- Pemerintah masih belum mengakui dan melindungi perempuan nelayan dalam kebijakan perikanan dan kelautan. Mereka seringkali terpinggirkan dari berbagai bantuan dan jaminan sosial. Padahal peran mereka sangat strategis dalam rantai pasok perikanan.
- Kerusakan lingkungan menambah beban hidup perempuan nelayan. Proyek reklamasi, tambang pesisir dan pencemaran telah merusak ekosistem laut. Pendapatan keluarga menurun drastis. Kondisi ini memaksa perempuan bekerja lebih keras untuk menopang ekonomi keluarga.
- Krisis iklim juga memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir. Kondisi ini juga mendorong praktik pernikahan anak sebagai jalan keluar dari kemiskinan.
- Di Kepulauan Riau, perempuan Suku Laut turut melestarikan pangan dari laut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Saat cuaca ekstrem mengancam, mereka terus menjaga agar pangan tetap tersedia.
Perempuan nelayan memainkan peran penting dalam perikanan Indonesia. Banyak di antara mereka menjadi buruh saat produk kelautan mendarat di pesisir, meski tak jarang mereka juga melaut. Mulai dari membersihkan ikan atau kerang, menyimpan, mengolah menjualnya, memperbaiki jaring, bahkan menjadi pekerjaan serabutan lainnya.
Bahkan perempuan nelayan bisa bekerja sampai 14-20 jam satu hari saat hasil laut melimpah. Tak hanya untuk bekerja di pesisir, tapi juga melakukan aktivitas domestik. Saat cuaca tak bersahabat atau hasil tangkapan kian berkurang, perempuan harus berpikir ulang agar makanan tetap tersedia.
Di Semarang,Jawa Tengah, misalnya yang wilayahnya rentan mengalami penurunan tanah 8-15 cm tiap tahun turut mengancam perempuan nelayan. Tak hanya ancaman mata pencaharian, kerentanan pangan, kemiskinan dan risiko kesehatan pun menghantui.

Berdasarkan laporan Komnas Perempuan (2024), masalah ekonomi di Desa Timbulsloko, Demak, karena banjir rob juga berdampak terhadap kekerasan berbasis gender pada perempuan pesisir. Mereka kerap mengalami penelantaran ekonomi, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis.
Sayangnya, peran strategis mereka dalam rantai pasok produksi perikanan tak pernah ada pengakuan dan perlindungan. Bahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak memiliki data jumlah perempuan nelayan.
Lantas, apa saja kerentanan yang dihadapi oleh perempuan nelayan akibat dari krisis iklim? Simak selengkapnya di sini.
1. Tak adanya perlindungan dan pengakuan perempuan di wilayah pesisir

Riset Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) dan Sajogyo Institute menyebutkan ada kerentanan perempuan nelayan akibat beban kerja berlebih dan tidak adanya perlindungan kebijakan. Hal ini karena tak adanya pengakuan perempuan nelayan yang jelas dalam UU Nomor 7/ 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.
Definisi nelayan dalam kebijakan tersebut menyebutkan “setiap orang yang melakukan penangkapan ikan.” Definisi ini seolah netral gender dan berada pada posisi setara. Namun, faktanya, pemerintah mengakui nelayan di Indonesia merujuk pada laki-laki.
Kata ‘perempuan’ hanya ada pada pasal 45 yang menyebutkan kegiatan pemberdayaan memperhatikan keterlibatan dan peran perempuan. Tanpa adanya pengakuan tegas terhadap profesi ini menciptakan ketimpangan dan kesenjangan akses.
Bias gender ini kemudian tercermin dalam interpretasi kepala desa dan legislator yang sering kali tidak mencatat perempuan sebagai nelayan di KTP. Akibatnya, perempuan kesulitan dalam memperoleh jaminan dan bantuan sosial bagi nelayan seperti asuransi, Kartu Nelayan, Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan, BPJS Ketenagakerjaan, bantuan subsidi bahan bakar, maupun berbagai program pelatihan dan pengembangan usaha. Terutama di bagian hasil tangkap dan pasca panen.
2. Kerusakan lingkungan menambah beban ganda perempuan

Catatan Pusat Data Kiara menyebutkan perempuan nelayan adalah kelompok yang paling memiliki beban ganda. Khususnya, mereka yang berada di 42 wilayah proyek reklamasi dan 26 proyek tambang pesisir. Ada sekitar 114.348 keluarga nelayan yang terdampak akibat proyek reklamasi, tambang pesisir dan pulau-pulau kecil.
Saat ekosistem laut rusak, keluarga nelayan kehilangan penghasilan. Akibatnya, perempuan harus bekerja untuk menafkahi keluarga, sambil mengurus urusan domestik. Belum lagi cuaca ekstrem yang berdampak terjadinya abrasi dan banjir rob.
3. Perempuan Suku Laut yang menjaga pangan tetap tersedia

Orang Suku Laut di Kepulauan Riau, khususnya perempuan memainkan peranan vital dalam menopang kedaulatan pangan dan ekonomi di wilayahnya. Mereka lahir dan besar di kajang, sampan khusus menyerupai rumah terapung untuk tempat tinggal, lengkap dengan dapur.
Meski hidup di laut, mereka tetap singgah ke darat untuk belanja keperluan harian, terutama ketika persediaan minum menipis. Selain mengurus urusan dapur, perempuan Suku Laut juga bertanggung jawab terhadap kebutuhan suami dan anak, sekaligus mengambil hasil laut. Mereka mendayung sampan untuk mencari ikan di sekitar hutan mangrove.
Saat gelombang tinggi, laki-laki biasanya tak melaut tapi tidak untuk perempuan. Biasanya mereka tetap mencari kerang dan gonggong di sepanjang pesisir pantai atau saat air surut.
Selain kerang, perempuan Suku Laut juga mengandalkan teripang (Holothuroidea) yang musiman. Biasanya, mereka mengolah teripang menjadi minyak untuk mengobati luka, menutup jahitan, dan sisanya dijual.
4. Pernikahan anak dan kekerasan yang tinggi di pesisir

Krisis iklim tak hanya berdampak pada ekonomi tapi menimbulkan dampak sosial. Di Cilincing, pesisir Jakarta, angka pernikahan anak terus meningkat seiring dengan pencemaran di laut. Keluarga nelayan mengalami kesulitan ekonomi dan menikah dini menjadi jalan keluar.
Riset The Ohio State University menjelaskan bagaimana dampak dari cuaca ekstrim bisa meningkatkan pernikahan anak, dini, dan paksa di dunia. Riset ini meninjau 20 studi antara tahun 1990 dan 2022 yang menghubungkan kekeringan, banjir, dan kejadian cuaca ekstrim terhadap peningkatan pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa, khususnya di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Tak hanya itu, LBH Semarang meneliti terkait dampak krisis iklim meningkatkan tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal ini karena himpitan ekonomi yang menyebabkan konflik dan berujung pada kekerasan. Kekerasan semacam ini sering kali menimbulkan penelantaran terhadap perempuan dan anak, semakin memperburuk kerentanan keluarga nelayan. Setidaknya ada 90 kasus terdata dan mayoritas berkaitan dengan kekerasan yang dipicu oleh kondisi iklim.
*Daffa Ulhaq merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah di Universita Indonesia. Daffa aktif sebagai jurnalis dan aktivis muda di Generasi Setara yang memiliki minat pada isu pendidikan, gender, dan lingkungan.
(*****)