- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) akan mendeklarasikan 20 September 2025 sebagai Hari Keadilan Ekologis. Bertepatan dengan Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV di Sumba, Nusa Tenggara Timur, melibatkan 529 organisasi lingkungan di Indonesia.
- Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, berharap deklarasi Hari Keadilan Ekologis di Indonesia ini akan menjadi bola es ke negara-negara lain, sehingga tergugah untuk sama-sama memulai cara hidup baru. “Bumi ini hancur lebur satu abad terakhir ini, maka kita mendeklarasikan Hari Keadilan Ekologis,” katanya.
- Pemilihan Sumba sebagai tempat deklarasi lantaran pulau ini masih mempertahankan tujuh sendi peradaban Nusantara. Dari bahasa, tenun, arsitektur rumah, sistem pangan, pengobatan tradisional, perkakas, hingga bela diri. Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur WALHI NTT sekaligus Ketua Pelaksana PNLH, mengatakan, jejak-jejak peradaban ekologis di Sumba masih terlihat hingga kini. Masyarakat, terutama di pedesaan, sangat menempatkan ekosistem sebagai teman hidup.
- PNLH akan berlangsung selama sepekan, 18–24 September 2025. Umbu menjelaskan, ada dua agenda utama, yakni pekan nasional lingkungan hidup dan pertemuan nasional para aktivis lingkungan se-Indonesia. Pertemuan nasional berisi agenda-agenda internal Walhi untuk mengevaluasi dan merefleksikan kerja-kerja Walhi 4 tahun terakhir serta menyusun mandat kerja dan memilih fungsionaris organisasi untuk empat tahun ke depan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) akan mendeklarasikan 20 September 2025 sebagai Hari Keadilan Ekologis. Deklarasi ini bersamaan dengan Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV di Sumba, Nusa Tenggara Timur, melibatkan 529 organisasi lingkungan di Indonesia.
Walhi menggagas ide ini sebagai titik balik cara pandang dan hidup manusia dalam merespons krisis iklim, degradasi lingkungan, dan ketidakadilan sosial yang lahir dari model ekonomi ekstraktif. Menurut Walhi, kampanye “sustainable” dan “green” oleh industri besar justru kamuflase daya rusak ekonomi ekstraktif.
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, berharap, deklarasi Hari Keadilan Ekologis di Indonesia ini akan menjadi bola es ke negara-negara lain hingga tergugah untuk sama-sama memulai cara hidup baru.
“Bumi ini hancur lebur satu abad terakhir ini, maka kita mendeklarasikan Hari Keadilan Ekologis,” katanya, Selasa (9/9/25).
Aspek keadilan ekologis, katanya, masih terabaikan. Padahal, kelestarian atau keberlanjutan tak lepas dari aspek keadilan.
Dalam proses transisi energi, misal, tidak mungkin berjalan jika ada perampasan lahan dan hak-hak masyarakat. Menurut dia, adaptasi manusia dengan alam membangun sebuah peradaban, hingga haruslah menjaga dua subjek itu. Tidak boleh mengorbankan satu untuk yang lain.
“Jadi manusia menempatkan diri menjadi bagian dari ekosistem itu sendiri. Manusia mempunyai haknya, lingkungan juga.”

Sementara di Indonesia, Zenzi menilai kebijakan-kebijakan yang pemerintah keluarkan makin menjauhkan aspek keadilan ekologis. Periode 1945-1960, dia melihat ada upaya untuk mengacu pada keadilan ekologis. Misal, Undang-undang pokok Agraria (UU 5/1960) yang mengatur bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hak menguasai negara.
Regulasi ini memang tidak mengatur teknis soal tambang, sehingga banyak celah interpretasi. Namun, konsiderannya masih mengacu Pasal 33 UUD 1945.
Kemudian, keluar UU Pokok Pertambangan (UUPP), pada 1967, yang menyebut negara bisa memberi kuasa pada swasta (termasuk asing) dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP) dan Kontrak Karya (KK). Pada tahun yang sama, keluar UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Saat Orde Baru, kedua UU ini menjadi pintu masuk modal asing besar-besaran. Salah satunya, dalam hak eksklusif Freeport menambang di Ertsberg, Papua dengan jangka waktu 30 tahun. Lalu, Kontrak Karya ke-2 tahun 1991 memperbaruinya.
Rezim Orba memberikan izin eksploitasi ke area Grasberg, salah satu cadangan emas terbesar di dunia. Jangka waktunya 30 tahun dengan opsi perpanjangan.
Kemudian, pasca reformasi, lahir Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) tahun 2009. Mengganti Kontrak Karya & Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP/IUPK). UU ini tidak membatasi eksploitasi tambang, hanya mewajibkan pembangunan smelter. Namun, pengawasannya lemah.
Revisi UU ini pada 2020 memberi perpanjangan izin otomatis perusahaan besar, meskipun punya catatan buruk dalam perusakan lingkungan. Partisipasi masyarakat pun makin sempit.
Indonesia makin memberikan ruang pada investasi, namun mengesampingkan aspek manusia dan lingkungan lewat UU Cipta Kerja pada 2020. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) melonggar, hanya proyek berisiko tinggi yang wajib memenuhi syarat ini. Pelemahan juga terlihat dari penghapusan izin lingkungan, berganti perizinan berusaha.

Sementara, kejadian bencana dan kehancuran terjadi seiring dengan kondisi-kondisi ini.
Data Global Forest Watch menunjukkan, Indonesia kehilangan 10,7 juta hektar hutan primer basah dari 2002 hingga 2024. Area total hutan primer basah di Indonesia berkurang 11% dalam periode waktu ini. Dari 2001 sampai 2024, Indonesia kehilangan 76% tutupan pohon.
Auriga Nusantara pun mencatat deforestasi 261.575 hektar di Indonesia sepanjang 2024. Meningkat dari 257.380 hektar tahun sebelumnya.
Selain itu, pemerintah pun mencabut hak-hak masyarakat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat kenaikan jumlah kasus konflik agraria selama lima tahun terakhir.
Pada 2019, terdapat 279 konflik agraria. Kemudian 2020 sebanyak 241 letusan, 2021 (207), 2022 (212), 2023 (241), dan 2024 (295).
Pada 2024, KPA mencatat, sedikitnya terjadi 207 kasus kriminalisasi, 41 kekerasan, dua orang tertembak, dan satu tewas karena warga yang mempertahankan lahan. Perampasan dan kriminalisasi banyak juga terjadi pada masyarakat adat.
Padahal, UUD 1945 sudah menjamin keadilan ekologis. Pasal 18, negara harus melindungi masyarakat adat, termasuk hak atas lingkungan hidupnya.
Kemudian, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan negara dalam mengelola sumber daya alam harus adil, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.

Kenapa di Sumba?
Pemilihan Sumba sebagai tempat deklarasi lantaran pulau ini masih mempertahankan tujuh sendi peradaban Nusantara. Dari bahasa, tenun, arsitektur rumah, sistem pangan, pengobatan tradisional, perkakas, hingga bela diri.
Menurut Zenzi, Sumba bisa menjadi referensi daerah lain untuk mempertahankan dan memulihkan sendi-sendi peradaban mereka.
“Jadi tidak hanya memulihkan ekologinya, tetapi memulihkan peradaban dan membangun sistem ekonomi,” katanya.
Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur WALHI NTT sekaligus Ketua Pelaksana PNLH, mengatakan, jejak-jejak peradaban ekologis di Sumba masih terlihat hingga kini. Masyarakat, terutama di pedesaan, sangat menempatkan ekosistem sebagai teman hidup.
Sumba juga merupakan wilayah dengan luasan savana terbesar di Indonesia. Dia berharap PNLH dan deklarasi Hari Keadilan Ekologis ini bisa mendorong timbulnya kesadaran dari pemerintah untuk melindungi hamparan savana.
Umbu ingin savana masuk kategori ekosistem esensial yang negara lindungi laiknya ekosistem gambut, padang lamun, karst, dan mangrove.
“Bukan hanya konteks Sumba-nya, tapi juga konteks savana pada umumnya di Indonesia. Representasinya adalah Sumba.”
Ini merupakan kali pertama pagelaran PNLH di pulau kecil. Harapannya, pemerintah juga memperhatikan ancaman-ancaman yang ada di pulau kecil seperti Sumba, dari krisis iklim hingga investasi.
Saat ini, katanya, Sumba dalam ancaman pabrik tebu yang memiliki konsesi hingga 52.000 hektar di savana atau sekitar 5% dari luas pulau. Karena itu, alasan menjadikan savana ekosistem esensial pun makin mendesak.

Momentum titik balik
Hari Keadilan Ekologis menjadi momentum yang bisa mengajak semua orang, dari desa hingga dunia, untuk mengambil bagian.
“Kita mulai membangun solidaritas dengan negara-negara Latin Amerika dan Afrika dengan membangun persamaan di ekosistem ekonomi hutan tropis,” ucap Zenzi.
Piagam Hari Keadilan Ekologis dan rumusan-rumusan dari pertemuan nasional lingkungan hidup ini juga akan Walhi dorong untuk menjadi referensi dalam pertemuan iklim tahun ini di Brasil. Mereka berharap pemerintah menjadikan agenda ini sebagai agenda negara dalam perundingan iklim global.
Indonesia, seharusnya bisa memimpin negara-negara tropis untuk memulai membangun posisi tawarnya terhadap negara-negara industri. Apalagi, negara industri punya ketergantungan pada negara hutan tropis, salah satunya suplai bahan baku.
Dengan deklarasi Hari Keadilan Ekologis, Walhi berharap Indonesia tidak lagi menempatkan diri sebagai penyedia bahan mentah bagi industri global, melainkan sebagai penggagas tatanan ekonomi dan peradaban baru.
“Kalau negara-negara tropis berhenti mengirim kopi, lada, atau cengkeh ke Amerika dan Eropa, mereka akan merasakan betapa kuatnya posisi kita. Inilah saatnya membalik situasi,” kata Zenzi.
Bagi Walhi, inisiatif ini bukanlah akhir, melainkan awal perjalanan panjang mengubah cara hidup, memulihkan ekologi, dan merakit ulang peradaban Nusantara.

Pemilihan direktur baru
PNLH akan berlangsung selama sepekan, 18–24 September 2025. kata Umbu, ada dua agenda utama, pertama, Pekan Nasional Lingkungan Hidup dan kedua, pertemuan nasional para aktivis lingkungan se-Indonesia.
Adapun beberapa agenda dalam pekan nasional lingkungan hidup, di antaranya konferensi internasional hutan tropis, sejumlah seminar secara paralel, deklarasi Hari Keadilan Ekologis, dan panggung rakyat.
Sementara itu pertemuan nasional berisi agenda-agenda internal Walhi untuk mengevaluasi dan merefleksikan kerja-kerja Walhi empat tahun terakhir serta menyusun mandat kerja dan memilih fungsionaris organisasi untuk empat tahun ke depan.
Mekanisme pemilihan dilakukan secara demokratis. Sebanyak 529 anggota Walhi menggunakan hak suara mereka untuk memilih direktur, sedangkan Dewan Nasional bisa ditentukan melalui voting atau musyawarah mufakat.
“Walhi bertahan 45 tahun karena demokrasi internalnya dijaga. Pemilihan dilakukan dengan voting oleh 529 organisasi anggota. Di Dewan Nasional bisa lewat voting atau musyawarah,” kata Zenzi.
Selain pemilihan, Konferensi Ekonomi Negara Hutan Tropis dengan delegasi dari Amerika Latin dan Afrika mewarnai PNLH. Tujuannya membangun solidaritas negara-negara selatan dalam menghadapi krisis iklim dan memperkuat posisi tawar di perundingan global, termasuk COP 30 di Brasil.
PNLH juga akan memperkuat gagasan ekonomi Nusantara sebagai narasi tanding atas ekonomi ekstraktif. Praktik ekonomi berbasis rakyat yang adaptif dan memulihkan lingkungan, seperti pertanian lokal dan produksi tenun, jadi etalase dalam ekosistem ekonomi baru.

*****