yang pemerintah sediakan kurang sesuai bagi Masyarakat Adat Meratus. Lokasi jauh dari ladang membuat warga memilih tinggal di pondok sederhana dekat area pertanian.
Kampung bentukan pemerintah hanya ramai pada masa jeda setelah tanam atau panen. Pada musim kerja di ladang nyaris kosong.
Beberapa keluarga yang tidak mendapat bagian rumah PMKT atau KAT, tidak terdata atau pindahan dari kampung lain, membangun kampung baru tidak jauh dari kampung bentukan pemerintah itu.
Demikian juga balai adat dibangun di kampung baru itu untuk menampung aktivitas adat. Keberadaan balai adat ini merupakan pengganti fungsi balai dalam bidang adat.
Akibatnya, saat ini konstruksi balai adat beragam, mulai dari yang masih original berbentuk panggung dengan material dinding dan lantai dari bambu atau kayu bambu dengan teknik pasak (tanpa paku), hingga material beton dengan lantai keramik sehingga tampak modern.
Balai adat yang sudah modern biasanya terletak di lokasi baru atau kampung bentukan baru yang mendekati akses jalan raya, misalnya balai adat Bokor di Gendang Timburu Kotabaru yang sekaligus sebagai rumah tinggal kepala adat.
Hartatik katakan, meskipun kini tidak semua balai adat mempunyai bilik-bilik yang mengelilingi ruang utama, tetapi keberadaan ruang utama adalah wajib.
“Ruang utama sampai saat ini biasanya masih digunakan untuk aktivitas adat, rapat, menyimpan aset adat, seperti alat musik tradisional, perlengkapan memasak, dan wadah sesaji.”

Jangan bilang Orang Bukit
Sebagian literatur pada 1970 akhir hingga 1980-an awal menyebut, orang Meratus dengan istilah Suku Bukit. Karena masuk dalam kategori suku terasing dalam penelitian-penelitian antropologi.
Istilah Dayak Meratus, barulah populer setelah 1990-an, khusus setelah terbit penelitian Anna Lowenhaupt Tsing pada 1993 yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 1998.
Orang yang tinggal di hamparan Meratus, enggan disebut Orang Bukit Entu (atas) karena terlalu kasar. Ada juga yang merasa lebih senang disebut Dayak Bukit, karena Meratus berasal dari kata ‘ratus’ yang berarti ‘roh’, walau terdengar terlalu mistis tetapi menggambarkan pengakuan atas keberagaman tempat dan kehidupan di daerah ini.
Anna memperkenalkan nama “Dayak Meratus” bersama seorang intelekual Meratus, mendiang Bingan Sabda. Mereka ingin menyanggah konotasi negatif dari istilah bukit.
“Masyarakat Dayak sudah terlalu sering dikritik oleh orang luar yang tidak memahami sejarah dan kebudayaan mereka. Karena itu, kami memilih menggunakan nama yang menegaskan sekaligus menghargai sumbangsih khas dan pengetahuan tradisional masyarakat Meratus,” kata Anna, baru-baru ini kepada Mongabay.
Pinan, tetua adat Meratus, mencontohkan pengalaman sehari-hari di masa lalunya. Orang-orang dari dataran tinggi Meratus yang turun membeli kebutuhan pokok ke pasar, kerap dapat sebutan orang bukit oleh para pedagang di bagian hulu.
Sebutan lahir dari cara pandang luar, siapa yang datang dari atas gunung, biasa, otomatis dipanggil orang bukit.
Masalahnya, sebutan orang bukit tidak sekadar penanda geografis. Di masyarakat kota, istilah itu sering terikut stereotip negatif.
Pandangan itu kadang melukai orang Meratus yang punya tradisi, pengetahuan hutan, dan kearifan lokal yang kaya.
Bagi sebagian orang Meratus, sebutan orang bukit seakan-akan sama dengan menyebut mereka “primitif”. Padahal, di balik kehidupan sederhana, terdapat nilai sosial dan kearifan ekologis yang selama ini justru menjaga hutan tetap lestari.
Istilah “bukit” juga dianggap terlalu umum. Bukit bisa berarti dataran tinggi di mana saja. Sedangkan Meratus adalah nama pegunungan dan identitas budaya yang spesifik. Menggunakan istilah Meratus berarti mengakui keunikan dan kekhasan masyarakat yang hidup di kawasan itu.
Sebaliknya, penggunaan istilah Dayak Meratus memperkuat kebanggaan identitas. Mereka tidak sekadar sebagai penduduk pegunungan, tetapi sebagai penjaga hutan, pemilik bahasa, tradisi, dan sistem kepercayaan yang berakar ratusan tahun.
Pandangan serupa Syahrani, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara PW Kalsel, tegaskan. Masyarakat Adat Meratus menolak sebutan orang bukit karena selama ini label itu melekat dengan anggapan negatif.
“Kami dulu dianggap sebagai masyarakat yang hidup di pedalaman dan disimpulkan sepihak oleh orang luar. Kami dianggap tidak berpendidikan, tertinggal, tidak punya masa depan. Seakan-akan kami tidak boleh bercita-cita tinggi dan bersaing dengan orang-orang luar,” katanya.
*****