- Setelah pontang-panting imbas konflik lahan dengan perusahaan sawit, para petani perempuan di Nagari Kapa, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat (Sumbar) perlahan mulai bangkit. Mereka sukses membudidayakan melon hidroponik sebagai salah satu alternatif tambahan penghasilan.
- Icha, petani setempat akui, kehidupan ekonomi warga sempat amburadul setelah tanah ulayat warga terampas perusahaan pada Oktober 2024. Mereka seolah hilang arah untuk mencari sumber penghasilan. Sampai kemudian datang tawaran kolaborasi dari LBH Padang untuk berkebun melon hidroponik.
- Total ada 30 petani perempuan aktif mengelola greenhouse ini. Mereka terbagi dua kelompok yang masing-masing berjumlah 15 orang. Menurut Icha, dari 400 buah melon hasil panenan, 300 diantaranya sudah laku. Dari hasil penjualan itu, 20% mereka sisihkan untuk kas perjuangan.
- Uslaini dari Walhi Nasional mengatakan Kapa sudah melewati jalan panjang untuk mendapatkan hak pengelolaan tanah ulayat. Persoalannya, dukungan negara dengan beragam infrastrukturnya menjadikan posisi tawar warga lemah. Warga perlu memperkuat ekonomi kerakyatan demi mengurangi ketergantungan terhadap ekonomi kapitalistik.
Setelah pontang-panting imbas konflik lahan dengan perusahaan sawit, para petani perempuan di Nagari Kapa, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat (Sumbar) perlahan mulai bangkit. Mereka sukses membudidayakan melon hidroponik sebagai alternatif tambahan penghasilan.
Icha, petani Kapa mengatakan, kehidupan ekonomi warga sempat amburadul setelah tanah ulayat warga terampas perusahaan pada Oktober 2024. Mereka seolah hilang arah untuk mencari sumber penghasilan. Sampai kemudian datang tawaran kolaborasi dari LBH Padang untuk berkebun melon hidroponik.
Tak dinyana, inisiatif itu mulai membuahkan hasil. Dua fasilitas greenhouse yang terbangun mampu menghasilkan 400 buah melon jenis intanon dan apolo.
“Ini juga untuk memperpanjang napas perjuangan kami. Kami masih tetap memperjuangkan tanah ulayat kami untuk mendapatkan hak kami, karena kami butuh tanah untuk hidup kelak,” kata Icha.
Total ada 30 petani perempuan aktif mengelola greenhouse ini. Mereka terbagi dua kelompok yang masing-masing berjumlah 15 orang. Menurut Icha, dari 400 buah melon hasil panenan, 300 sudah laku. Dari hasil penjualan itu, 20% mereka sisihkan untuk kas perjuangan.
Dari usaha ini, ibu-ibu bisa mendapat penghasilan tambahan. “Karena kami butuh ruang pekerjaan, kami butuh hidup,” kata Nurliza, warga lainnya.
Dia berharap ke depan, budidaya melon hidroponik ini bisa berkembang dalam skala yang lebih luas.
Zaki, fasilitator petani mengatakan, greenhouse masing-masing berukuran 9×20. Mereka gunakan deep flow technique sebagai sistem operasional greenhouse ini. keunggulan sistem ini adalah saat listrik padam, tanaman tidak layu karena kandungan air lebih lama bertahan.

Para perempuan yang terlibat memiliki peran masing-masing. Setiap hari, dua petani piket giliran. “Pertama, mengisi nutrisi ke bak nutrisi. Selanjutnya, melilitkan batang melon ke tali agar berdiri tegak dan menghindari busuk batang. Selanjutnya ada pruning, pemangkasan pucuk air, jadi tunas-tunas air jangan dibiarkan berkembang agar fokus di pembuahan,” katanya.
Selain itu, mereka juga bertugas melakukan polinasi, pengawinan, dan menyeleksi calon buah. “Jadi, dalam satu greenhouse mereka punya sekitar 600 lubang tanam. Kalkulasinya, kalau satu lubang minimal satu kilo, berarti ada 600 kilo yang bisa didapatkan.”
Zaky tak pernah menyangka usaha budidaya melon hidroponik ini berbuah manis. Panen pertama bahkan melebihi ekspektasinya. Betapa tidak, berat satu buah bahkan ada yang mencapai tiga kilogram. Perlu waktu 75-85 hari untuk sampai ke tahap panen.
Terdampak konflik agraria
Diki Rafiqi, Direktur Lembaga bantuan Hukum (LBH) Padang mengatakan, konflik yang pecah pada 2024 itu meninggalkan persoalan di tingkat tapak. Insiden itu menimbulkan luka dan trauma yang panjang di kalangan warga. Ada kelompok yang mulai saling tidak percaya, ada pula yang mulai lelah dan enggan melanjutkan perjuangan.
Menghadapi persoalan itu, Diki berdiskusi dengan Uslaini dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional perihal apa yang bisa mereka lakukan untuk warga.
“Dari situ kami berpikir tanah yang sedikit ini setidaknya bisa menjamin ekonomi satu kelompok untuk kebutuhan bulanan mereka. Maka, dipilihlah model pertanian hidroponik melon,” katanya.
Pada akhirnya, dua greenhouse tak hanya sebagai tempat menyambung hidup. Lebih dari itu, juga menjadi tempat konsolidasi petani perempuan pejuang Kapa. Disana, mereka berkomitmen untuk merebut kembali tanah ulayat pada 2032 yang dicaplok perusahaan sawit. “Sembari menanam melon dan mengelola hidroponik kami terus melakukan konsolidasi.”

Perkuat ekonomi kerakyatan
Uslaini dari Walhi Nasional mengatakan, Kapa sudah melewati jalan panjang untuk mendapatkan hak pengelolaan tanah ulayat. Persoalannya, dukungan negara dengan beragam infrastrukturnya menjadikan posisi tawar warga lemah.
Warga perlu memperkuat ekonomi kerakyatan demi mengurangi ketergantungan terhadap ekonomi kapitalistik. Salah satunya, dengan tidak menanam sawit karena hanya akan memperpanjang nyawa perusahaan.
“Jadi, jangan menyuplai sesuatu kepada pihak yang sedang kita lawan. Untuk apa kita menanam sawit, padahal kita tahu buah sawit itu akan dikirim dan diproses di pabrik CPO (crude palm oil) yang ujungnya memperpanjang napas kekuasaan mereka atas tanah ulayat kita,” katanya.
Ekonomi kerakyatan, katanya, akan berhasil kalau petani berdaulat dalam menentukan harga. Hal itu berbeda dengan sawit yang penentuan harga sepenuhnya perusahaan tentukan.
“Kita juga tidak bisa simpan tandan buah segar (TDS). Kualitasnya turun dalam hitungan jam, harga juga langsung turun. Artinya, kita tidak punya kuasa. Kita tidak merdeka secara ekonomi. Gimana ekonomi kerakyatan bisa tumbuh, kalau kita tanam komoditas yang tak bisa kita kendalikan?”
Sebab itu, katanya, sangat penting melibatkan pihak perguruan tinggi di Sumbar untuk melakukan penelitian bersama guna mengetahui karakter lahan dan komoditas yang paling cocok.
Riset kecil-kecilan juga acapkali Walhi lakukan bersama kelompok dampingannya. Misal, dengan mengkalkulasi kebutuhan atau bahan-bahan dapur dan mengidentifikasi hasil kebun sendiri.
“Anggap saja ada 10 bahan. Coba identifikasi, lalu bayangkan kalau lima dari 10 bahan itu bisa kita hasilkan sendiri. Berapa uang yang bisa kita putar atau hemat. Tidak usah memikirkan skala besar dulu. Yang penting adalah kedaulatan di dapur: kita masak apa yang kita tanam dan kita tanam apa yang mau kita masak.”
*****
Para Petani Perempuan Bertarung Nasib di Tengah Krisis Iklim Pulau Buru