- Ratusan hektar sawah dan kebun kemenyan warga Desa banuaji, Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara ludes terbakar. Wilayah yang dulu hijau, beserta tanahnya, menghitam karena Hidrogen Sulfida (H2S).
- Andi Saut H. Lumban Gaol, pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang aktif dalam pelayanan sosial dan kemanusiaan di lokasi tersebut, menyatakan, efek dari kemunculan gas beracun ini mematikan. Sejak pengeboran geothremal, katanya, batang pohon kemenyan dan padi menghitam seperti terbakar.
- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai paparan gas H2S hingga senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) mulai membayangi kesehatan warga di sekitar wilayah geotermal Tapanuli Utara dan Mandailing Natal, Sumatera Utara.
- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada 2024 merilis laporan bertajuk Geothermal di Indonesia: Dilema Potensi dan Eksploitasi atas Nama Transisi Energi. Di dalamnya, mereka menyoroti praktik pembangunan panas bumi (geothermal) di Indonesia yang membawa dampak serius terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal.
Ratusan hektar sawah dan kebun kemenyan warga Desa Banuaji, Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, ludes terbakar. Wilayah yang dulu hijau, beserta tanahnya, menghitam diduga karena Hidrogen Sulfida (H2S).
Gas ini diduga berasal dari aktivitas pengeboran pembangkit listrik panas bumi (PLTP) Sarulla Operations, perusahaan swasta yang berdiri sejak 2017 di lokasi itu. Kehidupan warga pun berubah drastis.
Andi Saut H. Lumban Gaol, pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang aktif dalam pelayanan sosial dan kemanusiaan di lokasi itu, menyatakan, efek dari kemunculan gas beracun ini mematikan. Sejak pengeboran geothremal, katanya, batang pohon kemenyan dan padi menghitam seperti terbakar.
Selain itu, tanah mengeras dan air yang dulunya panas dan bisa warga minum, kini berubah jadi berbau dan menyengat, putih berbusa seperti susu mendidih.
“Kami saksikan sendiri, setelah diuji pun terbukti tercemar berat. Masyarakat tidak bisa lagi mengolah sawahnya, tanaman kemenyan juga rusak,” katanya.
Warga pun kehilangan nyawa. Dia bilang, dua orang meninggal dunia di lokasi tersebut, dugaannya, akibat paparan gas beracun di area sawah.
Sejak 2017, katanya, radius sebaran gas terus meluas. Jika sebelumnya hanya di beberapa ladang di kaki gunung, sekarang mencapai pemukiman warga, rumah ibadah, dan sawah yang bersebelahan langsung dengan kediaman mereka.
“Radius dampaknya sekarang sekitar 10–20 km. Masyarakat tak bisa lagi menanam padi di lahan mereka sendiri.”
Akibatnya, warga yang dulu menggantungkan hidup dari lahan pertanian mereka sekarang terpaksa jadi buruh tani di desa lain, atau menyewa lahan yang belum tercemar. Kehidupan mereka berantakan, kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan dan pendidikan anak.
Sementara, katanya, belum ada satupun kompensasi pada warga terdampak. Alih-alih memberikan solusi, pejabat daerah justru memperkeruh keadaan.
“Pernah ada diskusi publik, tapi Wakil Bupati malah bilang itu belerang muncul karena gempa. Itu pernyataan yang bodoh. Padahal dia doktor dan dosen. Kalau memang gempa, kenapa sejak 2017 sampai sekarang terus bertambah luas?”
Andi bilang, pihaknya tidak berniat menggugat perusahaan. Karena tuntutan utama mereka satu, penutupan perusahaan.
“Tidak ada manfaat dari perusahaan ini. Masyarakat sekitar tidak dapat pekerjaan. Kalaupun ada, hanya sebagai buruh kasar atau satpam. Tidak ada peningkatan ekonomi. Malah ladang kami yang rusak,” katanya.
J Sinaga, warga Desa Banuaji, mengingat betul awal mula tragedi ini. Bapak kandung pria 50 tahun itu meninggal mendadak di ladang pada 2019.
“Kami tidak tahu kenapa. Sejak bapak meninggal, setiap panen banyak yang pingsan. Tanah di sawah mendidih, mengeluarkan belerang. Lama-lama airnya jadi keras, tidak bisa mengalir,” katanya.
Lebih dari 1 hektar kebunnya tidak bisa lagi dia tanami. Serupa dengan sekitar 121 kepala keluarga di desa itu.
“Kemenyan itu butuh suhu di bawah 23 derajat untuk hidup. Tapi sekarang terlalu panas. Banyak pohon gugur daunnya, padahal tanpa daun, kemenyan tidak bisa menghasilkan getah.”
Sudah dua periode kepala desa dia datangi, namun tak ada respons. Bupati hingga Camat pun sudah dia temui langsung, hasilnya nihil.
Sebelum bencana gas ini, katanya, Desa Banuaji merupakan lumbung pangan kecamatan. Warga biasa menyimpan hasil panen di lumbung-lumbung pribadi, bukan untuk komersil, tapi untuk kebutuhan makan satu tahun.
“Biasanya kami bisa simpan 40–50 karung. Kalau perlu uang sekolah, baru dijual. Tapi sekarang? Kami malah beli beras,” ujar Sinaga.
Kini, mereka telah meninggalkan ladang lebih dari 5 tahun karena takut pencemaran gas beracun. Mereka pernah coba tanam padi, tumbuh subur tapi tidak berbuah. Kalaupun berbuah, gabahnya kosong.
Dia pun harus menyewa lahan orang lain seharga Rp1,5 juta–Rp2,5 juta per tahun, sejak 2020. Tapi itu pun tak cukup. Karena tetap harus beli beras, sementara uang sekolah anak sulit terpenuhi.
“Kami tak minta lebih. Kami hanya ingin tanah kami kembali. Jangan relokasi kami seperti barang. Ini tanah warisan nenek moyang kami sebelum Indonesia merdeka.”

Bahayakan kesehatan
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai paparan gas H2S hingga senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) mulai membayangi kesehatan warga di sekitar wilayah geotermal Tapanuli Utara dan Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Penelusuran mereka, melalui pemantauan kualitas udara pada Mei 2025 di Desa Banuaji dan empat titik di Kecamatan Sorik Marapi (Mandailing Natal), mengungkap hasil mencemaskan. Alat pemantau Gastec GSP-400FT menunjukkan kadar H2S mencapai 12 ppm di lokasi Jambu Koling—melebihi batas aman 5 ppm (STEL) menurut Permenaker No. 5 Tahun 2018.
“Angka ini tidak hanya melampaui ambang batas paparan jangka pendek, tapi sudah memasuki level risiko akut bagi kesehatan manusia,” kata Imam Shofwan, Kepala Simpul dan Jaringan Jatam pada Mongabay.
Di Desa Banuaji, kadar H₂S dan SO₂ masing-masing terukur antara 2–4 ppm—mendekati ambang batas nasional. Meski PAH tidak terdeteksi di wilayah ini, aktivitas geotermal dan proses dekomposisi organik tetap jadi potensi ancaman lingkungan.
Dampak senyawa-senyawa ini tak hanya dirasakan manusia, juga hewan ternak, satwa liar, hingga ekosistem perairan juga rentan terhadap kerusakan akibat paparan gas beracun yang larut dalam air dan mengganggu sistem respirasi serta kesuburan tanaman.
“Pemantauan ini seharusnya menjadi alarm dini bagi pemerintah dan operator energi untuk menyusun mitigasi serius, termasuk pelatihan tanggap darurat bagi warga.”
Jatam merekomendasikan evaluasi berkala, pemetaan zona rawan, serta integrasi regulasi seperti UU No. 32/2009 dan PP No. 41/1999 untuk menjamin perlindungan lingkungan dan keselamatan warga di kawasan rawan polusi.

Energi bersih atau?
Masyarakat menilai proyek geothermal di Sarulla sebagai bentuk ironi. Energi terbarukan yang bersih justru menghancurkan ekosistem dan kedaulatan pangan warga.
“Sebelum proyek ini buka, semua baik-baik saja. Sekarang semua rusak. Energi bersih? Ini justru energi kotor yang mematikan,” kata Sinaga.
Walhi bersama Center of Economic and Law Studies (Celios) pada 2024 merilis laporan bertajuk Geothermal di Indonesia: Dilema Potensi dan Eksploitasi atas Nama Transisi Energi. Di dalamnya, mereka menyoroti praktik pembangunan panas bumi (geothermal) di Indonesia yang membawa dampak serius terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal.
Menurut Walhi, meski mengklaim sebagai sumber energi bersih dalam agenda transisi energi nasional, proyek-proyek itu justru menyisakan catatan panjang kerusakan ekologis, krisis sosial, hingga hilangnya sumber penghidupan warga.
“Transisi energi tidak bisa dijalankan dengan mengorbankan lingkungan hidup dan hak hidup masyarakat lokal. Proyek geothermal banyak yang justru menjadi instrumen baru dari praktik ekstraktif atas nama energi bersih,” kata Fanny Try Jambore Christanto, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional, dalam keterangannya.
Catatan Walhi, banyak kasus keracunan gas H2S yang timbul dari aktivitas pembangkit geothermal. Salahs atunya di PLTP Sorik marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Insiden yang terjadi sejak 2021 ini menyebabkan lima orang meninggal dunia dan lebih dari seratus warga mengalami gangguan pernapasan pada 2024.
Praktik pengeboran dan reinjeksi air panas dalam proyek geothermal juga menimbulkan potensi gempa bumi buatan (induced seismicity) serta amblesan tanah di kawasan perbukitan dan pegunungan.
Sisi lain, proyek-proyek itu memperburuk krisis air bersih. WALHI mencatat aktivitas geothermal menyebabkan penurunan debit mata air, serta potensi kontaminasi sumber air oleh lumpur panas dan logam berat.
“Warga di kawasan proyek seperti di Poco Leok (NTT) dan Gunung Salak (Jawa Barat) kehilangan akses air bersih dan menghadapi tekanan sosial akibat perubahan ekosistem yang drastis,” jelas Fanny.
Laporan kolaborasi itu juga menunjukkan beberapa proyek panas bumi di NTT seperti Wae Sano, Ulumbu, dan Sokoria, berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp1,09 triliun dalam dua tahun pertama konstruksi. Berasal dari menurunnya produksi pertanian dan perikanan, yang merupakan sumber utama penghidupan masyarakat setempat.
Proyek ini pun mereka sebut tidak menyerap tenaga kerja lokal secara signifikan. Karena bersifat padat modal dan berbasis teknologi tinggi. Di banyak lokasi, jumlah pekerja dari masyarakat lokal yang terserap hanya belasan orang, terutama di sektor non-teknis.
Pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pun minim. Banyak proyek geothermal yang berlangsung tanpa konsultasi yang bermakna (FPIC) dari masyarakat terdampak, termasuk komunitas adat.
Walhi menilai, proyek geothermal saat ini cenderung berjalan menggunakan logika investasi dan target kapasitas listrik nasional, bukan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.
“Transisi energi kita belum adil. Proyek-proyek ini hanya menggantikan batu bara dengan sumber energi lain, tetapi dengan pendekatan yang tetap eksploitatif. Ini bukan solusi, ini bentuk baru dari krisis.”
Atas dasar itu, Walhi meminta pemerintah dan lembaga keuangan internasional seperti JETP, JBIC dan NEXI mengkaji ulang pembiayaan terhadap proyek geothermal yang tidak memenuhi prinsip keadilan sosial dan ekologis. Mereka merekomendasikan penghentian eksplorasi dan eksploitasi geothermal di kawasan lindung, pegunungan dan hutan adat. Mewajibkan penilaian dampak lingkungan, sosial dan ekonomi secara komprehensif sebelum proyek dijalankan.
“Menjamin keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam setiap tahapan proyek energi. Mendorong penggunaan teknologi yang aman dan minim dampak, seperti sistem closed-loop geothermal. Meninjau ulang agenda transisi energi agar berpihak pada masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.”
Mongabay coba melakukan konfirmasi pada Sarulla Operation Ltd , selaku pelaksana The Sarulla Project di Pahae Julu dan Pahae Jae juga menghubungi sosial media Instagram mereka @Satulla.operations, namun tidak mendapat respons hingga berita ini terbit.

*****