- Yayasan Auriga Nusantara meluncurkan platform Mapbiomas Indonesia terbaru, akhir Agustus 2025. Lewat platform ini, mereka temukan wilayah yang bervegetasi alami dari 1990 sampai 2024 tersisa 68,3% atau periode 35 tahun itu, Indonesia kehilangan 18 juta hektar hutan alam. Ia terbagi dalam tiga formasi, hutan, hutan rawa gambut, dan mangrove. Pada periode itu, ada peningkatan perkebunan sawit dan kebun kayu.
- Sebelas organisasi masyarakt sipil di Indonesia, dengan koordinator Yayasan Auriga Nusantara, merilis Mapbiomas Indonesia koleksi keempat. Platform ini memiliki 13 kelas dinamika tutupan lahan, serta data tutupan dan penggunaan lahan dalam rentang 1990 hingga 2024, atau 35 tahun terakhir.
- Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara sekaligus Team Leader Mapbiomas Indonesia mengatakan, platform ini ditujukan menggambarkan cerita perubahan tutupan lahan Indonesia dalam kurun 35 tahun terakhir. Masyarakat, katanya, bisa saksikan kisah ekspansi perkebunan, urbanisasi, degradasi hutan, dan upaya perlindungan kawasan penting.
- Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), menyebut Mapbiomas Indonesia koleksi keempat perlu dukung rekognisi masayrakat adat dan wilayah kelolanya, dengan perhatikan data 70%-80% wilayah adat overlap dengan kawasan hutan
Yayasan Auriga Nusantara meluncurkan platform Mapbiomas Indonesia terbaru, akhir Agustus 2025. Lewat platform ini, mereka temukan wilayah yang bervegetasi alami dari 1990 sampai 2024 tersisa 68,3% atau periode 35 tahun itu, Indonesia kehilangan 18 juta hektar hutan alam. Ia terbagi dalam tiga formasi, hutan, hutan rawa gambut, dan mangrove. Pada periode itu, ada peningkatan perkebunan sawit dan kebun kayu.
Dedy Sukmara, Koordinator Teknis Mapbiomas Indonesia, dalam peluncuran mengatakan, dari luasan itu, formasi hutan kehilangan luas terbesar, mencapai 10 juta hektar.
Namun, persentase hilangnya hutan rawa gambut terbesar di antara hutan alam lain, mencapai 42% dalam 3,5 dekade terakhir.
“Ini sangat mengkhawatirkan, kita tahu rawa gambut fungsinya penting, tidak hanya bagi biodiversitas tapi juga buat masyarakat sekitar,” katanya.
Sisi lain, sawit jadi wilayah non alami yang bertambah dengan cepat dalam 35 tahun. Dari sekitar 1 juta hektar pada 1990, bertambah jadi 16,5 juta hektar. Setidaknya ada 17 juta hektar sawit sampai 2024.
Kebun kayu atau hutan tanaman industri (HTI) menempati urutan kedua ekspansi tercepat dan terluas, yakni 2,3 juta hektar. Sementara, lubang tambang, pemukiman, memiliki persentase ekspanse tertinggi, masing-masing naik 989,5% dan 17,2% sejak 1990. Lahan pertanian lain mengalami penurunan luas 16,46 juta hektar.

Mapbiomas
Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara sekaligus Team Leader Mapbiomas Indonesia mengatakan, cerita perubahan tutupan lahan Indonesia dalam kurun 35 tahun terakhir itu tergambarkan di platform Mapbiomas. Masyarakat, katanya, bisa saksikan kisah ekspansi perkebunan, urbanisasi, degradasi hutan, dan upaya perlindungan kawasan penting.
Selain itu, katanya, Mapbiomas Indonesia bertujuan mendorong lahirnya dialog data spasial yang berkelanjutan.
“Saya melihat data berbeda, saya tidak ada masalah. Kalau dengan metodologi yang sama-sama ketat, ada penjelasannya kan. Agak berbahaya kalau hanya ada satu interpretasi,” katanya.

Apa yang baru?
Jejaring organisasi masyarakat sipil di Brasil pertama kali mengembangkan platform Mapbiomas pada 2015. Namanya berasal dari dua padanan kata, yakni map atau peta, dan bioma yang berarti ekosistem skala luas.
Di Indonesia, sejak rilis pada 2021, Mapbiomas mencapai empat edisi pengembangan. Koleksi pertama memiliki 10 kelas dinamika tutupan lahan sepanjang 2000-2019.
Kelas-kelas itu meliputi formasi hutan alam, mangrove, hutan tanaman, tumbuhan non-hutan, sawit, pertanian lainnya, tambang, non-vegetasi lainnya, tambak, serta sungai/ danau.
Seiring waktu, terdapat penambahan kelas kategori dan perluasan rentang waktu. Di koleksi keempat ini, Mapbiomas Indonesia telah miliki 13 kelas dengan tambahan sawah, hutan rawa gambut dan permukiman. Serta, peningkatan data tutupan dan penggunaan lahan dalam rentang 1990 hingga 2024, atau 35 tahun terakhir.
Dedy bilang, secara umum terdapat tiga elemen dalam situs itu. Pada bagian kiri layar, tersaji dua menu yakni wilayah dan kebakaran. Di tengah, peta teritori Indonesia. Di bagian kanan, menu visualisasi data.
Dengan memilih salah satu menu di bagian kiri layar dan area administratif tertentu di peta, pengunjung bisa lihat dan unduh data visual yang tersaji di kanan layar.
Penelusuran area juga bisa dengan mengetikkan nama daerah di kolom pencarian maupun memanfaatkan kolom teritori di daftar layer.
“Sebagai contoh, ketika ketik Kalimantan di kolom pencarian, maka platform akan arahkan kita ke pulau Kalimantan. Pada sisi kanan, menyajikan statistik dari 35 tahun tutupan lahan, juga tahun tertentu atau periode yang akan digunakan. Setelah itu, bisa pilih teritori yang akan diekstrak informasinya,” katanya.
Selain itu, katanya, terdapat menu transisi yang visualisasikan perubahan tutupan lahan dari tahun ke tahun. Perubahan itu tampak dari tampilan warna indikator pada peta. Contoh, dengan manfaatkan fitur diagram sankey, sejumlah area di Pulau Sumatera yang pada 1990 berwarna hijau (hutan), berubah jadi warna ungu (sawit) tahun 2024.
Platform Mapbiomas Indonesia juga sediakan fitur graphics interchange gormat (GIF) atau animasi bergerak.
Dedy bilang, untuk memanfaatkan fitur ini, bisa dengan menekan ikon perubahan area, lalu geser kursor dari satu titik ke titik lain yang diinginkan. Setelahnya, layar akan tampilkan animasi perubahan area dalam kurun waktu tertentu, yang bisa diunduh dalam format GIF.

Ke depan, Mapbiomas Indonesia akan kembangkan fitur Mapbiomas AI (kecerdasan buatan) untuk mempermudah navigasi informasi. Masyarakat yang awam dengan penelusuran data lewat peta, kataya, cukup memanfaatkan fitur ini untuk ketahui luas hutan di suatu daerah, maupun data deforestasi dalam kurun waktu tertentu.
“Maka dia (AI) akan menyajikan gambar, statistik dan akan buat ringkasan hutan yang hilang di wilayah apa saja.”
Projo Danoedoro, guru besar penginderaan jarak jauh ekologi bentanglahan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, lewat Mapbiomas Indonesia, masyarakat dapat mempelajari fakta tentang kondisi dan perubahan tutupan lahan.
Saat sama, data penggunaan lahan tunjukkan aspek campur tangan manusia untuk penuhi kebutuhan hidup, serta tekanan terhadap lingkungan. “Sehingga improvement ke sana juga sebaiknya menekankan hal ini.”
Dia menilai, Mapbiomas Indonesia punya sejumlah keunggulan. Di antaranya, bersifat bottom-up, rantai birokrasi yang pendek, partisipatif, serta punya fleksibilitas dan kemudahan untuk pengembangan.

Untuk masyarakat adat
Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), menyebut, Mapbiomas Indonesia teranyar perlu dukung rekognisi masyarakat adat dan wilayah kelolanya, dengan perhatikan data 70%-80% wilayah adat overlap dengan kawasan hutan.
Kombinasi data tutupan hutan, wilayah adat dan perizinan, bertujuan hindarkan tuduhan pada masyarakat adat atas kerusakan hutan. Karena, di wilayah adat yang terjadi degradasi ekosistem ataupun deforestasi, bisa saja terdapat perizinan kehutanan tertentu.
Selain itu, katanya, penting pula Mapbiomas Indonesia jelaskan situasi di berbagai wilayah adat dan regulasi terkait. Soalnya, menurut dia, pemerintah telah bikin larangan buka lahan dengan bakar hutan.
Sementara, banyak masyarakat adat memiliki tradisi perladangan gilir balik, dengan cara membakar area secara terbatas dan dalam jeda waktu yang panjang.
“Padahal di UU 32 tahun 2009 soal PPLH, ada sebenarnya kewenangan untuk 2 hektare pembukaan lahan, tapi oleh UU Cipta Kerja jadi zero. Ini jadi masalah.”
Dodo, panggilan akrabnya, berharap, ke depan, pengembangan Mapbiomas Indonesia juga bareng dengan kajian menyangkut hak dan sistem tenur masyarakat adat, mendorong perubahan kebijakan tata ruang, hingga jadi dokumen litigasi di pengadilan.
“Seperti di beberapa pengadilan, peta wilayah adat dipakai sebagai pertimbangan hakim, dan itu jadi yurisprudensi. Itu bisa digunakan oleh teman-teman Mapbiomas.”

*****
Mencermati Dampak Ekstensifikasi Lahan Sawit dari Sisi Ekonomi