- Pantala flavescens, atau capung pengelana, adalah serangga dengan migrasi terjauh di dunia, menempuh hingga 6.400 km per segmen dan total siklus multigenerasi mencapai 14.000–18.000 km, lebih jauh dari Sabang–Merauke.
- Riset isotop dan model energi menunjukkan mereka memanfaatkan angin muson untuk terbang non-stop ±1.000–2.000 km di atas Samudra Hindia selama 230–286 jam, dengan bentuk sayap yang diadaptasi khusus untuk penerbangan jarak jauh.
- Migrasi ini menghubungkan ekosistem Asia dan Afrika, namun rentan terhadap perubahan iklim, polusi, dan degradasi habitat yang dapat mengganggu siklus hidup dan navigasi alami mereka.
Bagi banyak orang, capung hanyalah serangga cantik yang beterbangan di sekitar sawah atau kolam saat musim hujan. Namun di balik sayap transparan dan tubuh rampingnya, tersembunyi kisah perjalanan yang menakjubkan. Capung pengelana (Pantala flavescens) — yang di beberapa daerah di Jawa juga dikenal sebagai capung ciwet, memegang rekor sebagai serangga dengan migrasi terjauh di dunia.

Mereka menempuh lintasan total lebih dari 6.400 kilometer dalam satu segmen migrasi lintas benua, dan jika dihitung seluruh siklus multigenerasinya, jaraknya bisa mencapai 14.000–18.000 km . Untuk memberi gambaran, jarak 6.400 km ini lebih jauh daripada rute Sabang–Merauke yang “hanya” sekitar 5.200 km, dan sedikit lebih panjang daripada penerbangan langsung Jakarta–Tokyo yang sekitar 5.800 km. Bedanya, capung melakukannya tanpa mesin, dan sebagian perjalanannya melewati lautan lepas.
Baca juga: Capung, Lahan Basah, dan Helikopter
Mengikuti Jalan Tol Angin di Atas Samudra
Penting untuk dicatat, jarak penuh ini ditempuh secara bertahap oleh beberapa generasi capung. Namun, ada segmen perjalanan yang benar-benar ekstrem: saat menyeberangi Samudra Hindia, mereka melayang di udara sejauh ±1.000 hingga 2.000 kilometer tanpa daratan sama sekali — berarti terbang non-stop selama beberapa hari, mengikuti arus angin muson yang menjadi “mesin gratis” mereka.

Studi isotop hidrogen (δ²H) pada sayap Pantala flavescens yang ditemukan di Maladewa menunjukkan asal-usul mereka dari India utara, menyeberang ke Afrika Timur, lalu kembali ke Asia Selatan dalam sirkuit migrasi raksasa. Model penerbangan yang dikembangkan memperkirakan bahwa capung ini mampu bertahan di udara hingga 230–286 jam (hampir dua belas hari) jika memanfaatkan kombinasi melayang (gliding) dan mengepak sayap dengan dukungan angin Somali Jet.
Tanpa angin ini, penerbangan lintas samudra akan mustahil dilakukan. Temuan ini membuktikan bahwa migrasi antar benua ini bukan sekadar peristiwa acak, melainkan strategi biologis yang terintegrasi dengan pola iklim global.
Ekosistem yang Terhubung dari Sawah Asia hingga Padang Rumput Afrika
Migrasi Pantala flavescens membuktikan keterhubungan ekosistem lintas benua. Siklus hidup mereka erat kaitannya dengan hujan muson yang menghidupkan sawah di Asia Selatan, padang rumput di Afrika Timur, dan kolam musiman di pulau-pulau tengah samudra. Setiap kali mereka tiba di wilayah baru, biasanya di sana sedang berlangsung musim hujan, waktu ideal bagi larva capung untuk berkembang karena melimpahnya air dan serangga kecil sebagai makanan.
Di Indonesia, capung ini sering muncul menjelang musim hujan. Bagi petani di beberapa daerah, kemunculannya menjadi tanda alami bahwa hujan akan segera turun. Perubahan kelembapan, arah angin, dan ketersediaan habitat basah memicu kedatangan capung migran yang mencari lokasi ideal untuk bertelur.
Penelitian morfologi pada tahun menemukan bahwa capung migran yang berhasil mencapai Maladewa (Maldives) cenderung memiliki pangkal sayap lebih lebar dan bentuk sayap yang lebih ramping dibandingkan populasi di India Selatan — desain aerodinamis yang meningkatkan efisiensi penerbangan jarak jauh. Temuan ini menunjukkan bahwa bentuk sayap, bukan sekadar ukuran, berperan penting dalam keberhasilan migrasi lintas benua.
Tantangan di Era Perubahan Iklim
Meski dikenal sebagai salah satu serangga paling tangguh di dunia, Pantala flavescens tidak kebal terhadap ancaman. Polusi udara, pestisida pertanian, dan degradasi habitat basah dapat mengurangi populasi lokal. Perubahan pola angin akibat pemanasan global juga berpotensi mengacaukan navigasi alami mereka. Gangguan kecil pada satu bagian rute dapat berdampak besar pada generasi berikutnya.
Bahkan, jika pola hujan global berubah drastis, wilayah yang dulunya menjadi “pit stop” atau tempat berkembang biak bisa hilang. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa konservasi serangga tidak bisa hanya dilakukan di satu negara atau satu lokasi — harus ada kerja sama lintas wilayah, bahkan lintas benua.

Baca juga: Melihat Perubahan Iklim Lewat Capung
Kisah migrasi Pantala flavescens memberi pelajaran bahwa ukuran tidak selalu menentukan kemampuan. Dengan sayap selebar hanya sekitar 7 sentimeter, mereka mampu melintasi samudra, mengikuti pola angin, dan memanfaatkan siklus alam yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Mereka adalah penjelajah sejati yang keberadaannya menyatukan ekosistem dari Asia hingga Afrika.
Bagi masyarakat Indonesia, mungkin kita perlu mulai melihat capung bukan sekadar hiasan alami di persawahan. Mereka adalah bagian dari jaringan kehidupan yang kompleks dan menjadi indikator penting kesehatan lingkungan. Jika jumlah mereka menurun drastis atau pola kemunculannya berubah, itu bisa menjadi tanda ada yang salah dengan iklim dan ekosistem kita.