- Ular naga jawa memiliki strategi unik mengelabui sang pemangsa/predator
- Keunikan Xenodermus javanicus tidak hanya pada sisiknya yang kasar, melainkan juga warnanya yang menyerupai bebatuan sungai. Perilaku bertahan ular naga juga istimewa, yang tidak agresif menyerang melainkan pura-pura mati.
- Meski nama javanicus melekat pada ular naga jawa, namun tidak berarti spesies ini hanya ada di Pulau Jawa. Berdasarkan catatan ilmiah, keberadaanya pernah dijumpai di Sumatera, Kalimantan, bahkan hingga Myanmar dan Thailand.
- Ular naga merupakan satu-satunya spesies dalam Genus Sinonodermus. Jika spesies ini punah, maka seluruh genus ikut hilang.
Bagaimana seekor ular naga jawa bertahan dari ancaman predator? Rahasianya, terletak pada strategi uniknya mengelabui sang pemangsa.
Leonardus Adi Saktyari (29), peneliti keanekaragaman hayati di Mandala Katalika (Manka), mengatakan keunikan Xenodermus javanicus tidak hanya pada sisiknya yang kasar, melainkan juga warnanya yang menyerupai bebatuan sungai.
Selain itu, perilaku bertahan ular yang aktif malam hari, menurut lulusan Pascasarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), juga istimewa. Alih-alih agresif seperti jenis lain, seperti –mengangkat kepala, mendesis, atau menyerang, ular naga justru pura-pura mati.
“Tiba-tiba lemas, diam tak bergerak, seakan mati. Cara ini untuk mengelabui predator agar kehilangan minat,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).

Strategi thanatosis atau pura-pura mati dikenal pada beberapa jenis ular, namun pada ular naga menonjol.
“Wajahnya cenderung imut, sendu. Jadi semakin menegaskan sifatnya tidak agresif,” imbuh Saktyari yang pernah mengabadikan reptil melata ini di lanskap pegunungan Gunung Salak pada 7 tahun silam.
Pengalamannya bertemu ular naga bukan keberuntungan. Dia menggunakan metode standar yang disebut Visual Ecounter Survey, teknik pengamatan herpetofauna dengan menelusuri area yang berpotensi sebagai habitat.
“Harus fokus di sungai berbatu dengan arus lambat.”
Meski demikian, perjumpaan di lapangan tak selalu berbuah hasil. Alam liar, katanya, tidak bisa ditebak. Namun, saat kita sudah punya informasi ekologi, peluang melihatnya lebih besar.

Catatan ekologi
Pada perjumpaan di tahun berbeda, Saktyari mendapati reptil berdarah dingin ini tengah memangsa katak jenis Leptophryne borbonica.
“Informasi ini mempertegas bahwa ular naga bergantung pada katak tertentu. Jadi, di pegunungan yang ada jenis katak itu, besar kemungkinan juga ada ular naga.”
Di beberapa lokasi, misalnya di Gunung Salak dan Lereng Gunung Selamet, menurut dia, populasinya terpantau stabil.
“Selama habitat minim gangguan, tak banyak pencemaran limbah, dan minim aktivitas manusia, populasinya relatif aman.”
Meski demikian, ada ancaman serius, yaitu perdagangan liar. Saktyari mengingat, pada 2015-2019, ular naga sempat viral di media sosial. Di forum jual-beli, terutama Facebook, dia menemukan unggahan berisi satu karung penuh ular naga yang ditawarkan dijual.
“Permintaan umumnya datang dari penghobi exotic pet. Mereka tertarik karena bentuknya unik dan kalem.”
Ancaman ini yang membuat status Least Concern dari IUCN, perlu ditinjau ulang. Di atas kertas, populasinya aman, tetapi di lapangan perdagangan bisa saja menekan jumlahnya. Keberadaan ular naga punya nilai cukup besar bagi Indonesia. Selain ekologi, potensi lainnya adalah sebagai daya tarik wisata minat khusus.
“Sekarang ada tren wildlife photography dan herping, istilah untuk pengamatan herpetofauna.”

Tak hanya di Jawa
Amir Hamidy, Profesor Riset Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, menjelaskan meski nama javanicus melekat pada ular naga jawa, namun tidak berarti spesies ini hanya ada di Pulau Jawa.
Berdasarkan catatan ilmiah, keberadaanya pernah dijumpai di Sumatera, Kalimantan, bahkan hingga Myanmar dan Thailand.
Keunikan ular naga, menurut Amir, karena ia satu-satunya spesies dalam Genus Sinonodermus. Dengan kata lain, jika spesies ini punah, maka seluruh genus juga ikut punah.
“Jika satu genus hanya punya satu spesies, ini sangat riskan. Itulah mengapa ular naga harus diprioritaskan perlindungannya,” jelasnya, baru-baru ini.
Menurut Amir, bentuk tubun yang unik membuat ular naga diminati kolektor, meskipun sulit dipelihara.
“Banyak yang mengambil dari alam, lalu dipelihara di dataran rendah. Tidak lama kemudian mati, karena tidak cocok dengan suhu dan lingkungan.”

Lebih memprihatinkan, hingga kini belum ada informasi keberhasilan captive breeding (penangkaran) ular naga. Kegagalan ini membuat keberadaanya hanya bergantung pada tangkapan alam.
“Bila populasinya menurun dan permintaan tinggi, ancamannya bisa serius.”
Amir menekankan pentingnya riset ular naga, baik dari sisi perilaku, ekologi, maupun potensinya bagi manusia. Dia contohkan, banyak spesies kecil yang awalnya dianggap tidak penting, ternyata menyimpan potensi besar bila dipelajari lebih dalam.
Oleh karenanya, kehilangan ular naga, bukan sekadar kehilangan satu spesies, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk menemukan manfaat baru bagi manusia.
“Setiap kehilangan, membawa dampak ekologis sekaligus menutup peluang riset dan manfaat baru bagi alam dan kita semua,” pungkasnya.
*****