- Bangka Belitung, merupakan produsen timah dunia. Dari Bangka Belitung inilah, bahan baku timah berbagai peralatan elektronik, seperti komputer, laptop, handphone, dan lain-lain dari perusahaan-perusahaan multinasional dari berbagai negara itu berasal.
- Dari penelusuran Tim Kolaborasi, ternyata, timah-timah yang mengalir ke pasar global ini banyak dari hasil operasi ilegal yang menimbulkan berbagai persoalan di lapangan. Pengungkapan kasus korupsi periode 2015-2022 itu menunjukkan, suplai timah ilegal dari tambang ilegal bercampur dengan timah legal, khusus, PT Timah. Tim kolaborasi menemukan muara rantai pasok timah ilegal Bangka Belitung lewat dokumen Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Bangka Belitung pada 2022.
- Kini, kondisi terbilang lesu di level warga yang jadi penambang. Usaha-usaha perorangan ada yang gulung tikar, sampai pada usaha-usaha ikutannya termasuk para pedagang makanan. Para perempuan penyanting pun alami hal serupa. Mereka berharap, pemerintah beri perhatian seperti membuka peluang kerja atau sektor selain tambang timah.
- Masyarakat pesisir yang terus bertahan sebagai nelayan merasakan makin sulit tangkap ikan karena ekosistem pesisir dari hutan mangrove sampai perairan tercemar. Lebih dari 10 sungai bermuara ke Teluk Kelabat. Sungai Antan dan Sungai Primping, sudah lebih dulu hancur oleh tambang timah ilegal.
Ponton-ponton dengan mesin pengisap timah tertambat di tepian pantai Laut Tanjung Ru, Desa Bakit di Pulau Bangka. Titik ini merupakan salah satu pusat penambangan timah lepas pantai di Pulau Bangka, lebih sunyi dari biasanya.
Ani dan dua rekannya masih murung karena tak kunjung mendapat tumpangan perahu untuk nyanting.
“Cem tulah nasib sekarang. Kalau tidak kenal, susah dapat tumpangan. Sekarang, tidak semua penambang menerima orang nyanting. Tidak jarang kami harus berebut naik perahu dan timah di ponton,” katanya.
Nyanting ini sebutan lokal untuk meminta sisa timah dari para penambang. Pekerjaan ini dominan perempuan, dan menjadi gantungan hidup Ani dan ratusan perempuan lain di Desa Bakit, Bangka.
Puluhan tahun sudah Ani nyanting.
“Dulu, paling sedikit bisa dapat lima kilogram timah. Lebih dari cukup untuk biaya makan, dan sekolah anak-anak. Banyak juga teman yang beli motor dan mobil baru, semua terasa mudah,” kata Ani.
Dia mengenang masa jaya timah di Desa Bakit akhir 2022.
Saat itu, harga timah menyentuh Rp250.000 di tingkat pengepul atau pengumpul timah level desa. Ani pun bisa mengantongi uang Rp1 juta dari nyanting.
Ada pepatah masyarakat Bangka Belitung menyebut timah sebagai ‘barang panas’—uang dari timah cepat dapat, namun akan cepat raib, benar-benar terjadi.
Seperti seluruh fondasi industri pertambangan timah rakyat Bangka Belitung, kestabilan uang dari nyanting terbukti ringkih.
Sejak kasus korupsi melilit beberapa perusahaan besar yang mengelola fasilitas peleburan timah pada 2024, harga beli pasir timah terpangkas setengahnya.
“Timah seperti tidak ada harganya. Paling tinggi laku dijual Rp135.000 per kilogram. Itupun kalau dikasih timah, seringnya seperti sekarang. Kami harus pulang dengan tangan kosong.”
Bagi warga, nyanting bukan impian mereka, tetapi tak ada pilihan lain.
“Kalau ditanya mau tidak cari pekerjaan lain, ya mau, tapi pekerjaan apa?” kata Ani.
Dia berharap, pemerintah bisa menyediakan pekerjaan lain karena nyanting juga berisiko.
“Kami mau saja pindah. Karena cari makan dari tambang timah itu tidak menentu, risikonya juga besar. Kami tidak mau anak-anak kami mengikuti jejak orang tuanya yang hanya berharap hidup dengan meminta timah.”

Amrullah, saat itu sebagai Kepala Dusun Bakit, juga merasakan pahitnya bergantung pada ekonomi timah.
Awal 2022, dia sempat membuka enam unit tambang di sekitar Laut Bakit.
Satu unit bisa menghasilkan 50-100 kilogram timah. Jutaan rupiah dia hasilkan dalam sehari. Dua tahun setelah itu, situasi berbalik.
Harga timah turun, hasil hanya bisa menutupi biaya operasi, belum gaji karyawan dan biaya kerusakan mesin. Bisnis tambangnya pun bangkrut.
Amrullah terpaksa menjual semua peralatan tambang untuk melunasi utang sekitar Rp70 juta.
“Timah mudah bikin orang kaya, tapi juga mudah bikin orang susah.”
Desa Bakit berpenduduk sekitar 1.500 jiwa, hampir 90% masyarakat tergantung dengan industri pertambangan timah.
Belum lagi ada ratusan orang pendatang dari Sumatera Selatan yang memilih menetap karena tergiur keuntungan timah.
Situasi ini tergambar dari ratusan ponton timah yang menutup muka air laut di Desa Bakit.
Di tepi pantai, terparkir sejumlah kapal isap perusahaan PT Timah dan mitra-mitranya.
“Banyak yang tidak bekerja pascakorupsi terungkap,” kata Amrullah.

Air laut dekat dermaga itu keruh. Meskipun industri tambang timah sedang tiarap, tetapi dampak ekologis tetap menjalar luas.
Laut Bakit, merupakan bagian dari perairan Teluk Kelabat Dalam, satu dari dua cekungan di lanskap Teluk Kelabat yang luasnya 32.000 hektar.
Sepuluh tahun belakangan, wilayah ini terkenal sebagai salah satu target penambangan ilegal yang terus mendapat perhatian publik.
Lebih dari 10 sungai bermuara ke Teluk Kelabat. Sungai Antan dan Sungai Primping, sudah lebih dulu hancur oleh tambang timah ilegal.
Kini, lumpur dan minyak mengalir menuju Teluk Kelabat, menjadikan kuali raksasa penampung limbah tambang.
Arus laut yang berputar-putar menyebarkan limbah hingga mencemari seluruh desa pesisir di sana. Termasuk laut di Tanjung Sunur, yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Laut Bakit.
Tak hanya di Bakit, di Kecamatan Belinyu, seberang teluk kondisi serupa terjadi. Berlatar rumpun bakau, berkerumun belasan ponton serupa dengan yang kami lihat di Desa Bakit.
Setiap ponton memuntahkan cairan putih campuran air dan sedimen sisa penyaringan pasir timah.
Kendati harga timah merosot, banyak orang Belinyu masih mengejar uang hidup harian lewat tambang-tambang ilegal. Tidak sedikit dari mereka merapat, bahkan menerobos kawasan lindung dan konservasi.
“Itu di belakang masih banyak lagi [penambang],” kata Rustam, nelayan Desa Pangkal Niur, Bangka.
Dia menunjuk ke hutan bakau yang masih rapat, sudah masuk Taman Nasional Gunung Maras.
Pulau Kayu
Rustam, satu dari sedikit nelayan di Tanjung Sunur yang bertahan ketimbang membanting setir ke ponton-ponton tambang.
Para penambang tambang ilegal mulai beroperasi di seberang pondok Rustam sejak 2019. Sembilan tahun sebelumnya, wilayah itu merupakan konsesi PT Timah, perusahaan negara yang terlilit isu korupsi tata niaga pertambangan timah.
Meskipun begitu, PT Timah tidak aktif tetapi areanya ‘bertaburan’ ponton.
Rustam sedih aktivitas tambang telah memporakporandakan kehidupan Teluk Kelabat Dalam. Sebagai nelayan yang gigih menolak tambang, penghidupannya sedang terancam.
Pondok Rustam dan kapal-kapal tambang timah terpisahkan bukaan teluk selebar satu kilometer. Saat sedang ramai-ramainya, deru ponton bisa terdengar sampai ke pondok semalam suntuk, mengisyaratkan para penambang yang sedang bekerja lembur.
Sebagian buruh itu adalah tetangga Rustam. Timah begitu menjanjikan hingga banyak warga Desa Pangkal Niur beralih dari nelayan menjadi penambang.
“Di kampung kami awalnya cuma 5% [menjadi penambang], sekarang tinggal 2% yang anti-tambang!” gerutu Rustam.
Sejak kasus korupsi menjerat beberapa perusahaan di Bangka Belitung pada 2024, banyak orang yang ketiban untung timah alami rugi besar.
Harga pasir timah anjlok.
Menurut Rustam, tidak sedikit juragan meminta pekerjaan sebagai penyadap karet atau buruh sawit.
Ridwan dan Yunus, dua nelayan rekan Rustam juga cerita kesulitan mereka dapatkan ikan saat ini.
“Dulu, sekali jaring bisa dapat 30 kilogram. Sekarang, hanya segini!,” katanya memperlihatkan beberapa ekor ikan dalam plastik.
Pondok Rustam
Rakyat jadi korban
Penelusuran kami selama Februari-Maret 2025 menggambarkan bagaimana perekonomian desa di penjuru provinsi melambat signifikan. Dari hidung Bangka Barat hingga ekor Bangka Selatan, lapak-lapak pasar tutup dan penjaga kios mengeluhkan sepinya pembeli.
“Desa seperti sekarat, lauk-pauk yang dijual banyak yang basi,” kata Ferawati, pemilik warung nasi di Desa Lubuk Besar, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah. Ini salah satu desa yang terlihat seperti kota karena terbangun dari ekonomi timah.
Mengutip buku “Senja Kala Tata Kelola Timah di Bangka Belitung” menyebutkan, pada 2023, kontribusi sektor pertambangan hanya 7,64%. Ia merupakan angka terendah sejak 2015.
Kontribusi sektor ekstraktif ini menempati posisi keempat dalam produk domestik regional bruto (PDRB) Bangka Belitung setelah sektor industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan.
Elius Gani, Kepala Dinas Tenaga Kerja [Kadisnaker] Bangka Belitung, mengatakan, sejumlah perusahaan sawit yang pemilik terkait timah kena tutup dan rekeningnya diblokir.
“Kalau dibandingkan tahun lalu ada 38 pekerja PHK (pemutusan hubungan kerja), saat ini 1.527 orang kena PHK. Adanya perusahaan smelter yang tutup sebagai akibat dari penertiban tata kelola timah,” katanya, dikutip dari Investor.id.

Sandy Pratama, peneliti sosial dan ilmu politik dari Universitas Bangka Belitung mengatakan, timah telah menyebabkan ‘candu kronis’ pada masyarakat Bangka Belitung.
Setiap kali ada kontraksi dalam industri timah, seperti kasus korupsi, pasti terasa langsung oleh masyarakat.
“Pasar sepi ketika harga timah turun, dan kembali menggeliat ketika harga timah tinggi.”
Sebenarnya ini bukan cerita baru. Sejak logam itu lepas dari status komoditas strategis nasional pada 1998, seiring luruh rezim Orde Baru, swasta boleh terlibat dalam rantai pasok timah. Mulai dari proses penambangan, peleburan, hingga ekspor.
Izin ini ternyata memungkinkan perusahaan untuk menghidupi rantai pasok ilegal lewat aktivitas pertambangan di luar izin konsesi.
Buruhnya dari desa sekitar atau pendatang yang mayoritas berasal dari Sumatera Selatan. Keduanya punya tujuan sama, mencari peruntungan di tambang timah.
Warga alami jebakan hubungan kerja tak berkontrak, berupah murah, dan berisiko kecelakaan tinggi.
Berdasarkan data kompilasi Walhi Kepulauan Bangka Belitung, sepanjang 2021-2024, ada 38 orang meninggal karena kecelakaan tambang dan 22 orang luka-luka.
Ribuan kolong yang belum reklamasi juga memakan korban. Tercatat 23 kasus tenggelam di kolong. Dari 17 korban meninggal dunia, 14 merupakan anak-anak hingga remaja usia 7-20 tahun.
“Cerita tentang orang yang tertimbun longsor, terjepit mesin, hingga kehabisan oksigen saat menyelam timah sudah biasa terdengar. Mau bagaimana lagi, ini satu-satunya pekerjaan yang menghidupi kami,” kata Johan, penambang di Desa Bakit.

Pada 2018, International Tin Association mengestimasikan lebih 50.000 orang Bangka bertumpu pada pekerjaan yang berhubungan langsung dengan tambang timah.
Para pekerja ini terhubung dengan jaringan yang terbentuk sejak lama, mulai dari penambang timah ilegal, pengepul kecil, pengepul besar, smelter, PT Timah dan korporasi swasta.
Saking erat keterlibatan mereka dengan operasi tambang ilegal, sejarawan Erwiza Erman sampai menyebut kehadiran mereka sebagai “negara bayangan” (shadow state) di artikel ilmiahnya yang terbit pada 2007.
Pada 2024, “negara bayangan” ini terungkap ke publik. Pemberedelan terhadap aliansi antara mantan petinggi PT Timah, perusahaan pelat merah, mantan Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bangka Belitung, serta beberapa perusahaan swasta.
Tokoh-tokoh kuncinya kemudian terjerat pidana. Kerugian negara karena kasus ini sampai Rp300 triliun.

Dari Bangka ke pasar global, siapa peraup untung?
Aktivitas penambangan timah yang berlangsung selama tiga abad, banyak mengubah wajah Pulau Bangka.
Di pesisir, masyarakat menjerit laut rusak, sedangkan para pekerja di lingkaran tambang terjerat ketidakstabilan ekonomi timah yang mengancam nyawa namun membuat candu. Rakyat terus menjadi korban.
Pengungkapan kasus korupsi periode 2015-2022 itu menunjukkan, suplai timah ilegal dari tambang ilegal bercampur dengan timah legal, khusus, PT Timah.
Di beberapa konsesi PT Timah, aktivitas pertambangan yang mestinya oleh perusahaan negara tersebut justru oleh tambang ilegal.
Untuk mengembalikan suplai timah kembali ke tangan PT Timah, perusahaan bersiasat lewat transaksi dengan smelter-smelter swasta yang meleburkan pasir timah dari para penambang ilegal.
Timah ilegal ini ikut masuk dalam rantai pasok ekspor perusahaan negara ini sejak 2015-2022.

Kala itu, ada enam perusahaan terlibat langsung dalam kasus korupsi tata niaga pertambangan timah periode 2015-2022. Mereka adalah PT Timah Tbk, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Sariwiguna Binasentosa (SB), PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).
Kami berhasil menemukan muara rantai pasok timah ilegal Bangka Belitung lewat dokumen Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Bangka Belitung pada 2022.
Dokumen ini menunjukkan, dominasi tujuh negara sebagai pengimpor dari enam perusahaan yang terlibat kasus korupsi, yaitu Korea Selatan, Tiongkok, Jepang, India, Singapura, Taiwan, dan Malaysia.
Total nilai ekspor dari tujuh negara itu hampir mencapai US$455 juta atau sekitar Rp6,75 triliun berdasarkan kurs rata-rata 2022.
Angka ini seperempat dari total nilai ekspor timah nasional pada 2022.
Dari tujuh negara ini, terdapat 41 korporasi yang melakukan transaksi langsung dengan perusahaan yang terlibat kasus korupsi. Pembeli terbesarnya adalah Toyota Tsusho Corporation, salah satu anak dari Toyota Group dan saudara Toyota Motor, industri otomotif terbesar di dunia.
Perusahaan asal Jepang itu mendapatkan timah dari PT Timah, RBT, SIP dengan transaksi US$96 juta atau sekitar Rp1,4 triliun.
Selain Toyota Tsusho, ada nama-nama besar lain yang tertera dalam dokumen. Antara lain, TCC Trading Corporation, perusahaan trading asal Korea Selatan dan The Tinplate Company of India Limited (TCIL), anak perusahaan raksasa Tata Group. Kemudian, MIND ID Trading, perusahaan trading nasional yang mengurus distribusi logam produksi anak-anak MIND ID, perusahaan induk tambang Indonesia.
Kami berusaha mengontak perusahaan-perusahaan yang tertera dalam dokumen itu. Hingga tulisan ini terbit, hanya Posco Internasional Corporation (PIC) yang menanggapi pertanyaan kami.
Perusahaan
Perusahaan perdagangan terbesar di Korea Selatan itu, fokus pada bisnis di sektor energi, baja, pangan, dan bahan komponen seperti komponen kendaraan listrik dan bahan baterai sekunder.
Shim Won Bo, Pemimpin Departemen Hubungan Masyarakat Posco Internasional Corporation mengatakan, selama periode korupsi timah (2015-2022), perusahaan hanya memperoleh timah secara eksklusif dari pemasok yang bersertifikasi (responsible minerals assurance process/RMAP), setelah memverifikasi status kepatuhan mereka.
Perusahaan secara konsisten menerapkan langkah-langkah untuk membangun praktik pengadaan yang bertanggung jawab, termasuk bekerja sama dengan pelanggan terkait kebijakan mineral yang bertanggung jawab. Juga, mendukung manajemen mineral yang bertanggung jawab dari para pemasok.
Pada 2023, perusahaan menetapkan ‘Pedoman Manajemen Mineral yang Bertanggung Jawab’ yang berfungsi sebagai kerangka kebijakan di seluruh perusahaan untuk mengelola transaksi mineral.
“Perusahaan berkomitmen mempertahankan proses manajemen mineral yang bertanggung jawab guna mencegah transaksi dengan pemasok yang mungkin berdampak buruk terhadap lingkungan atau masyarakat,” katanya.
Timah yang rawan tercampur hasil operasi ilegal tidak hanya menjangkau para pengimpor langsung, juga pembeli-pembeli selanjutnya. Sebab, banyak perusahaan menjual kembali timah yang mereka beli dari Indonesia.
Kami berhasil menemukan muara jauh rantai pasok timah ilegal Bangka Belitung lewat dokumen Form Specialized Disclosure (Form SD) yang dapat terakses publik.
Dokumen itu berisi daftar penyuplai bahan baku logam bagi perusahaan-perusahaan multinasional, umumnya bidang energi dan manufaktur, yang beroperasi di Amerika Serikat.
Dari sana, kami dapat melacak perusahaan multinasional yang menerima timah dari enam smelter yang tersangkut kasus korupsi. Kami fokus pada perusahaan yang mengekspor timah pada periode kasus korupsi, yaitu, 2015-2022.
Terdapat nama-nama besar yang mencantumkan identitas enam smelter di atas dalam SD Form mereka. Beberapa adalah Intel, LG Display, Ford, dan Canon.
Dengan begitu, ada kemungkinan produksi timah ilegal pada kurun kasus korupsi itu masuk ke dalam prosesor komputer Intel, televisi LG, mobil Ford, dan kamera Canon yang dipakai oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Keempat perusahaan ini menekankan, mereka tidak bertransaksi langsung dengan smelter-smelter yang terdaftar, melainkan diperantarai perusahaan lain.
Sayangnya, daftar nama perusahaan perantara ini tidak tercantum di dalam Form SD.
Kami berusaha mengontak Intel, LG, Ford, dan Canon menanyakan soal keterlibatan smelter penyuplai timah yang terjerat kasus korupsi dalam rantai pasok industri mereka. Sayangnya, sampai tulisan ini terbit, kami belum mendapatkan balasan mereka.
Kami juga menghubungi PT Timah melalui Anggi Siahaan, Departement Head Corporate Communication PT Timah, tetapi tak berespons.
Kemudian pada 20 Oktober, kami datang ke Kantor PT Timah di Jakarta Pusat untuk konfirmasi. Kami tak bisa masuk hanya menyerahkan surat permintaan wawancara kepada penerima tamu.
“Suratnya titipkan ke saya aja. Nanti saya yang kasih,” ucap petugas keamanan perusahaan.
Baru pada 27 Oktober 2025, perusahaan pelat merah ini membalas surat kami, melalui Rendi Kurniawan, selaku sekretaris perusahaan.

Dalam surat, perusahaan hanya merespon secara umum. Rendi mengatakan, rantai pasok PT Timah merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkoneksi, mulai dari eksplorasi, produksi, pengolahan, peleburan dan pemurnian hingga pemasaran.
Dia mengklaim, perusahaan berkomitmen memastikan kesesuaian kajian lingkungan (analisis mengenai dampak lingkungan/amdal) dan rencana pengelolaan/pemantauan lingkungan hidup (RKL-RPL).
Sistem penambangan terintegrasi ini, katanya, perusahaan lakukan sejak dulu untuk memastikan setiap produk yang dihasilkan bebas konflik.
Perusahaan juga memastikan setiap bahan baku produksi logam timah dari wilayah yang bersertifikasi clean and clear (CnC) sesuai ketentuan dengan verifikasi dari surveyor independen.
“PT Timah Tbk juga telah melakukan penilaian responsible minerals assurance process (RMAP) dan memenuhi semua standar dan protocol RMI (responsible mineral initiative).” kata Rendi.
Dia juga klaim, perusahaan menginisiasi dan menerapkan strategi keberlanjutan operasional, termasuk anak usaha. Tujuannya, kata Rendi, mengintegrasikan aspek ekonomi, pelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), pengembangan sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat.
PT Timah, katanya, memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dan legalitas sah untuk melaksanakan penambangan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dia katakan, perusahaan berkomitmen terhadap lingkungan hidup. Reklamasi dan rehabilitasi lingkungan, katanya, merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh proses operasional.
Program reklamasi yang perusahaan jalankan bukan sekadar seremonial, melainkan bagian dari rencana pengelolaan lingkungan yang terintegrasi dengan kegiatan produksi.
Reklamasi, katanya, secara progresif dan berkelanjutan, termasuk di wilayah laut melalui kolaborasi dengan para ahli dan masyarakat pesisir.
“Upaya ini memastikan bahwa struktur buatan yang ditempatkan benar-benar berfungsi dalam mendukung ekosistem.”
Pemantauan rutin untuk menilai efektivitas reklamasi, termasuk memantau pertumbuhan ekosistem laut pascapenempatan terumbu buatan. Hasil dari proses ini menjadi dasar evaluasi dan penyempurnaan ke depan.

Dalam artikel ilmiah oleh Maia dkk. (2019) menyebutkan, 60% timah Indonesia hasil dari tambang ilegal. Jika dikonversi, tambang ilegal menghasilkan sekitar 27% produksi timah global.
Ini berarti, sekitar seperempat produksi timah dunia adalah hasil kerukan para penambang rakyat, banyak di antara mereka mau tidak mau mengerjakan kegiatan ilegal untuk bertahan hidup sehari-hari.
Setelah kasus korupsi terungkap, aktivitas ilegal di industri tambang timah masih terus berlangsung, terlihat dari penindakan penyelundupan dengan menyita 50 ton pasir timah ilegal sepanjang 2025.
PT Timah seakan tidak terlalu terpengaruh oleh kasus korupsi ini, karena fokus utama kasus adalah pada penyalahgunaan wewenang dan suap oleh karyawannya, bukan pada penambangan ilegal.
Setelah putusan hakim Maret 2025, laporan keuangan dan produksi PT Timah menunjukkan sedikit kemunduran. Kini, mulai membaik dan akan terus meningkat seiring permintaan peralatan elektronik, semikonduktor, chips serta digitalisasi dan artificial intelligence.
PT Timah berupaya mengembalikan citra perusahaan mulai dari meredam perdagangan ilegal dengan meluncurkan pola kemitraan dengan masyarakat —hingga operasi penertiban tambang ilegal di IUP mereka baru-baru ini.
Sandhy Pratama, mengapresiasi terbongkarnya kasus korupsi timah tetapi persoalan tak selesai.
“Hal ini tidak lebih dari sekadar mengganti ‘gerbong baru’ dalam rantai pasok timah. Buktinya, penyelundupan dan tambang ilegal masih berlangsung, dan terindikasi kian masif setelah kasus korupsi ini.”

Masa ke masa, ekosida berlanjut?
Eksplorasi timah di Pulau Bangka berlangsung sejak abad V Masehi. Dampak kerusakan lingkungan mulai jadi sorotan seiring permintaan timah dunia meningkat dampak revolusi industri di Eropa.
Pada 1850, untuk mendongkrak produksi, pemerintah kolonial mengadopsi teknologi tambang hidrolis dari Amerika.
Teknologi ini menggunakan meriam air untuk menghancurkan bukit dan mengekstrak timah secara cepat. Walau sangat efektif, teknologi ini menyebabkan kerusakan lingkungan parah.
Menurut sejarawan Corey Ross, dalam The Tin Frontier: Mining, Empire, and Environment in Southeast Asia, 1870s-1930s, dasar sungai terangkat hingga beberapa meter, meningkatkan frekuensi banjir, dan menimbun lahan pertanian dengan limbah.
Bahkan, menurut penelitian Erwiza Erman, laporan J.A. Schuurman (1898), dan Karl Helbig (1940), seorang ahli geografi Jerman, dengan sinis melaporkan bahwa, “Bangka memiliki banyak sungai tetapi kekurangan air bersih.”
Penggunaan meriam air ini juga berdampak besar pada ‘Orang Gunung’, julukan kolonial untuk masyarakat adat di Pulau Bangka yang tinggal semi-nomaden, dan hidup dekat sumber air dan bergantung pada hutan untuk bercocok tanam.

Pemerintah kolonial memaksa mereka menetap di permukiman yang jauh dari lokasi tambang. Pemindahan paksa ini karena berbagai alasan, termasuk kekhawatiran pemberontakan, pandangan rasis, dan ambisi untuk menguasai sumber daya alam dan tenaga kerja.
Seiring waktu, Orang Gunung kehilangan hak atas tanah ulayat mereka. Puncaknya, seperti yang Mary Somers tulis dalam Bangka Tin and Mentok Pepper pada 1923. Belanda menyatakan masyarakat asli Bangka tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah dan rumah mereka.
Situasi makin memburuk setelah reformasi Indonesia 1998. Ledakan tambang ilegal terjadi di Pulau Bangka terpicu sejumlah kebijakan nasional dan daerah yang membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat melalui skema tambang inkonvensional.
Kondisi ini membuka keran berbagai kelompok masyarakat, baik pemilik modal/investor, pemasok alat-alat penambangan, bahan bakar, penjual makanan, penyedia hiburan, dan para penambang dari dan luar Bangka bersama-sama memperoleh keuntungan dari bisnis itu.
Mengutip studi Erwiza Erman, pada 2001, diperkirakan terdapat 1.320 pengusaha tambang inkonvensional dengan 4.671 pemilik individu yang bertebaran di daratan dan perairan Bangka.
Pada Mei 2005, jumlah ini meningkat drastis hingga 14.345 unit. Kalau buat perhitungan kasar menurut Ketua Astira (Asosiasi Tambang Timah Rakyat) adalah sekitar 18.000 unit tambang inkonvensional.
Sejak itu, bumi Bangka bagai ‘gula’ yang teraduk hari demi hari. Istilah yang tepat untuk kehancuran Pulau Bangka Corey Ross, ahli sejarah dari Australia utarakan. Dalam risetnya menyinggung operasi kapal keruk dapat merusak lingkungan dengan menimbun tanah subur menggunakan sedimen mati yang mereka angkat dari dalam air.
Dia bilang, lanskap yang kapal keruk tinggalkan menjadi gundukan dan bukit pasir yang “rusak secara permanen.”
“Maka, pengerukan merupakan bentuk lain dari ‘penghancuran massal’,” tulis Ross.
Jejak penghancuran massal masih terlihat hingga kini. Pada 2021, ada 12.607 kolong dengan luas sekitar 15.000 hektar tersebar di semua wilayah di Kepulauan Bangka Belitung.
Kurang enam tahun (2014-2020), Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan seluas 460.000 hektar. Tersisa 197.255,2 hektar hutan yang sebagian besar masuk dalam kawasan konservasi.
Kerusakan penambangan timah tidak hanya terbatas di darat. Proses pencucian bijih timah yang sekaligus membawa lumpur hasil proses penambangan terbawa hingga ke hilir sungai, dan akhirnya mengakibatkan pendangkalan.
Aktivitas penambangan timah, setidaknya terjadi di 202 daerah aliran sungai (DAS), dari 433 DAS di Kepulauan Bangka Belitung. Ada sekitar 196 DAS menunggu pemulihan, sisanya terkategori DAS yang harus dipertahankan.

Saat bersamaan, sejumlah peneliti dan aktivis lingkungan terus mengkhawatirkan daya rusak penambangan timah lepas pantai. Sebuah studi menunjukkan, arus laut yang dinamis membuat limbah tambang terus menyebarkan lumpur atau sedimentasi (TSS) seiring waktu.
Ekosistem mangrove yang bertugas menangkap sedimen ini juga mengalami kerusakan.
Walhi Kepulauan Bangka Belitung mencatat, sekitar 240.467,98 hektar mangrove mengalami kerusakan, tersisa 33.224,83 hektar masih kondisi baik.
Tak pelak, banyak perairan di Bangka sudah melebihi batas aman untuk air laut akibat sebaran lumpur ini. Limbah kemudian dapat menyelimuti permukaan karang hingga menghambat proses fotosintesis.
“Mereka [terumbu karang] mengalami stres dan kelaparan sepanjang tahun, hanya menunggu mati,” kata M. Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung.
“Hal ini juga yang membuat semua kegiatan reklamasi akan sia-sia selama aktivitas penambangan di laut masih berlangsung.”
Menurut Walhi, luas IUP tambang darat dan laut di Kepulauan Bangka Belitung, mencapai 915.854,625 hektar, terdiri atas 349.653,574 hektar luas IUP tambang darat dan 566.201,08 hektar izin tambang laut.
Sebagian besar izin akan habis pada 2025, termasuk di Laut Bakit tempat Ani nyanting dan Teluk Kelabat Dalam (Laut Danta) ruang hidup Rustam dan kawan-kawannya.
Namun, berdasarkan peta One Map Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), sudah memperpanjang dua izin di wilayah ini sampai 2026.

Senasib, Laut Batu Beriga yang tengah masyarakat perjuangkan untuk terbebas dari izin tambang juga diperpanjang hingga 2035.
Padahal, sebelumnya pemerintah daerah melalui Gubernur Kepulauan Bangka Belitung bersepakat membebaskan Laut Batu Beriga dari izin tambang timah.
Ahmad Subhan Hafidz, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung menyebut, hal ini melanggar kesepakatan.
“Kerusakan di hutan, sungai, pesisir, hingga laut yang telah berlangsung selama ratusan tahun, lebih dari cukup untuk menyatakan jika ekosida sedang terjadi di Bangka Belitung,” katanya.
Perpanjangan puluhan izin di Pulau Bangka dan Belitung oleh pemerintah juga menunjukkan tidak ada keinginan politik untuk menghentikan praktik kotor yang melekat pada industri pertambangan timah.
Izin terus perpanjangan, lingkungan bakal makin merana, masyarakat jauh dari kata sejahtera dari kehadiran tambang timah. Malah sebaliknya, banyak hadapi masalah.
Rustam bilang, terlalu banyak kerusakan terjadi dampak penambangan timah ini. Di tingkat masyarakat, konflik kadang terjadi antarkeluarga, sepupu, bahkan kakak dan adik.
“Tidak sehat lagi penambangan timah di Bangka ini. Karenanya, secara perlahan, masyarakat harus mulai lepas dari jerat timah. Pemerintah harus mendukung itu,” ucap Rustam.
*Artikel ini merupakan hasil liputan kolaborasi Mongabay Indonesia bersama Garda Animalia dan Project Multatuli dengan dukungan Pulitzer Center Reporting Grant
*****
Kasus Korupsi Timah, Pegiat Lingkungan: Pemerintahan Jokowi Gagal Wujudkan Tata Kelola Pertambangan