- Ambrosia Ero merupakan anggota komunitas Gebetan yang selalu semangat berbicara pangan lokal, terutama sorgum.
- Gebetan singkatan dari Gerep Blamu Tapobali Wolowutun artinya muda-mudi ujung kampung. Didirikan tahun 2022, jumlah anggotanya tidak tetap. Mereka merupakan generasi muda Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, NTT, yang peduli lingkungan dan pangan lokal.
- Pangan lokal lebih sehat untuk dikonsumsi. Sorgum, kacang-kacangan, umbi-umbian, padi dan jagung bisa beradaptasi dengan tanah kering dan tandus, serta perubahan iklim. Sorgum, meski dengan curah hujan rendah tetap tumbuh dan berbuah.
- Ambrosia terus berjuang bersama Gebetan, membuat pangan lokal familiar di kalangan anak muda. Visinya adalah Gerakan Bersama Menuju Tapobali Asri dan Nyaman. Mimpi besar Gebetan yakni memiliki kios dan toko kecil yang menyediakan berbagai jenis pangan lokal khas Tapobali.
Puluhan pelajar SMP N 4 Wulandoni di Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, NTT, bergegas ke kebun sorgum di utara sekolah, usai pelajaran selesai. Para siswa menggenggam pisau, sementara siswi memegang wadah dari anyaman daun lontar.
Satu per satu batang sorgum hasil panen dikumpulkan dalam wadah, lalu dimasukkan ke karung.
“Cara tradisional ini dilakukan karena kami tidak memiliki mesin perontok,” terang Ambrosia Ero dari komunitas Gebeta, di sela panen sorgum, Kamis (7/8/2025).
Yudi Fridolin Atawolo, Guru Bahasa Inggris SMP N 4 Wulandoni, mengakui sekolah telah bekerja sama dengan pihak komunitas sejak 2023. Lahan kosong milik sekolah seluas satu hektar, ditanami sorgum pada 2024. Awalnya, ada sosialisasi manfaat sorgum, lalu siswa-siswi praktik bikin kue berbahan baku sorgum.
“Hasil panen sebagian dijual dan sisanya digunakan sebagai bahan kue. Uang hasil penjualan dibelikan perlengkapan sekolah serta dibagikan kepada siswa,” terangnya.
Sekolah wajib miliki kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), sehingga siswa diarahkan menanam dan mengolah sorgum.
“Mereka lebih mengenal sorgum dan memanfaatkannya sebagai bahan pangan.”

Berawal dari keresahan
Gebetan singkatan dari Gerep Blamu Tapobali Wolowutun artinya muda-mudi ujung kampung. Didirikan tahun 2022, jumlah anggotanya tidak tetap.
Awalnya 40 orang bergabung, namun dalam perjalanan ada yang melanjutkan sekolah di luar desa, kuliah, dan merantau mencari pekerjaan. Kini anggota tersisa 7 orang.
Hendrikus Bua Kilok, Ketua Gebetan, menjelaskan komuniktas ini didirikan karena adanya keresahan anak muda, anak tanah (warga asli) penjaga lewo atau kampung halaman, terhadap dampak perubahan iklim.
Setiap tahun, ada pergeseran musim tanam sehingga petani sering gagal tanam dan gagal panen. Selain itu, ada keresahan terhadap mata air di desa yang debitnya berkurang.
“Saya dan kaka Ambrosia coba membentuk komunitas. Fokusnya, pada pertanian berbasis pangan lokal dan konservasi mata air sebagai bentuk menjaga dan merawat kampung kami sendiri,” ungkapnya.
Ambrosia menjelaskan Gebetan awalnya fokus konservasi dengan melakukan pembibitan, persemaian dan gerakan konservasi di Desa Tapobali.
Gebetan menanam pohon flamboyan (Delonix regia), trembesi (Samanea saman), serta bambu aur (Bambusa vulgaris) di mata air.
“Saya diminta Hendrikus ikut pertemuan dengan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel). Kami diberi arahan dan pelatihan isu perubahan iklim.”
Andika melihat Ambrosia merupakan sosok perempuan yang sefrekuensi dengannya. Dia berkomitmen bersama komunitas membangun desa dari sektor pertanian dan konservasi mata air.
“Dia mau kerja sosial dan berinisiatif, tanpa melihat uang yang dihasilkan.”

Hidupkan pangan lokal
Beberapa jenis benih pangan lokal diletakkan dalam anyaman daun lontar, di Dusun Walet, Desa Tapobali. Benih-benih ini coba dikumpulkan Gebetan untuk dibudidayakan bersama kelompok tani dan kelompok dampingan.
Menurut Ambrosia, pangan lokal sempat ada di Tapobali termauk sorgum lokal yang dikenal dengan nama kfarfolot. Sorgum berwarna hitan tersebut tumbuh di kebun dan hutan, serta dikonsumsi warga.
“Pangan lokal ini sudah ada di kehidupan orang tua dulu, namun tidak dibudidayakan,” ucapnya.

Dulu ada leye, semacam jagung dengan tekstur keras. Kulitnya dikupas untuk diambil biji bagian dalamnya. Ada juga kacang bengo dan kacang uta inan yang dikonsumsi saat warga kelaparan dan sulit mendapatkan beras. Berikutnya, umbi-umbian dan jagung lokal yang dalam perjalanannya sempat hilang karena tidak dikembangkan.
Didampingi Yaspensel dan di bawah naungan Koalisi Pangan Baik, Gebetan diminta menggali informasi tanaman itu di masyarakat. Gebetan juga dilatih menggerakkan masyarakat, terutama kaum muda untuk melestarikan pangan lokal.
“Pangan lokal lebih sehat untuk dikonsumsi. Sorgum, kacang-kacangan, umbi-umbian, padi dan jagung bisa beradaptasi dengan tanah kering dan tandus, serta perubahan iklim. Sorgum, meski dengan curah hujan rendah tetap tumbuh dan berbuah. Selama 3 tahun uji coba, hasil panennya lumayan bagus.”
Gebetan juga menyasar kelompok tani, membujuk mereka menanam sorgum dan pangan lokal seraya menjelaskan dampak perubahan iklim. Ladang masyarakat yang dulunya hanya ditanam padi dan jagung, kini ada sorgum. Semua berkat sosialisai yang dilakukan di tingkat dusun juga di media soosial.
“Banyak yang datang ke kami minta benih untuk ditanam di kebun mereka,” sebutnya.
Sejauh ini, pangan lokal yang sudah dibudidayakan selain sorgum adalah kfaru levon (jagung lokal), fetem (jewawut), delaj (jali-jali), uta inan (kacang hutan), bengo (kacang racun), uta knoing (kacang nasi), dan uta tana (kacang tanah).

Pengolahan sorgum
Gebetan membuat sorgum menjadi produk siap pakai. Bermodal peralatan seadanya, mereka mengemas sorgum dan kopi dalam satu kemasan untuk dijual.
Kopi biji didatangkan dari Boto, Desa Belobaja. Kopi dicampur dengan sorgum dan dinamakan kopi sorgum. Seiring waktu pesanan mulai berdatangan dari dalam dan luar desa.
Berkat kerja sama dengan Samdhana Institute, Gebetan dapat suntikan dana Rp83 juta dan dikelo swadaya. Gebetan juga bekerja sama dengan SMP N 4 Wulandoni membuat aneka kue berbahan dasar sorgum yang dijual di gerai komunitas.
“Warga menjual sorgum kepada komunitas seharga Rp10 ribu per kilogram. Kue sorgum kami beli Rp15 ribu dan dijual Rp20 ribu,” Ambrosia.
Gebetan juga menjual kopi sorgum 150 gram seharga Rp15 ribu, 250 gram seharga Rp25 ribu, dan 500 gram senilai Rp30 ribu. Penjualan di sejumlah wilayah NTT dan juga ke Jakarta.

Mengutip Badan Pangan Nasional dalam tulisan Hilirirsasi Sorgum Langkah Strategis Badan Pangan Nasional Wujudkan Swasembada Pangan, menjelaskan bahwa guna mendukung diversifikasi pangan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024, tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Implementasinya diwujudkan lewat berbagai upaya, termasuk penanaman sorgum dan singkong di beberapa wilayah strategis.
Andriko Noto Susanto, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Pangan Nasional menyebutkan, sorgum bukan hanya bahan pangan, tetapi juga bisa diolah menjadi gula, tepung, hingga pakan ternak.
“Pohon industri ini seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan,” ucapnya, Sabtu (15/3/2025).
Badan Pangan Nasional mengusulkan agar sorgum, jagung, dan sagu masuk dalam skema cadangan pangan pemerintah (CPP) yang selama ini hanya fokus pada beras. Sorgum merupakan alternatif pangan lokal yang potensial. Selain memiliki kandungan gizi tinggi, sorgum juga lebih adaptif terhadap perubahan iklim karena tidak membutuhkan banyak air dibandingkan padi.
“Sekali tanam, sorgum dapat dipanen hingga tiga kali. Ini jelas lebih efisien, dibandingkan jagung yang hanya panen sekali dalam satu siklus tanam,” ungkapnya.

Terus berjuang
Dalam Policy Brief Data Transformasi Sistem Pangan Negara Kepulauan: Suara Masyarakat Sipil Untuk Perubahan Kebijakan Menuju Sistem Pangan Yang Beragam, Adil dan Lestari, masyarakat sipil mempertanyakan kebijakan pangan nasional.
Dialog independen masyarakat sipil menemukan masalah fundamental dalam sistem pangan Indonesia yang semakin jauh dari cita-cita kedaulatan pangan, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Indikasi paling nyata adalah ketergantungan pada impor pangan utama yang cenderung meningkat, gambaran memburuknya kedaulatan pangan di Indonesia. Pergeseran pola konsumsi dari berbagai pangan lokal ke beras, menyebabkan kebutuhan beras nasional terus meningkat seiring pertambahan populasi.
“Ditengah ketergantungan pada konsumsi beras, pemerintah tidak memiliki kesiapan strategi untuk diversifikasi konsumsi pangan yang berbasis pada pangan lokal,” ungkap laporan tersebut.

Hal ini ditunjukkan dengan tren impor gandum yang terus meningkat dan potensial, menjadi sumber ketergantungan baru pada pangan impor. Gandum telah menjadi sumber pangan pokok kedua setelah beras di Indonesia. Lemahnya literasi gizi dan rendahnya komitmen untuk pengembangan pangan lokal, menjadi persoalan serius dalam jangka panjang ditengah kebijakan pangan yang terus bergantung pada sektor beras.
Sementara itu, produksi pangan terus mengalami tekanan akibat degradasi agroekosistem dan perubahan iklim.
“Perubahan iklim masih disikapi dengan pendekatan reaksioner dalam bentuk program bantuan teknis pompanisasi dan bantuan tunai yang tidak menyelesaikan akar masalah di lapangan. Akibatnya, sebagian besar petani dibiarkan untuk acrobatic social survival dalam menghadapi krisis iklim,” jelas laporan tersebut.

Hendrikus menegaskan, krisis iklim dan dampaknya bukan sekadar isu biasa, namun sudah dirasakan dan dialami masyarakat. Sebagai orang muda, saya ikut merasakan.
“Kalau generasi kami sudah merasakan, tentu generasi berikutnya akan merasakan juga,” tuturnya.
Ambrosia terus berjuang bersama Gebetan, membuat pangan lokal familiar di kalangan anak muda. Visinya adalah Gerakan Bersama Menuju Tapobali Asri dan Nyaman. Mimpi besar Gebetan yakni memiliki kios dan toko kecil yang menyediakan berbagai jenis pangan lokal khas Tapobali.
“Saya sudah berusaha meninggalkan Hendrikus dan Gebetan, namun tidak bisa. Dia juga tidak bisa meningalkan saya,” ucapnya sambil tertawa.
Perjalanan Gebetan, menurut perempuan kelahiran Wolowutun 9 Februari 1981 ini, belum maksimal. Baru 70 persen, dikarenakan peralatannya masih seadanya (manual) untuk proses rontok dan sosoh sorgum.
“Kami tetap semangat berjuang. Mempertahankan pangan lokal itu ibarat berjalan di area batu terjal dengan jalur mendaki menuju puncak bukit,” pungkasnya.
*****
Pangan Lokal, Optimisme Masyarakat Lembata Hadapi Krisis Iklim