- Jelang Hari Masyarakat Adat Internasional (HIMAS) 2025 ini Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) lakukan konsolidasi dan menggalang solidaritas para pemimpin perempuan adat untuk memperkuat perjuangan antara lain dalam menjaga kedaulatan pangan di tengah ancaman berbagai proyek.
- Aleta Kornelia Baun, tokoh Perempuan Adat Mollo, menyebut, perempuan adat memiliki pengetahuan lokal yang mendalam tentang tanah, hutan, benih, dan praktik pertanian berkelanjutan, yang selama ini menjadi fondasi kedaulatan pangan. Namun, peran mereka kerap terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan.
- Rosina dari Masyarakat Adat Aru, mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi masyarakat adat di Kepulauan Aru, Maluku. Mereka terus menghadapi ancaman pengambilalihan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama untuk perkebunan dan industri ekstraktif.
- Ijah Khodijah dari Kasepuhan Perempuan Adat Guradog, mengatakan, menjadi pemimpin perempuan di komunitasnya bukan perkara mudah. Perempuan adat dari Kasepuhan Guradog ini harus menghadapi stigma dan anggapan urusan adat merupakan ranah laki-laki.
Jelang Hari Masyarakat Adat Internasional (HIMAS) 2025 ini Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) lakukan konsolidasi dan menggalang solidaritas para pemimpin perempuan adat untuk memperkuat perjuangan antara lain dalam menjaga kedaulatan pangan di tengah ancaman berbagai proyek.
HIMAS tahun ini berlangsung di Kasepuhan Guradog, Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak, Banten, 7-9 Agustus 2025 dengan tema “Memperkuat Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri: Jalan Menuju Kedaulatan Pangan.”
“Kami tidak ingin hanya dipertimbangkan, tapi kami ikut menentukan. Kepemimpinan perempuan bukanlah sebuah pemberian melainkan hasil perjuangan. Kita semua (Perempuan Masyarakat Adat) harus jadi sekutu,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, dalam Panel Konsolidasi Perempuan Pemimpin Masyarakat Adat, 7 Agustus.
Dia berharap, muncul pemimpin perempuan adat yang berani dan bisa mengadvokasi diri dan masyarakat adat saat konflik terjadi. “Sehingga muncul narasi kuat tentang perlawanan perempuan masyarakat ada, bahwa kita juga bisa bertindak atas tanah kita.”

Aleta Kornelia Baun, tokoh Perempuan Adat Mollo, Rosina dari Masyarakat Adat Aru, dan Ijah Khodijah dari Kasepuhan Perempuan Adat Guradog hadir mengisi panel. Para pemimpin perempuan adat itu membahas peran penting perempuan pemimpin dalam menjaga dan memperkuat hak-hak masyarakat adat. Terutama, saat menghadapi tantangan perampasan tanah yang terus mengancam kedaulatan pangan mereka.
Diskusi juga menyoroti urgensi meningkatkan kesadaran akan kontribusi perempuan dalam mempertahankan keberlanjutan budaya dan lingkungan hidup bagi generasi mendatang. Juga, mengulas identitas perempuan adat bukan sekadar melekat secara budaya, tetapi jadi kekuatan politik dan sosial dalam memperjuangkan kelangsungan hidup komunitas ada.
Mama Aleta, panggilan akrab Aleta Baun, menyebut, perempuan adat memiliki pengetahuan lokal yang mendalam tentang tanah, hutan, benih, dan praktik pertanian berkelanjutan, yang selama ini menjadi fondasi kedaulatan pangan. Namun, peran mereka kerap terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan.
Karena itu, konsolidasi ini menjadi ruang penting untuk saling belajar, membangun keberanian, serta memperkuat jejaring antar perempuan adat lintas wilayah demi memastikan suara mereka terdengar dan diakui.
“Baju kami bisa jual, pisang dan tenun bisa kami jual. Tapi, air, tanah, batu, hutan kami tidak bisa jual karena itu tidak bisa kami lakukan. Tanah adalah sumber kehidupan dan identitas kami sebagai masyarakat adat,” katanya.
Mama Oca, panggilan karib Rosina, mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi masyarakat adat di Kepulauan Aru, Maluku. Mereka terus menghadapi ancaman pengambilalihan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama untuk perkebunan dan industri ekstraktif.
Dia bilang, perempuan Aru berada di barisan depan dalam menolak rencana pembukaan lahan tebu skala besar. Proyek itu, berpeluang menghancurkan hutan adat dan mengancam ruang hidup komunitas.
“Kami tahu, kalau hutan hilang, maka hilang juga kehidupan. Kami hidup dari laut, dari hutan, dari tanah ini.”

Baginya, memperjuangkan tanah adat bukan hanya soal mempertahankan hak, juga menjaga warisan leluhur yang menjadi jantung kehidupan masyarakat adat. Pengetahuan dan pengalaman perempuan adat, menurutnya, tidak bisa terpisah dari upaya menjaga keberlanjutan alam.
HIMAS, katanya, jadi ajang konsolidasi yang memberi ruang strategis perempuan adat untuk saling menguatkan dan menyatukan suara menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan struktural yang masih berlangsung.
Sisi lain, Ijah Khodijah, dalam panel diskusi, mengatakan, menjadi pemimpin perempuan di komunitasnya bukan perkara mudah. Perempuan adat dari Kasepuhan Guradog ini harus menghadapi stigma dan anggapan urusan adat merupakan ranah laki-laki.
Pengalaman hidup di kampung dan kedekatan dengan alam meyakinkan dia kalau perempuan adat punya peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan sosial.
“Kami perempuan tahu kapan waktu tanam, kapan panen, tahu jenis-jenis tanaman obat, tahu bagaimana menjaga sumber air di hutan. Tapi seringkali kami tidak dilibatkan dalam musyawarah adat.”
Karena itu, HIMAS 2025 dia harap bisa membuka lebih banyak ruang organisasi dan membangun kekuatan politik kolektif bagi perempuan adat. Tidak lupa, menyusun strategi regenerasi agar perjuangan tidak berhenti di generasi saat ini.
“Kita harus terus bergerak. Kalau bukan kita yang bicara dan bertindak, siapa lagi yang akan jaga tanah ini?”

Kedaulatan pangan
HIMAS 2025 memiliki tema ‘Memperkuat Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri: Jalan Menuju Kedaulatan Pangan’. Menurut Rukka, perampasan tanah yang masyarakat adat alami mengancam kedaulatan pangan mereka.
Itu sebabnya perempuan adat harus bersuara dan melawan upaya perampasan tanah. Menurutnya, masih banyak masyarakat adat di berbagai daerah yang berjuang mempertahankan wilayah adat mereka.
Masyarakat adat, terancam kebijakan dan investasi ugal-ugalan pemerintah yang mengabaikan eksistensi mereka. Masih mengambangnya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat selama 14 tahun di DPR dan Pemerintah jadi bukti nyatanya.
“Masyarakat adat harus melawan perampasan tanah.”
Abah Rahman, Ketua Adat Kasepuhan Guradog, meminta, Pemerintah Banten memerhatikan hak masyarakat adat. Apalagi, mereka alami dua kali kebakaran karena cuaca panas.
“Tapi alam wilayah adat Kasepuhan Guradog masih terjaga dengan baik, meski banyak rumah adat di sini dibangun permanen karena kebakaran. Semoga sumber daya alam Banten terus melimpah.”

*****