- Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Just Coalition for Our Planet (JustCOP) menagih implementasi rencana aksi pemenuhan komitmen Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim.
- COP 30 akan dihelat pada November ini, namun sampai pertengahan Oktober ini, dokumen komitmen negara para pihak yang kedua di UNFCC atau SNDC pemerintah Indonesia disebut belum bisa diakses.
- Puncak tertinggi emisi sektor energi Indonesia akan mundur tujuh tahun dari proyeksi dalam strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim sampai 2050.
- Proyek skala besar dalam pembangkitan energi dinilai masih tidak berpihak pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, kurang transpran, dan lemahnya partisipasi publik.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Just Coalition for Our Planet (JustCOP) mendorong implementasi dokumen penurunan emisi untuk atasi krisis iklim. Pasalnya, banyak kebijakan yang tidak sejalan target penurunan emisi yang harusnya tercapai tahun 2030, mundur hingga 2037.
Syaharani, Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, puncak tertinggi emisi sektor energi Indonesia akan mundur tujuh tahun dari proyeksi dalam strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim sampai 2050.
“Puncak emisi menargetkan 2037 di Kebijakan Ekonomi Nasional (KEN), tapi ada tujuh tahun gap dari benchmark Paris Agreement yakni 2030. Yang menyebabkan ada ketidakjalanan antara target dan kebijakan pendukung,” katanya.
Rencana Ketenagalistrikan Indonesia terbaru (RUKN 2024-2060) menyebutkan, produksi listrik dari PLTU bakal melonjak dan mencapai puncak pada 2037.
Dia juga merujuk Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menyebutkan bahwa 79% bauran energi pada 2030 masih berasal dari energi fosil.

Syaharani menilai, kebijakan-kebijakan yang menghambat transisi energi dan penurunan emisi ini, misal, pungutan 0% royalti pada batubara, PLTU masih jadi proyek strategis nasional, dan pembangkitan energi terbarukan dinilai lebih mahal dibanding PLTU. Inilah yang menghambat pemenuhan pemerintah Indonesia pada komitmen negara-negara para pihak untuk perubahan iklim, Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Selain itu, ada juga kendala kebijakan teknis dan isu HAM seperti konflik dengan masyarakat adat dalam sejumlah proyek PLTA atau geothermal.
Menurut dia, rekomendasi NDC untuk menahan laju peningkatan suhu 1,5 derajat bisa jadi tidak terpenuhi.
“Harusnya pada 2030 imbang bauran energi antara fosil dan EBT, tapi gapnya tinggi. PLTU saja masih 40% sampai 2030,” katanya.
Untuuk itu perlu peninjauan kembali kebijakan sektoral untuk mencapai target NDC.
Dia menjelaskan, target penurunan emisi karbon Indonesia dengan proyeksi business as usual (BAU) pada 2030 masih merefleksikan kenaikan emisi 148% bila dibandingkan emisi karbon pada 2010.
Selain itu, dokumen NDC yang berlaku saat ini belum secara spesifik menyebut target pensiun dini pembangkit listrik batubara sebagai sumber energi dominan Indonesia saat ini. Jika bisa memenuhi target NDC yang dibuat Indonesia pada 2022, kemungkinan penurunan emisi sudah bisa terpenuhi.
Apalagi, lanjut Syaharani, Presiden Prabowo menargetkan peningkatan ekonomi 8% di sektor industri dan hilirisasi.
Karena itu, ada kebijakan pemanfaatan energi fosil dengan pembangunan sejumlah PLTU baru. Sedang infrastruktur PLTS belum terbangun.

Hambatan kebijakan
Terkait kebijakan-kebijakan yang menghambat transisi energi ini, Tri Purnajaya, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri mengakuinya.
“Dengan target pertumbuhan ekonomi ada yang perlu dikorbankan, kebutuhan industrialisasi perlu ditopang energi,” katanya.
Namun, di tingkat global suara Indonesia cukup lantang mengatasi krisis iklim. “Kita tak ingin ngomong doang. Baru sepertiga negara yang memenuhi NDC. Pemerintah selalu melibatkan banyak pihak untuk diskusi termasuk NGO.”
Sementara itu menjelang konferensi para pihak untuk perubahan iklim (COP 30) yang akan berlangsung pertengahan November 2025, sampai pertengahan Oktober, saat ini Indonesia belum juga menyerahkan dokumen Second NDC (SNDC).
Padahal, tenggat penyerahan telah terlewati, yakni, September 2025 lalu. Tri optimis Indonesia segera menyerahkan dokumen tersebut. “Draf sudah ada, tapi belum dibuka.”
Dalam dokumen NDC kedua ini, akan jadi dokumen yang strategis capaian dan rencana ke depan Indonesia.
Tri mengatakan, Indonesia termasuk jadi contoh baik. “Presiden mendorong target ambisius seperti 100% penggunaan energi terbarukan. Indonesia tidak bisa memenuhi target tanpa dukungan sektor swasta karena terbatasnya pembiayaan,” kata Tri.
Hambatan lain dalam transisi energi dan kebijakan perubahan iklim ini Torry Kuswardono, Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) paparkan dalam diskusi ini. Antara lain, transparansi dan akses informasi minim terutama kelompok rentan seperti masyarakat adat.
“Krisis iklim tidak cukup penting sehingga sering menawar dan menanyakan apa yang diberikan negara lain. Partisipasi publik kurang, tidak ada mekanisme transparan,” katanya.
Dia contohkan ketika Aruki mengadakan konsultasi publik pada 2004, hasilnya adalah semua kebijakan perubahan iklim kurang partisipatif, bagaimana masukan terolah tidak cukup bisa dilihat.
“Ada mekanisme-mekanisme yang tidak cukup transparan. Kalau pun ada partisipasi, itu tokenisme, alias partisipasi semu. Prosesnya kita tidak tahu. Hari ini diumumkan akan ada partisipasi publik, besoknya sudah ketok palu kebijakan disahkan.”

Direktur Yayasan Pikul ini juga memaparkan prinsip NDC adalah prioritas pada kelompok rentan, menyelesaikan konflik agraria, dan pengakuan tanah adat.
Tory contohkan hilirisasi nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah justru menjadi perebutan tanah, memicu konflik agraria, dan berdampak pencemaran pada masyarakat sekitar. “Perlindungan terhadap kelompok rentan tidak terlihat dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia,” katanya.
Sejumlah solusi yang direkomendasikan di antaranya berbasis komunitas, tidak mengembangkan proyek energi skala besar yang destruktif, serta mengalihkan pendanaan solusi iklim untuk pengembangan energi berbasis komunitas.
*****
Tokoh Lintas Agama Minta Pemerintah Serius Tangani Krisis Iklim