- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah resmi. Aturan yang menjadi pedoman utama arah pengembangan energi Indonesia ini pun mendapat kritikan masyarakat sipil yang mempertanyakan komitmen transisi energi pemerintah.
- Syaharani, Kepala Divisi Keadilan Iklim dan Dekarbonisasi Indonesia Center for Environmetal Law (ICEL), bilang, target energi terbarukan hanya 19%-21% sampai 2030, lalu naik bertahap 58%-61% pada 2060. Angka ini, katanya, sangat rendah ketimbang potensi teknisi Indonesia yang mencapai lebih dari 3.000 megawatt.
- Amalya Reza Oktaviani, Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia, menyoroti penempatan biomassa, biogas dan bahan bakar nabati (BBN) sebagai komponen penting bauran energi hingga 2060. Padahal, program energi biomassa menyimpan segudang masalah.
- Beyrra Triasdian, Juru Kampanye Renewable Energy Trend Asia, menyoroti PP KEN baru ini yang tidak mendorong energi terbarukan berkeadilan. Terlihat dari melemahnya komitmen energi terbarukan dan pilihan teknologi yang termaktub.
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) resmi meluncur 15 September lalu. Aturan yang menjadi pedoman utama arah pengembangan energi Indonesia ini pun mendapat kritikan organisasi masyarakat sipil yang mempertanyakan komitmen transisi energi pemerintah.
Syaharani, Kepala Divisi Keadilan Iklim dan Dekarbonisasi Indonesia Center for Environmetal Law (ICEL), bilang, target energi terbarukan hanya 19%-21% sampai 2030, lalu naik bertahap 58%-61% pada 2060. Angka ini, katanya, sangat rendah ketimbang potensi teknisi Indonesia yang mencapai lebih dari 3.000 megawatt.
“Ini menunjukkan lemahnya komitmen percapatan transisi energi,” katanya.
Sebaliknya, porsi batubara tetap tinggi, 47%-50% pada 2030, 38%-41% pada 2040, 22%-25% pada 2050, dan tetap sekitar 8%-10% pada 2060.
Konsistensi ini memperpanjang umur pembangkit, meningkatkan risiko carbon lock-in, serta mengancam pencapaian target puncak emisi 2035 dan net zero 2060.
Dominasi batubara, katanya, akan terus memperlambat penurunan emisi sektor energi, mengurangi peluang investasi energi bersih, menunda penciptaan lapangan kerja hijau serta melemahkan upaya kedaulatan energi nasional.
Selain batubara, KEN juga menempatkan gas bumi sebagai pilar energi jangka panjang dengan target porsi 12,9%-14,2% pada 2030, naik hingga 17,1%-17,3% pada 2050 dan tetap 14,4%-15,4% pada 2060. Konsumsi gas final proyeksinya mencapai 56,6-71,1 juta ton oil equivalent (TOE) pada 2060.
Ketergantungan itu berisiko mengunci infrastruktur gas, menghambat penetrasi energi terbarukan, memicu aset terlantar, dan melemahkan komitmen Indonesia sepenuhnya beralih ke energi bersih.
“Selain itu, lock-in ini berpotensi menghasilkan stranded assets.”
Dengan demikian, investasi besar pada infrastruktur gas, seperti pembangkita jaringan distribusi dan fasilitas regasifikasi akan berdampak pada risiko menjadi aset terlantar karena peralihan teknologi untuk energi terbarukan.
“Dari sisi kebijakan, mempertahankan porsi gas di atas 14% hingga 2060 juga melemahkan sinyal komitmen Indonesia terhadap transisi energi terbarukan.”
Novita Indri Pratiwi, Juru Kampanye Fossil Fuel Trend Asia, menilai, celah yang energi fosil terus manfaatkan dalam kebijakan ini akan menghambat pencapaian Perjanjian Paris dan mengejar target bauran energi terbarukan.
Makin menguatnya komitmen menjadikan gas sebagai jembatan transisi energi, katanya, tidak jauh beda dari ambisi KEN sebelumnya. Padahal, gas termasuk energi fosil yang jumlahnya terbatas dan pelepasan emisinya tinggi.
Salah satu sumber emisi dari penggunaan gas adalah metana. Dia mengutip laporan International Energy Agency (IEA) 2020, yang menjelaskan, dampak emisi metana 86 kali lebih besar dari emisi karbon dioksida (CO2) dalam rentang waktu 20 tahun.
“Revisi kebijakan ini memperlihatkan bahwa upaya pemerintah mencapai komitmen sebelumnya gagal, sehingga lebih memilih untuk mengubah target dengan penambahan durasi yang lebih panjang namun dengan target yang semakin mengendur.”

Ancaman baru bioenergi
Amalya Reza Oktaviani, Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia, menyoroti penempatan biomassa, biogas dan bahan bakar nabati (BBN) sebagai komponen penting bauran energi hingga 2060. Padahal, program energi biomassa menyimpan segudang masalah.
Biomassa, katanya, merupakan sumber energi yang rakus lahan. Riset Trend Asia, guna memasok 10% biomassa kayu bagi co-firing di 52 PLTU, butuh lahan seluas 2,3 juta hektar per tahun. Sehingga, tanaman energi yang panennya membutuhkan waktu 5 tahun, akan makan lahan 11,5 juta hektar.
Selain itu, pengembangan biomassa tidak netral karbon. Hutan Tanaman Energi (HTE) berpotensi mengakibatkan deforestasi sedikitnya 1 juta hektar hutan alam. Bahkan, implementasinya hingga saat ini, biomassa telah memicu deforestasi 240.622 hektar.
Meski tidak masuk hitungan di sektor energi, deforestasi akan menghasilkan emisi karbon di sektor FOLU. Trend Asia menghitung, pembukaan lahan HTE akan menyumbang emisi 26,48 juta ton karbon.
Amel, panggilan akrabnya, menyebut, kayu bukan bahan bakar yang efisien. Nilai kalori yang terkandung dalam pelet kayu seringkali lebih rendah ketimbang nilai kalori batubara.
Kayu membutuhkan waktu 3-5 tahun untuk tumbuh dan panen. Berbanding terbalik dengan proses pembakaran yang instan dan dengan kecepatan tinggi.
“Kenyataan ini menjadikan biomassa kayu sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan, Disparitas harga penawaran pelet kayu juga berpotensi mendorong produsen terjun ke pasar internasional, alih-alih untuk pasokan dalam negeri,” katanya.
Selain itu, pengembangan energi biomassa sarat konflik sosial. Di Merauke, misal, pengembangan HTE dan PLTBm membongkar hutan ulayat suku Marind.
Padahal, wilayah itu secara genergai jadi sumber pangan dan sumber pengetahuan budaya masyarakat Marind. Akibatnya, gizi buruk merebak di anak-anak suku Marind, beriringan dengan meningkatnya gangguan pada kehamilan perempuan suku Marind.
Lalu di Mentawai, program HTE berpotensi melenyapkan pasokan pangan masyarakat adat Mentawai. Selain sebagai sumber pangan, hutan di sana juga menjadi sumber obat-obatan tradisional dan lekat dengan dimensi pengetahuan-budaya penduduk setempat.
Sementara di Jawa, pengembangan HTE oleh Perhutani akan memperdalam jurang ketimpangan akses dan kontrol atas lahan penghidupan yang telah berlangsung sejak masa kolonial. Alih-alih melakukan redistribusi atas lahan, program HTE justru cara Perhutani mengukuhkan penguasaan atas lahan.
Selain biomassa, lanjutnya, jenis bioenergi lain yang PP KEN anyar ini dorong adalah biogas dan bahan bakar nabati dengan target pemanfaatan energi masih di bawah biomassa.
Selama ini, pengembangan bahan bakar nabati baik dalam bentuk biofuel maupun bioetanol masih mengandalkan sektor FOLU dalam penyediaan kawasan untuk pengembangan kebun energi.
“Kebutuhan tersebut akan turut menyebabkan alih fungsi lahan yang melepaskan emisi karbon, sekaligus mengakibatkan dampak lain, salah satunya adalah persaingan lahan untuk pangan.”

Melemahkan energi terbarukan
Beyrra Triasdian, Juru Kampanye Renewable Energy Trend Asia, menyoroti PP KEN baru ini yang tidak mendorong energi terbarukan berkeadilan. Terlihat dari melemahnya komitmen energi terbarukan dan pilihan teknologi yang termaktub.
“Sekalipun angkanya terus naik hingga 2060, pilihan jenis teknologinya juga penuh solusi palsu yang akan berdampak terhadap masyarakat tapak maupun lingkungan,” katanya.
Dia bilang, target yang sangat minim tidak sejalan dengan potensi pemanfaatan. Energi surya, misalnya, di tahun 2030 persentase pemanfaatannya hanya berkisar 1,3%-1,6%. Padahal, potensinya di Indonesia terbesar di antara potensi sumber daya yang lain.
Riset IESR menyebut, potensi energi surya dapat memenuhi bauran energi hingga 88% di 2050 dengan potensi total mencapai lebih dari 7.700 GW.
“Pemanfaatan energi sebesar itu dimungkinkan asalkan ada kemauan politik yang kuat untuk mendorong transisi energi ke energi terbarukan.”
Salah satunya, pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di skala rumah tangga maupun industri. Sayangnya, hal ini peraturan ESDM mempersulitnya.
Peleburan energi baru dan energi terbarukan, katanya, memperparah bauran tersebut. Selain angka yang dia nilai kurang ambisius, peleburan ini akan melegitimasi proyek energi baru yang cenderung merupakan solusi palsu, ketimbang energi terbarukan yang benar-benar bersih.
“Tak hanya bermasalah di bauran energi, konteks peleburan antara energi baru dan energi terbarukan ini berlaku untuk banyak hal lain dalam PP KEN, seperti dekarbonisasi sektor energi dan transisi energi. Salah satu sumber energi baru yang disebutkan adalah nuklir yang jelas bukan energi terbarukan yang akan habis ketika digunakan.”
Selain itu, nuklir terbukti membutuhkan biaya tinggi, dari investasi reaktor pembangkit hingga pengelolaan limbah radioaktifnya, yang tanpa pengelolaan, akan berbahaya hingga ribuan tahun.
Beyrra bilang, teknologi yang muncul dan angka-angka target bauran energi di dalam PP juga tidak memenuhi prinsip daur hidup menyeluruh dekarbonisasi. “
Teknologi yang diusung di dalam PP ini perlu dipertanyakan karena bukan solusi transisi energi yang diinginkan. Penurunan jumlah emisi yang dikejar di dalam rancangan pengelolaan energi yang diusulkan hanya terfokus pada pengelolaan energi saja.”
Pada praktiknya, muncul jenis-jenis energi baru yang seakan-akan bersih. Padahal, menurut dia, prosesnya akan menghasilkan emisi dalam pengelolaan penyediaan maupun transportasinya.
Terminologi energi rendah karbon pun dia nilai dilematik. Istilah ini hanya tameng memperpanjang energi berbasis fosil seperti gasifikasi dan likuifaksi batubara.
Selain itu, muncul teknologi melalui hidrogen dan amoniak sebagai transisi di sektor industri. Sementara, riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menjelaskan, dorongan pemanfaatan hidrogen di dalam pembangkit listrik memerlukan dukungan infrastruktur yang sangat kuat yang akan berdampak pada biaya yang tinggi yang tidak sebanding dengan kebermanfaatannya.
Selain itu, pada proses produksinya, hidrogen akan menghasilkan masalah lingkungan baru karena menghasilkan Nitrogen Oksida (NOx) yang sangat besar pada saat pembakaran.
“PP KEN yang disahkan ini juga tidak menyertakan ruang untuk pengembangan energi terbarukan skala komunitas.”
Menurut dia, pengembangan energi terbarukan skala komunitas sangat penting dalam meningkatkan akses energi yang berkelanjutan di daerah pedesaan dan terpencil, serta memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam transisi energi.
Model ini tidak hanya menyediakan energi bersih, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi lokal.
“PP KEN ini belum memasukkan peran serta pemerintah daerah yang berkaitan langsung dengan pemerintah desa,” katanya.
Padahal, upaya-upaya energi terbarukan skala kecil biasanya ada di daerah yang belum memiliki jaringan listrik nasional.
Tanpa ada dukungan kebijakan yang memadai di tingkat terkecil, keberlanjutan pembangkit skala kecil terbukti banyak terkendala secara teknis maupun pendanaan.

*****
Pendanaan Seret, Target Transisi Energi Bersih Bakal Meleset?