- Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji yang terjerat hukum karena berupaya mempertahankan hutan adat mereka dari kehancuran oleh tambang nikel perusahaan sudah memasuki beberapa kali persidangan.
- Salah satu tuduhan pada 11 warga ini hukum senjata tajam. Saksi Bahrun Sahopala, anggota Polres Halmahera Timur, mengatakan, senjata tajam itu tak ada yang digunakan untuk melukai pekerja atau polisi di lokasi. Kalau bahasa pengancaman tidak ada, cuma bahasa pemberhentian perusahaan. Riski Ramdani, dari Polda Maluku Utara katakan, masyarakat membawa senjata tajam itu hal biasa. Kalau untuk menyusuri hutan, pasti wajar membawa sajam.
- Pendamping hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) juga mengajukan eksepsi atau nota keberatan kepada hakim PN Soasio. Mereka menuntut hakim menghentikan proses hukum 11 masyarakat Maba Sangaji. Alasannya, kasus itu termasuk kategori strategic lawsuit against public participation atau SLAPP.
- Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji bermula dari penangkapan Polda Maluku Utara terhadap 27 warga saat upacara adat di hutan Maba Sangaji 19 Mei 2025. Polisi saat itu menuduh warga Maba Sangaji sebagai “preman” dan “menghalang-halangi aktivitas pertambangan.” Upacara ritual itu sebagai bentuk protes atas aktivitas pertambangan nikel Position, yang diduga membongkar hutan dan mencemari Kali Sangaji, sungai besar yang jadi sumber kehidupan masyarakat.
Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji yang terjerat hukum karena berupaya mempertahankan hutan adat mereka sudah memasuki beberapa kali persidangan.
Hari itu, Umar Manado geram tatkala melihat bendera adat Maba Sangaji tergeletak di lantai ruang sidang Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Di sela-sela membantah tuduhan dari saksi yang jaksa penuntut umum (JPU) hadirkan, Umar mengajukan keberatan, meminta bendera pindah ke tempat layak.
“Keberatan, bendera adat kong tampung-tampung begitu [tergeletak di lantai],” kata Umar, tokoh adat Maba Sangaji yang duduk di kursi terdakwa sambil menatap ke arah jaksa.
Saat itu juga, sidang mendadak hening sejenak, bendera kabasarang, simbol adat Masyarakat Maba Sangaji itu kemudian dipindahkan ke belakang meja jaksa dengan posisi berdiri. Bendera adat ini jadi salah satu barang bukti oleh jaksa penuntut umum.
Umar hadir bersama 10 orang lain saat pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Soasio, 13 Agustus lalu. Jaksa menghadirkan lima saksi: Bahrun Sahopala, anggota Polres Halmahera Timur, Riski Ramdani, anggota Polda Maluku Utara dan Heri Riadi dan Anshori, perwakilan PT Position. Lalu, Ibrahim Hi. Haruna, pemimpin adat Sangaji Maba.
Dalam dakwaan, Umar bersama sembilan warga kena tuduhan “membawa senjata tajam tanpa hak”–melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12/1951. Juga “merintangi atau mengganggu aktivitas pertambangan” Pasal 162 UU Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Empat dari 11 warga kena jerat pasal berlapis. Selain membawa sajam dan mengganggu aktivitas pertambangan juga tuduhan pemerasan melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP. Dalam sidang kedua ini, oleh kuasa hukum, perkara empat warga ini eksepsi atau nota pembelaan.
Suasana sidang tegang meski ruangan itu berpendingin. Semua warga yang hadiri sidang hari itu, termasuk 11 yang kena dakwa mengenakan pengikat kepala merah sebagai simbol perlawanan.
Di luar pengadilan, massa solidaritas membentangkan spanduk dan poster-poster dengan seruan “bebaskan 11 pejuang lingkungan Masyarakat Adat Maba Sangaji tanpa syarat.”

Fakta persidangan
Hari itu, tim penasehat hukum 11 masyarakat adat bergantian mencecar saksi Bahrun Sahupala dari Polres Halmahera Timur.
Dia bersama 14 anggota datang pada 16 Mei dengan seragam lengkap. Saat tiba, sudah ada puluhan anggota polisi dan tentara dengan senjata lengkap berjaga, termasuk satpam perusahaan.
Bahrun mengaku timnya datang tanpa senjata dan mendapati warga mendirikan tenda tepat di jalan masuk area tambang PT Position. Menurut warga, itu bukan wilayah tambang tetapi hutan adat.
Hingga hari ketiga, Minggu, 18 Mei, 27 masyarakat adat, termasuk 11 yang proses hukum saat ini bersiap menggelar ritual adat dan membacakan tuntutan, termasuk menancapkan bendera adat. Ritual ini sebagai protes kehadiran pertambangan di wilayah adat, tetapi Bahrun mendefinisikan ritual sebagai “aksi unjuk rasa” menghentikan aktivitas pertambangan.
Lukman Harun, pengacara masyarakat adat mempertanyakan definisi “aksi” kepada Bahrun, sebab menurutnya, “unjuk rasa” dan “ritual adat” memiliki arti berbeda.
“Definisi dari mana itu kalau aksi? Apakah saudara ahli bahasa sehingga menyimpulkan itu aksi? Apakah saudara punya keahlian untuk menilai?”
Suasana makin memanas. Bahrun mengajukan keberatan kepada Asma Fandun, Ketua Majelis Hakim PN Soasio yang memimpin sidang karena merasa tersudut.
Bahrun juga menjelaskan, masyarakat adat saat itu membawa senjata tajam, terutama parang, tetapi berada di sangkur—tidak dikeluarkan. Dia mengakui parang tidak dipakai mengancam langsung.
Sewaktu proses penancapan bendera, terjadilah adu mulut dan nyaris baku pukul. Meski menurut keterangan warga “adu mulut dan nyaris baku pukul” itu tidak pernah terjadi.
“Mereka membawa sajam saja, pukul dinding. Tapi mereka adu mulut itu tidak pakai sajam, cuman sajamnya tergantung disangkur,” kata Bahrun.
“Tidak ada [dari] mereka [yang] mengangkat sajam untuk menakut-nakuti, itu tidak ada.”
Parang dan tombak–yang jadi barang bukti, ada di tenda. Sedang pisau dan busur baru kena sita setelah penangkapan warga.
Senjata tajam itu tak ada yang digunakan untuk melukai pekerja atau polisi di lokasi. “Kalau bahasa pengancaman tidak ada, cuma bahasa pemberhentian perusahaan.”
Riski Ramdani, dari Polda Maluku Utara membenarkan, masyarakat membawa senjata tajam itu hal biasa. “Kalau untuk menyusuri hutan, pasti wajar membawa sajam,” jelas Riski.
Dia juga mengakui, saat akan proses ritual adat dan pembacaan tuntutan adat, mereka sudah bernegosiasi meminta warga meninggalkan sajam di tenda. Sebaliknya, polisi meninggalkan senjata di tempat aman.
Adu mulut itu, kata Riski, buntut dari warga yang akan ritual penancapan bendera adat yang dia dan polisi yakini bisa menghentikan aktivitas pertambangan.
“Saat itu, mereka mau bertemu dengan perwakilan perusahaan dan melakukan ritual adat, dan langsung kami amankan mereka. Karena sepengetahuan saya, apabila ritual adat itu sudah terjadi dan tiang bendera sudah terpasang, maka aktivitas perusahaan itu tidak akan berjalan,” kata Riski.
Heri Hariadi, dari Position juga mengakui tidak ada ancaman sajam saat warga membaca tuntutan dan ritual adat. Dia bahkan menerima langsung surat tuntutan adat, salah satunya terkait permintaan ganti rugi dalam denda adat Rp500 miliar.
“Saat membaca tuntutan, saya tidak takut karena sudah tidak ada sajam,” kata Heri. “Salah satunya menuntut Rp500 miliar, hanya itu yang saya ingat.”
Maharani Caroline, pengacara warga, mempertanyakan dasar penangkapan kalau memang alasan sajam tak kuat. Jika sajam bukan tolok ukur, sebagaimana sangkaan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat itu.
Menurut dia, bila penangkapan karena senjata tajam, mestinya Masyarakat Adat Maba Sangaji sudah kena tangkap sejak hari pertama dan kedua, bukan saat ritual adat. Sebab, ritual adat tanpa membawa senjata tajam.

Keterangan Ibrahim Hi. Haruna, pemimpin adat Sangaji Maba, juga menguatkan 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji.
Dalam struktur adat, jabatan Sangaji Maba setara gubernur. Dia kena tunjuk langsung kesultanan, menjadi pemimpin adat di setiap perangkat adat di beberapa pedesaan Halmahera Timur, termasuk Maba Sangaji.
Di Desa Maba Sangaji, ada bawahan Sangaji Maba bergelar Gimalaha sebagai ketua adat.
“Menurut Sangaji Maba itu adalah hal yang baik, harus saya ulangi, itu adalah hal yang baik. Karena apa? Karena di dalamnya mereka saudara-saudara kita ini, saudara-saudara saya ini awalnya menyampaikan informasi kepada saya selaku Sangaji untuk mereka datang di perusahaan Position,” jelas Ibrahim.
Soal senjata tajam, kata Ibrahim, wajar warga bawa karena mesti menyusuri hutan yang jauh hingga perlu alat perlindungan diri.
“Parang, tombak, dan lain sebagainya adalah alat untuk berlindung saat masuk hutan,” katanya.
Ibrahim juga menjawab tuntutan adat Rp500 miliar terhadap Position. Menurut dia, tuntutan adat itu masih berlaku di wilayah adat Sangaji Maba.
“Ini berbicara denda ini kami sesuaikan dengan leluhur. Para leluhur kami sejak dulu itu ada dendanya, denda itikad seperti torang berbuat salah terhadap orang lain bisa didenda.”
Mongabay mendapatkan salinan surat keberatan dan denda adat. Surat-surat itu, kata Salasa Muhammad, tokoh adat yang jadi terdakwa, melalui kesepakatan dan rembuk bersama tokoh-tokoh adat dan Masyarakat Maba Sangaji sebelum mereka masuk hutan untuk ritual adat.
“Torang tara bikin denda sebesar itu kalu tara melalui rembug adat,” kata Salasa.
Denda itu, tambah Salasa, dari keseluruhan kerusakan oleh perusahaan terhadap ruang hidup warga Maba Sangaji, mulai dari hutan adat, sungai, hutan pala, gaharu, obat-obatan tradisional. Juga seluruh ekosistem dan ruang hidup yang terdampak atau rusak oleh perusahaan.
Denda itu juga menghitung kerugian ekologis dan masa depan anak-anak setelah semua dibongkar tambang nikel. “Jadi denda bukan soal ganti rugi, tapi tong [kami] selamatkan masa depan anak cucu kedepan to.”

Pejuang lingkungan tidak bisa kena pidana
Pendamping hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) juga mengajukan eksepsi atau nota keberatan kepada hakim PN Soasio. Mereka menuntut hakim menghentikan proses hukum 11 masyarakat Maba Sangaji. Alasannya, kasus itu termasuk kategori strategic lawsuit against public participation atau SLAPP.
Dalam ekspesi, tim hukum keberatan atas dakwaan JPU. Menurut tim hukum, surat dakwaan jaksa “tidak cermat, jelas, dan lengkap.”
Tim hukum berpandangan, kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji bentuk kriminalisasi mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang sehat dan bersih.
Wetub Toatubun, kuasa hukum warga mengatakan, anti-SLAPP mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan.
Pedoman ini tak lain berdasarkan dalam Pasal 66 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .
“Alasan kami memberikan eksepsi atau nota keberatan kepada PN Soasio karena kami berpandangan warga Maba Sangaji aktif membela dan memperjuangkan lingkungan mereka dari kerusakan yang diduga dilakukan oleh PT Position,” kata Wetub.
Eksepsi itu mereka ajukan untuk Sahil Abubakar, Indrasani Ilham, Alauddin Salamuddin, dan Nahwari Salamuddin, yang terjerat pasal berlapis. Selain kena tuduhan “membawa senjata tajam dan merintangi aktivitas pertambangan” juga melakukan pemerasan.
“Kami meyakini, apa yang sedang dilakukan 11 warga adalah bentuk nyata aksi perlindungan terhadap lingkungan dan 11 orang itu masuk dalam kategori pejuang lingkungan,” katanya dalam keterangan tertulis.
Seharusnya, Pengadilan Negeri Soasio, memutuskan untuk menghentikan kasus ini.

Kena tangkap gara-gara ritual adat
Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji bermula dari penangkapan Polda Maluku Utara terhadap 27 warga saat upacara adat di hutan Maba Sangaji 19 Mei 2025.
Polisi saat itu menuduh warga Maba Sangaji sebagai “preman” dan “menghalang-halangi aktivitas pertambangan.”
Upacara ritual itu sebagai bentuk protes atas aktivitas pertambangan nikel Position, yang diduga membongkar hutan dan mencemari Kali Sangaji, sungai besar yang jadi sumber kehidupan masyarakat.
Menurut Umar Manado Kapita Darat Maba Sangaji juga terdakwa, masyarakat baru tahu ada pertambangan di hutan adat mereka akhir 2024. Itu pun setelah Sungai Sangaji tercemar, rusak oleh aktivitas pertambangan di hulu.
Di lokasi pembongkaran nikel, juga hutan pala, gaharu, damar, hingga obat-obatan tradisional yang biasa warga manfaatkan.
Izin Position baru terbit pada 2017 dan berlaku hingga akhir 2037.
Dalam penelusuran Sajogyo Institute, Position merupakan anak usaha PT Tanito Harum Nickel, di bawah PT Harum Energy. Harum Energy dikendalikan konglomerat Kiki Barki, menguasai 51% saham Position. Sekitar 49% saham oleh Nickel International Capital Pte Ltd. Sajogjo temukan bahwa perusahaan yang tercatat di Singapura itu juga dalam kendali Harum Energi, dengan begitu semua saham milik keluarga Barki.
“Hakim harus melihat kasus ini secara struktural, sebab, yang dilakukan Masyarakat Adat Maba Sangaji adalah bagian dari upaya memperjuangkan hutan, pala, damar, sagu, dan sumber kehidupan yang di kampung yang terancam tambang nikel,” kata Wetub.
*****
Busyro Muqoddas: 11 Warga Maba Sangaji jadi Tersangka Itu Tragedi Ketidakadilan