- Hasil penelitian tentang pertanian sawah di Merauke, Papua Selatan menunjukkan, pertanian sawah di wilayah ini lebih cocok oleh petani kecil daripada perusahaan. Target pembukaan lahan begitu luas pun tak realistis.
- Maria Widiastuti, peneliti dan dosen Agribisnis pada Fakultas Pertanian Universitas Musamus Merauke mengatakan, keuntungan perusahaan dari mengelola sawah di Merauke sangat kecil. Akibatnya, perusahaan mengurangi lahan garapannya dan merambah usaha-usaha non pangan.
- Marthin Hardiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia mengatakan, pendekatan swasembada pangan lewat food estate kekeliruan pemerintah sejak awal. Karena mengulang lagi kegagalan model pangan luas seperti revolusi hijau era Presiden Soeharto. Revolusi hijau, memang sempat meningkatkan produksi pangan secara statistik, tetapi tidak mampu bertahan lama. Kegagalan utama, terletak pada model pembangunan yang tidak mendorong kemandirian dan kedaulatan pangan.
- Selama ini, kebijakan pangan nasional terlalu terpusat, seragam dan bertumpu pada pendekatan bisnis. Padahal, keragaman hayati Indonesia justru menuntut pendekatan berbeda-beda di tiap wilayah. Papua tidak butuh food estate. Papua perlu pengakuan atas sistem pangan yang sudah leluhur mereka wariskan.
Hasil penelitian tentang pertanian sawah di Merauke, Papua Selatan, menunjukkan, pertanian sawah di wilayah ini lebih cocok oleh petani kecil daripada perusahaan seperti dengan food estate. Target pembukaan lahan begitu luas pun tak realistis.
Maria Widiastuti, peneliti dan dosen Agribisnis pada Fakultas Pertanian Universitas Musamus Merauke mengatakan, keuntungan perusahaan dari mengelola sawah di Merauke sangat kecil.
“Akibatnya, perusahaan mengurangi lahan garapannya dan merambah usaha-usaha non pangan,” katanya
Sepanjang 2023-2024, dia penelitian pada anak perusahaan, PT Medco di Distrik Kurik, Kabupaten Merauke. Medco memperoleh 310.628 hektar konsesi saat proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2011. Kala itu, lokasi itu perkebunan kayu, tanaman pangan dan pembangkit listrik tenaga biomassa.
Pada 2015 , Medco membuka lahan sekitar 1.000 hektar untuk padi. Periode awal, perusahaan mengelola sendiri sawah 400 hektar dan 300 hektar oleh petani mitra.
Kini, luas lahan pangan Medco menurun drastis. Saat penelitian berlangsung, perusahaan hanya mengelola delapan hektar dan petani mitra 80 hektar.
Keuntungan dari budidaya padi relatif minim, maka perusahaan fokus pada pengembangkan usaha hutan tanaman industri (HTI) dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM).
“Dua unit bisnislah yang menjadi fokus mereka untuk menghasilkan profit. Sementara bisnis tanaman pangan lebih banyak diserahkan kepada petani mitra.”

Biaya produksi tinggi
Minimnya keuntungan dari budidaya padi pada perusahaan karena biaya produksi relatif besar. Komponen terbesar dari biaya produksi padi adalah penggunaan input, perusahaan wajib pakai input non-subsidi seperti benih, pupuk, pestisida dan bahan bakar.
“Untuk pupuk urea misalkan, harga pupuk bersubsidi untuk petani rata-rata Rp2.300 per kilogram, pupuk urea non subsidi yang digunakan perusahaan bisa Rp14.000 per kilogram.”
Perusahaan juga harus mengeluarkan biaya tenaga kerja, dan operasional alat mesin pertanian, kalau petani kecil lebih mengefektifkan tenaga kerja dari dalam keluarga dan sewa alsintan.
Hasil panen dari perusahaan jual melalui rantai pasok beras di Merauke. Yaitu, penggilingan-Bulog atau penggilingan-pedagang besar-pedagang kecil, dengan harga pasar di Merauke Rp11.000 per kilogram saat penelitian berlangsung.
“Dengan biaya input industri tinggi, tapi harga jual beras sesuai dengan harga pasar Merauke, akhirnya perusahaan hanya mencapai margin tipis, ditambah produktivitas rendah. Maka perusahaan jadi sulit bersaing.”
Penelitian ini secara rinci menyebutkan, keuntungan perusahaan Rp403.982 per hektar pada musim hujan dan Rp564.298 per hektar musim kemarau. Petani skala kecil memperoleh laba sembilan kali lipat lebih banyak daripada perusahaan.
Pertanian sawah di Merauke berbasis korporasi, katanya, perlu dukungan penelitian dan pengembangan terus menerus. Perusahaan juga perlu dukungan pemerintah terutama dengan ada isu kekurangan tenaga kerja sebagaimana di PT Medco.
Perusahaan itu , katanya, punya isu kekurangan tenaga kerja. Dari awal mereka buka lahan, dari 1.000 hektar baru berhasil ditanami 700 hektar.
“Kemudian dikelola oleh mereka awalnya hampir setengahnya. Kemudian tahun kedua, ketiga dan selanjutnya, mereka sudah mulai mengurangi luas garapan. Karena tidak feasible secara ekonomi. Akhirnya diserahkan ke petani mitra.”

Jumlah petani yang menjadi mitra perusahaan juga berkurang Sebagian besar karena gagal panen, modal yang terbatas dan minimnya dukungan pendampingan dari perusahaan. Petani mitra dianggap petani mandiri dan tidak terjadi transfer teknologi antara perusahaan dan petani.
Pemeliharaan alat dan mesin pertanian memperbesar biaya produksi. Menurut penelitian, usia pemakaian umumnya hanya bertahan tiga tahun karena tingginya kadar metan yang menyebabkan mesin pertanian cepat mengalami korosi.
Perusahaan tidak dilengkapi tenaga teknisi akan kesulitan memperbaiki alsintan hingga banyak yang tidak bisa digunakan.
“Padahal awalnya mereka difasilitasi dengan mesin pertanian dan full mekanisasi. Karena tenaga kerja kurang, mereka harapkan dari mesin-mesin pertanian. Tapi nyatanya praktik mekanisasi tidak semudah yang dipikirkan.”
Ketersediaan air juga menjadi kendala. Meski pemerintah selalu mengatakan Merauke menjadi lokasi pengembangan pangan (food estate) karena ketersediaan air melimpah, kata Maria, masalah ketersediaan air masih menjadi kendala terutama pada musim kemarau.
Rata-rata petani di Merauke melakukan dua kali musim tanam karena masalah air. Pada musim kemarau, sumber-sumber air kering dan pada wilayah tertentu juga terjadi intrusi air laut.
Medco memiliki PLTBM sebagai teknologi murah untuk menarik air dari kali dan rawa dengan hingga dapat mengurangi biaya operasional perusahaan dan bisa tiga kali musim tanam dalam setahun.
“Tapi perusahaan sendiri belum pernah mencoba menghitung ketika 1.000 hektar itu dikelola dengan tiga kali musim tanam. Walaupun tersedia listrik untuk menarik air, tetapkan sumber airnya dari sungai, air rawa, air kali begitu kan. Kemungkinan tidak akan cukup karena pada saat kondisi kemarau sungai juga kering atau payau karena intrusi air laut.”

Belajar dari kegagalan masa lalu
Pada 16 Mei lalu, mulai panen raya padi di lokasi food estate sawah proyek strategis nasional di Kampung Wanam, Distrik Ilwayab.
Dari video Kementerian Pertanian, panen perdana di atas lahan percontohan (demplot) sekitar empat hektar. Tiap hektar menghasilkan sekitar 2,8 ton gabah.
“Ini menunjukkan ke dunia nasional maupun internasional, bahwa Wanam tanahnya subur sekali dan layak untuk lahan pertanian,” ucap Kepala Satuan Tugas Pertahanan Pangan (Satgas Han Pangan), Mayor Jenderal TNI Ahmad Rizal Ramdhan, yang kini menjabat Kepala Bulog, dalam video itu.
Namun, menurut Maria, produktivitas tinggi bukan satu-satunya indikator pengelolaan usaha tani berhasil. Dalam teori usaha tani, keuntungan dari selisih biaya keluar dan pendapatan akhir.
“Jadi biaya dikurangi pendapatan yang kita peroleh dari hasil produksi tadi. Kita harus lihat berapa biaya input karena pupuk, benih dan pestisida harus didatangkan dari Kota Merauke.”
Belum lagi, katanya, hasil panen padi jual kemana, dan perlu hitung biaya transportasi. “Kalau biaya lebih besar maka tetap usaha tani akan rugi dan tidak memberikan kesejahteraan untuk petani.”
Pada 2015, Medco juga sempat panen raya dengan produktivitas tujuh ton per hektar. Presiden Joko Widodo hadir saat itu.
Namun, akhirnya, perusahaan itu mengurangi luas lahan garapan karena tidak layak secara ekonomi.
“Maka kita harus belajar juga dari korporasi yang terlibat pada food estate Jilid I dia menggenjot produksi dengan biaya sangat tinggi, namun tidak berkelanjutan hingga kini.”
Untuk itu, katanya, yang perlu bukan sekedar simbolis, tetapi bisa terimplementasi sampai mencapai tujuan food estate.
Pembukaan hutan dan lahan untuk cetak sawah di Wanam melibatkan dua perusahaan yaitu Jhonlin Group dan PT Agro Industri Nasional (Agrinas).
Data Greenpeace Indonesia menunjukkan, hingga akhir Juni 2025, hutan di wilayah Ilwayab yang sudah terbuka mencapai 5.291 hektar. Selain membongkar hutan untuk mencetak sawah, perusahaan juga membangun pelabuhan dan jalan sepanjang 140 km.

Ulang luka lama
Tak jauh beda dengan Marthin Hardiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia. Dia biilang, pendekatan swasembada pangan lewat food estate kekeliruan pemerintah sejak awal.
“Ini mengulang lagi kegagalan model pangan secara luas. Kita kembali ke era Soeharto, ke konsep revolusi hijau,” katanya kepada Mongabay.
Revolusi hijau, memang sempat meningkatkan produksi pangan secara statistik, tetapi tidak mampu bertahan lama. Kegagalan utama, terletak pada model pembangunan yang tidak mendorong kemandirian dan kedaulatan pangan.
“Kemandirian seharusnya bertumpu pada petani, bukan pada korporasi skala besar dengan modal besar,” katanya.
Mayoritas petani di Indonesia hanya menguasai lahan di bawah setengah hektar, namun lahan sempit bukanlah hambatan dalam menciptakan kedaulatan pangan kalau terkelola dengan pendekatan agroekologi.
“Pertanian secara turun-temurun, tidak menggunakan kimia, selaras dengan alam dan tidak bergantung pada korporasi atau bisnis besar, itu justru berhasil.”
Marthin merujuk pada riset global 2024 di Journal of Environmental Management, meskipun petani kecil (smallholders) hanya menguasai sekitar 30% lahan pertanian global, namun mereka memainkan peran kunci karena mampu menyediakan hingga 70% pangan dunia.
Berbeda dengan pendekatan agroekologi, skema food estate berorientasi pada intensifikasi produksi dan komodifikasi pangan. “Kalau pendekatannya adalah bisnis, komoditas untuk ekspor, untuk dijual, maka tidak akan cukup memenuhi kebutuhan manusia.”
Food estate justru sering membuka jalan bagi kerusakan lingkungan, seperti pembakaran hutan dan pengalihfungsian lahan secara masif.
“Food estate itu kesalahan yang diulang-ulang oleh pemerintah. Di era 1990-an kita punya proyek lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah. Sampai hari ini, dampaknya masih dirasakan masyarakat, kebakaran hutan, kerusakan lingkungan.”
Kaji ulang, target food estate tak realistis
Pemerintah berencana membuka lahan food estate sawah seluas 1,18 juta hektar di Merauke. Dalam Rancangan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) Kementerian Pertanian, lahan akan buka bertahap. Ada 3.500 hektar pada 2025, lalu luasan sama tahun berikutnya.
“Itu kan target sangat bombastis, yang sangat tinggi untuk dicapai. Sangat sulit,” ujar Maria.
Hasil penelitian menunjukkan, peningkatan luas tanam dari 2016- 2022, hanya 5%, sedang pembukaan lahan sudah ratusan ribu hektar.
“Artinya lahan yang dibuka, tidak langsung dimanfaatkan untuk ditanami.”
Pada 2022, katanya, dari luas 109.833,25 hektar baru 46% memiliki saluran irigasi. Sebagian besar lahan cetak sawah yang belum memiliki jaringan irigasi hingga terbuka begitu saja tanpa jadi sawah.
Dengan banyak masalah yang teridentifikasi, katanya, pemerintah seharusnya belajar dari proyek sebelumnya dengan tak membuka lahan masif.
Selain itu, pemerintah harus sosialisasi dengan masyarakat adat. “Jadi itu berjalan smooth. Halus tanpa menimbulkan konflik sosial baik vertikal maupun horizontal.”
Pertanian padi pada lahan baru, katanya, membutuhkan proses panjang hingga mencapai produksi yang diinginkan hingga pemerintah tidak perlu terburu-buru membuka lahan dalam skala yang sangat luas.
Pemerintah pusat juga harus belajar dari implementasi Rencana Sentra Pangan Merauke 2022. Pemerintah Merauke menetapkan rencana luas tanam 2023 sebesar 65.000 hektar, sedangkan realisasi hanya 49.574 hektar.
Dari pengalaman itu, seharusnya pemerintah pusat bisa berkaca, banyak dinamika terjadi di daerah dan tak mudah mencapai target luas tanam.
“Dari situ saja pusat harusnya belajar bahwa pencapaian daerah saja sulit dicapai, jadi Ketika menetapkan target bisa lebih realistis.”
Maria juga menyatakan pelibatan orang Papua khsusus Orang Marind sebagai pemilik ulayat dalam pertanian sawah tidak bisa dipaksakan. Meski pemerintah dan perusahaan juga menyatakan akan melibatkan masyarakat pemilik ulayat, nyatanya dari pengalaman Medco di Kurik, tidak ada petani mitra yang merupakan orang Papua.
Hasil penelitian menunjukkan, banyak Orang Papua justru menyewakan lahan kepada petani transmigran.
“Jadi, agak absurd ketika pemerintah mengatakan nanti akan melibatkan petani OAP (Orang Asli Papua) dalam PSN ini.”
Alasannya, pertama, ada lompatan budaya harus Orang Papua hadapi, dari meramu harus budidaya. “Belum lagi tanaman padi, masyarakat lokal tidak familiar”
Meski ada cerita tentang petani Papua yang berhasil mengelola sawah, namun hanya sedikit yang mampu beradaptasi. Pertanian pun bersifat subsisten terbatas pada pemenuhan kebutuhan sendiri dan tidak berorientasi keuntungan.
Sebaliknya, masyarakat Papua harus tetap dapat idorongan mengembangkan pertanian pangan sesuai dengan akar budayanya.
“Itu yang justru kita harus lestarikan. Keterikatan mereka dengan hutan, keterikatan dengan sagu sebagai makanan pokok itu yang harus dijaga”
Dalam kesimpulan penelitiannya, kata Maria, pemerintah perlu mengkaji ulang perencanaan food estate dari hulu hingga hilir, baik teknis, sosial, budaya dan lingkungan juga aktor yang terlibat dalam pengembangan sawah di Merauke.
Rekomendasi kepada pemerintah antara lain, perlu kebijakan yang berbeda kalau ingin melibatkan korporasi dalam mencapai target pemenuhan produksi padi. Misal, dengan spesialisasi produk ataupun segmentasi pasar. Hal yang terpenting saat ini meminimalisir pembukaan hutan khusus hutan sumber air dan mengamankan pangan masyarakat lokal.
Sebaiknya, pemerintah saat ini fokus pada intensifikasi lahan pertanian yang sudah ada dan melengkapi infrastruktur yang masyarakat perlukan.
Pemerintah juga perlu mendorong peningkatan produktivitas petani kecil dengan penyediaan teknologi pertanian, input, pinjaman, dan perlindungan asuransi di saat gagal panen.

Ancaman kehancuran sistem pangan lokal Papua
Ketika hutan Papua hilang, ekosistem rusak, air tercemar dan keanekaragaman hayati hilang. Bagi masyarakat adat, kehilangan hutan bukan hanya kehilangan sumber makanan, juga kehilangan ruang hidup dan spiritualitas.
“Kita sedang menuju bencana paling besar, kehancuran sistem pangan lokal yang berujung pada kelaparan sistemik. Kalau tidak lapar langsung, masyarakat bisa mengalami kelaparan terselubung karena makan makanan yang miskin nutrisi,” kata Marthin.
Selama ini, katanya, kebijakan pangan nasional terlalu terpusat, seragam dan bertumpu pada pendekatan bisnis. Padahal, katanya, keragaman hayati Indonesia justru menuntut pendekatan berbeda-beda di tiap wilayah.
“Papua tidak butuh food estate. Papua butuh pengakuan atas dirinya sendiri, atas sistem pangan yang sudah diwariskan leluhur mereka,” katanya.
Proyek minim konsultasi
Food estate jadi PSN, namun Marthin menilai proses minim partisipasi publik. “Ini proyek yang seperti turun dari langit. Tidak ada studi dampak manusia, tidak ada Amdal yang jelas, tidak ada konsultasi dengan masyarakat,” katanya.
Menurut dia, krisis pangan yang jadi dalih pembangunan food estate bukan semata karena kekurangan pasokan, melainkan akibat komodifikasi pangan dan kerakusan pasar.
“Tanah ada, sumber daya ada. Tapi karena ingin diubah jadi bisnis pangan, akhirnya tidak cukup. Ini bukan soal produktivitas, tapi distribusi dan keserakahan.”
Marthin bilang, daripada menggelontorkan dana besar untuk proyek yang merusak lingkungan dan menyingkirkan masyarakat, baiknya pemerintah fokus pada reforma agraria.
Kalau Indonesia serius ingin mencapai swasembada pangan, maka harus ubah arah kebijakan.
“Yang perlu jadi proyek strategis nasional itu justru pertanian keluarga, bukan food estate,” katanya. Dia merujuk penerapan pertanian keluarga di Brazil.
Data Sensus Pertanian 2023 menunjukkan gejala mengkhawatirkan. Jumlah petani di Indonesia menurun dalam 10 tahun terakhir. Sisi lain, terjadi peningkatan petani tanpa kepemilikan lahan atau dengan status sewa, fenomena yang disebut “buremisasi”.
“Ini tanda negara gagal melindungi produsen pangan. Mereka dibiarkan tersingkir dari sistem produksi. Kalau petani kecil semakin tidak punya lahan, bagaimana kita mau bicara kedaulatan pangan?” tanya Marthin.
*****