- “Udang beku Indonesia mengandung zat radioaktif.” Begitu informasi yang mengejutkan pertengahan Agustus lalu. Otoritas pangan Amerika Serikat menolak ekspor udang beku PT Bahari Makmur Sejahtera (BMS Foods) yang berasal dari pabrik di Kawasan Industri Cikande, Kabupaten Serang, Banten, karena menemukan paparan zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137). Ternyata pabrik pangan ini dari Kawasan Industri Cikande yang bercampur dengan pabrik peleburan logam, yang menjadi sumber lokal sebaran zat berbahaya itu.
- Pemerintah membentuk satuan tugas lintas kementerian dan lembaga lalu menelusuri ternyata di sekitar pabrik BMS itu ada rongsokan dengan sampah logam bekas mengandung zat radioaktif ini. Satgas menemukan, generator, palet, dan drum logam di beberapa pabrik menunjukkan tingkat radiasi di atas ambang batas aman. Penelusuran lanjutan ada enam titik, salah satunya sumber lokal dari pabrik peleburan logam, PT Peter Metal Technology (PMT). Total titik sebaran ada 32 titik Sebanyak 22 pabrik di dalam kawasan Cikande dan 10 lapak rongsokan di sekitar kawasan jadi sumber zat berbahaya ini.
- Ahmad Martin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia menyerukan, pemerintah memperketat aturan serta pengawasan di sektor industri pangan. Keamanan pangan bukan hanya persoalan kualitas produk, melainkan juga perlindungan kesehatan masyarakat dan kedaulatan negara. Zona industri pangan terpisah dan ketat dari industri berisiko tinggi, seperti industri peleburan logam atau fasilitas yang berisiko menyimpan zat radioaktif.
- Johan Rosihan, Anggota Komisi IV DPR juga mengamini soal pentingnya keamanan pangan pasca kasus radioaktif Cs-137 ini. Kasus itu, bukan sekadar mencoreng citra ekspor perikanan nasional, tetapi mengguncang kepercayaan dunia pada sistem keamanan pangan laut Indonesia.
“Udang beku Indonesia mengandung zat radioaktif.” Begitu informasi yang mengejutkan pertengahan Agustus lalu. Otoritas pangan Amerika Serikat menolak ekspor udang beku PT Bahari Makmur Sejahtera (BMS Foods) yang berasal dari pabrik di Kawasan Industri Cikande, Kabupaten Serang, Banten, karena menemukan paparan zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137).
Pemerintah membentuk satuan tugas lintas kementerian dan lembaga lalu menelusuri ternyata di sekitar pabrik BMS itu ada rongsokan dengan sampah logam bekas mengandung zat radioaktif ini.
Satgas menemukan, generator, palet, dan drum logam di beberapa pabrik menunjukkan tingkat radiasi di atas ambang batas aman.
Penelusuran lanjutan ada enam titik, salah satunya sumber lokal dari pabrik peleburan logam, PT Peter Metal Technology (PMT).
Kemudian makin luas, 10 titik, lalu 32 titik! Sebanyak 22 pabrik di dalam kawasan Cikande dan 10 lapak rongsokan di sekitar kawasan jadi sumber zat berbahaya ini.
Pemerintah berupaya melakukan pengawasan kendaraan keluar masuk kawasan industri dengan pasang alat deteksi. Terlepas dari berbagai upaya, soal keamanan produk pangan yang beredar menjadi salah satu hal yang harus jadi perhatian pemerintah.
Ahmad Martin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia menyerukan, pemerintah memperketat aturan serta pengawasan di sektor industri pangan.
Dia menekankan, keamanan pangan bukan hanya persoalan kualitas produk, melainkan juga perlindungan kesehatan masyarakat dan kedaulatan negara.
Menurut dia, kontaminasi ini tidak hanya berdampak pada reputasi ekspor, juga berisiko menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan jangka panjang konsumen. Terutama jika bahan pangan terpapar radiasi tanpa disadari.
Kasus ini, sebenarnya dampak dari kebijakan pemerintah yang melonggarkan perizinan melalui Undang-undang Cipta Kerja.
Kemudahan perizinan juga berisiko melemahkan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dia contohkan, dokumen izin lingkungan telah diubah menjadi dokumen persetujuan lingkungan, yang dinilai menurunkan standar pengawasan.
Dampaknya, aspek-aspek penting seperti keamanan pangan menjadi tidak terjamin dan tidak didukung regulasi memadai saat ini.
“Karena itu, sistem pengawasan yang selama ini hanya fokus pada aspek mikrobiologi dan kimia konvensional, kini perlu diperluas hingga mencakup pengawasan paparan radiasi dan kontaminan berbahaya lainnya,” katanya kepada Mongabay.

Dia mendesak, pembaruan regulasi terkait bahan baku industri terutama yang menggunakan logam bekas (scrap metal agar tidak sembarangan masuk ke area produksi pangan.
Apalagi, logam terkontaminasi diduga berasal dari impor tanpa proses deteksi ketat di pelabuhan. Kondisi ini, katanya, menunjukkan celah besar dalam sistem karantina dan pengawasan bahan mentah.
Dia mendesak zona industri pangan terpisah dan ketat dari industri berisiko tinggi, seperti industri peleburan logam atau fasilitas yang berisiko menyimpan zat radioaktif.
Hal ini, katanya, untuk mencegah transfer kontaminasi melalui alat, kendaraan, maupun lingkungan kerja yang saling berbagi akses.
Dari sisi pemerintah, Menteri Lingkungan Hidup telah menghentikan sementara izin impor logam bekas dan mewajibkan pemasangan radiation portal monitoring bagi industri yang mengimpor bahan mentah.
Namun, Martin menilai langkah ini belum cukup jika tidak disertai penegakan hukum, edukasi pelaku industri, serta keterlibatan masyarakat dalam pengawasan.
Dia mendesak pemerintah memperketat pengawasan dan mewajibkan audit berkala terhadap pabrik-pabrik pengolahan makanan.
Kalau perlu, katanya, pemerintah harus memaksimalkan peran BPOM untuk turut menangani aspek keamanan pangan berbasis risiko kontaminasi non-konvensional, termasuk kontaminasi radioaktif, logam berat, dan zat-zat toksik lainnya.
“Kasus Cikande menjadi pelajaran mahal. Ke depan, Indonesia perlu memastikan setiap proses produksi pangan dari hulu hingga hilir berjalan dalam kerangka yang aman, bersih, dan bebas dari bahan berbahaya. Sebab, satu kesalahan kecil di titik rantai pasokan bisa berdampak besar pada citra bangsa dan kesehatan masyarakat secara luas,” katanya.
Selain itu, Martin berharap pemerintah dapat memberikan dukungan kepada produsen pangan skala kecil agar mereka turut menjadi bagian dari kebijakan keamanan pangan yang komprehensif.
“Sangat penting bagi pemerintah untuk mendorong produksi pangan lokal yang dihasilkan oleh petani kecil. Keamanan pangan dari produsen skala kecil ini cenderung lebih terjamin,” ucapnya

Johan Rosihan, Anggota Komisi IV DPR juga mengamini soal pentingnya keamanan pangan pasca kasus radioaktif Cs-137 ini.
Kasus itu, katanya, bukan sekadar mencoreng citra ekspor perikanan nasional, tetapi mengguncang kepercayaan dunia pada sistem keamanan pangan laut Indonesia.
“Pangan laut kita seharusnya bisa menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Tapi kasus Cs-137 ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kebijakan kita,” kata Johan melalui siaran pers.
Dia menyebut, laut Indonesia menyimpan potensi luar biasa. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, sektor perikanan menyumbang lebih dari 3% terhadap PDB nasional, dengan nilai ekspor menembus US$5 miliar per tahun.
Udang, tuna, dan rumput laut adalah primadona ekspor yang menopang devisa sekaligus sumber protein utama masyarakat pesisir.
Menurut Johan, kebijakan pangan nasional masih bias daratan. Fokus pembangunan tetap berkutat pada padi, jagung, dan kedelai, sementara pangan laut — atau blue food — belum sebagai pilar utama ketahanan pangan.
“Dalam forum global, blue food mulai diakui sebagai solusi krisis pangan dan iklim. Indonesia seharusnya bisa menjadi pelopor. Tapi itu butuh keberanian politik dan arah kebijakan yang jelas,” ujarnya.

Alih-alih memperkuat keamanan pangan, kasus Cs-137 di udang beku Indonesia menjadi tamparan keras bagi sistem pengawasan pangan nasional. Bukan hanya karena nilai ekspor terganggu, juga Indonesia ternyata belum memiliki mekanisme deteksi rutin terhadap kontaminasi radioaktif di produk pangan laut.
Badan Karantina, BPOM, maupun laboratorium mutu di pelabuhan belum dilengkapi alat pendeteksi isotop radioaktif.
“Ini celah besar yang bisa meruntuhkan reputasi pangan laut kita. Dunia sedang mengawasi. Kalau pemerintah tidak transparan, kepercayaan pasar bisa lenyap dalam hitungan minggu,” kata Johan.
Dia bilang, menganggap kasus Cs-137 hanya insiden teknis adalah kesalahan besar. Menurut dia, pencemaran laut bukan hal baru di Indonesia. Banyak kawasan pesisir berbatasan langsung dengan industri, pelabuhan, dan tambang, tanpa sistem pengawasan kualitas air yang memadai.
Sisi lain, kata Johan, ketertelusuran produk (traceability) juga lemah. Asal-usul bahan, metode budidaya, hingga jalur distribusi sering tidak tercatat dengan baik. Akibatnya, ketika terjadi kontaminasi, penelusuran menjadi nyaris mustahil.
Pemerintah, kata Johan, perlu melakukan pembenahan struktural dari tata ruang laut, pengelolaan pesisir, hingga pengawasan industri di sekitar wilayah perairan.
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), mengatakan, akar permasalahan terletak pada para pejabat yang tidak menjalankan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) secara optimal.
Dia contohkan, insiden paparan radioaktif di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Januari 2020, sebagai bukti kelalaian dalam pengawasan dan penanganan limbah radioaktif.
Menurut dia, banyak pejabat yang seharusnya bertanggung jawab justru tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya.
“Jangankan kasus paparan radioaktif, banyak juga kasus terkait bahan berbahaya dan beracun (B3) yang hingga kini belum ditangani dengan baik oleh pemerintah.”
Lebih ironis lagi, kata Ahmad, banyak pejabat diduga terlibat dalam bisnis-bisnis yang justru berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan, bahkan cemaran radioaktif.
Pada kasus radioaktif di Cikande, katanya, situasi menjadi lebih parah karena kontaminasi radioaktif justru turut merembet ke pangan hingga makanan, yang dapat berdampak langsung pada kesehatan manusia.
Menurut dia, pemerintah perlu mengambil tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku yang menyebabkan pencemaran radioaktif ini.
“Penindakan tegas terhadap pelaku ini juga merupakan upaya penting untuk menjaga keamanan pangan kita. Pelaku harus diberikan sanksi seberat-beratnya.”

*****
Cemaran Radioaktif Cikande, Pemerintah Setop Sementara Izin Impor Logam Bekas