- Merti Bumi atau sedekah bumi merupakan upacara adat sebagai wujud kepedulian terhadap kelestarian alam.
- Merti Bumi berasal dari kata metri atau memetri dalam Bahasa Jawa yang berarti memelihara. Ritual ini bukan hanya bentuk syukur kepada Sang Pencipta, tapi juga ajaran hidup tentang bagaimana merawat lingkungan.
- Kegiatan Merti Bumi dilakukan warga Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Barurraden, Banyumas, Jawa Tengah, di Situs Cagar Budaya Lemah Wangi yang merupakan titik penting sejarah Banyumas.
- Alam bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sahabat yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Hutan di Kalibapagu, misalnya, telah menjadi bagian kehidupan warga Dusun Kalipagu sejak dulu. Menebang satu pohon berarti menghilangkan satu bagian sejarah kehidupan.
Lebih dari 400 warga Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Barurraden, Banyumas, Jawa Tengah, berbusana serba hitam, berjalan sejauh 1,5 kilometer. Tujuannya, Situs Cagar Budaya Lemah Wangi.
Mereka membawa hasil bumi dan tumpeng, untuk mengadakan tradisi leluhur Merti Bumi atau sedekah bumi. Upacara adat sebagai wujud kepedulian terhadap kelestarian alam.
Kegiatan ini melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai tokoh adat dan agama, hingga pemerintah daerah. Situs Cagar Budaya Lemah Wangi merupakan titik penting sejarah Banyumas. Terletak di lereng selatan Gunung Slamet, yang dulu dikenal Gunung Agung, kawasan ini menyimpan peninggalan purbakala berupa batu-batuan bersejarah.

Kuspono Totoraharjo, Ketua Kewargian Adat Lemah Wangi, sebuah komunitas pelestari budaya dan penjaga situs-situs sejarah di Banyumas mengatakan Merti Bumi berasal dari kata metri atau memetri dalam Bahasa Jawa yang berarti memelihara.
“Ritual ini bukan hanya bentuk syukur kepada Sang Pencipta, tapi juga ajaran hidup tentang bagaimana merawat lingkungan,” jelasnya, Kamis (17/7/2025).
Setiap tahun, Bulan Sura kalender Jawa, warga Kalipagu melaksanakan tradisi ini. Hari pelaksanaan ditentukan melalui musyawarah para sesepuh dan anggota kewargian. Dalam setiap kirab dan doa yang dipanjatkan, tersimpan harapan: bumi tetap subur, air mengalir jernih, dan hutan tetap rimbun.
“Masyarakat diajarkan merawat alam dan hidup selaras dengan lingkungan,” jelasnya.
Alam bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sahabat yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Hutan di Kalibapagu, misalnya, telah menjadi bagian kehidupan warga sejak dulu. Menebang satu pohon berarti menghilangkan satu bagian sejarah kehidupan.
“Bagaimana menjadi manusia yang pandai bersyukur dan bisa bersinergi untuk merawat alam, itu inti ajarannya. Karena di sini juga hutan. Bagaimana bisa menjaga hutan ini tetap lestari,”katanya.
Purnomo, Ketua Panitia Merti Bumi, menjelaskan prosesi dimulai dengan kirab hasil bumi dari dusun menuju situs petilasan. Setelah itu, warga menggelar doa bersama, lalu membagikan tumpeng kepada seluruh masyarakat.
“Tradisi ini sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi dan bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah menjaga alam dan wilayah ini,” ujarnya.

Identitas budaya
Widya Putri, peneliti budaya dari Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, melihat Merti Bumi bagian dari revitalisasi budaya Jawa yang kini menggeliat di berbagai pelosok Banyumas.
Setelah pandemi Covid-19, kesadaran masyarakat terhadap budaya meningkat signifikan. Tak hanya ritual, tetapi juga ekonomi pendukung, seperti pelaku usaha penyedia sesaji dan atribut adat.
“Tahun ini terasa lebih semarak, lebih banyak partisipasi warga,” terangnya di lokasi, Kamis (17/7/2025).
Kewargian Lemah Wangi, secara mandiri menjaga dan merawat tempat yang mereka yakini sebagai petilasan para resi dan pengikut ajaran Hindu-Buddha. Petilasan ini ditandai simbol-simbol seperti lingga-yoni, yang menunjukkan kuatnya jejak spiritual masa lalu.
“Mereka menyebutnya petilasan, bukan makam. Jadi, warisan ideologis Jawa itu masih terasa kuat,” jelasnya.

Merti Bumi bukan diinisiasi pemerintah desa maupun dinas kebudayaan. Sepenuhnya digagas masyarakat, bahkan Kewargian Lemah Wangi kini tengah mengupayakan legalisasi di bawah naungan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH).
Menurut Widya, kebangkitan identitas dan ideologi budaya Jawa ini menjadi modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak UMKM lokal. Terutama, yang berkaitan dengan produk tradisi.
“Tradisi kini tidak hanya dilestarikan, tapi juga diberdayakan. Ini penting sebagai ciri khas daerah, sekaligus menjembatani sejarah leluhur dengan generasi masa kini,” pungkasnya.
*****