- Di tengah krisis iklim makin mengkhawatirkan, langkah Indonesia justru terasa berat dan lamban bahkan berisiko melemah. Penundaan pengajuan dokumen second nationally determined contribution (NDC kedua) dan sinyal revisi target ambisius forestry and other land use (FoLU) Net Sink 2030 ke arah lebih lunak memunculkan kekhawatiran serius.
- Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, saat dunia berada di persimpangan dalam menangani krisis iklim, justru saat inilah perlu negara-negara yang berani mengambil peran memimpin dengan ambisi tinggi. Komitmen besar dengan dukungan kebijakan konkret jauh lebih bernilai daripada sikap berhati-hati yang justru memperlambat kemajuan kolektif global.
- Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI, menilai strategi FoLU Net Sink 2030 sebatas retorika tanpa implementasi serius di lapangan. Data FWI mencatat, laju deforestasi dua tahun pasca pengesahan dokumen itu (2021-2023) mencapai 1,93 juta hektar. Angka ini jauh melampaui kuota pengurangan deforestasi yang Kemenhut targetkan.
- Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, menyatakan, dalam upaya mencapai target NDC, seharusnya ada pelibatan nyata masyarakat adat dan komunitas lokal. Pelaksanaan target NDC oleh pemerintah minim melibatkan mereka, bahkan nyaris tidak ada sama sekali.
Di tengah krisis iklim makin mengkhawatirkan, langkah Indonesia justru terasa berat dan lamban bahkan berisiko melemah. Penundaan pengajuan dokumen second nationally determined contribution (SNDC atau NDC kedua) dan sinyal revisi target ambisius forestry and other land use (FoLU) Net Sink 2030 ke arah lebih lunak memunculkan kekhawatiran serius.
NDC kedua adalah kelanjutan dari janji Indonesia mengurangi emisi karbon untuk bersama-sama mengatasi perubahan iklim sesuai Perjanjian Paris. Targetnya, menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius, atau tak melewati 1,5 derajat Celcius. Enhanced NDC Indonesia kurangi emisi 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,2% dengan bantuan luar pada 2030.
Namun, pernyataan, Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan 16 Juni lalu bikin waswas. Dia bilang, dokumen SNDC perlu susun secara “realistis, inklusif, dan dapat dieksekusi.” Target terlalu ambisius, katanya, bisa berisiko pada kredibilitas Indonesia di mata dunia apabila tidak tercapai.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, pernyataan itu tak sejalan dengan semangat Perjanjian Paris dan harapan komunitas internasional.
“Yang mencoreng wajah diplomasi Indonesia bukanlah ambisi, melainkan kemunduran,” katanya.
Saat dunia berada di persimpangan dalam menangani krisis iklim, justru saat inilah perlu negara-negara yang berani mengambil peran memimpin dengan ambisi tinggi. Dia bilang, komitmen besar dengan dukungan kebijakan konkret jauh lebih bernilai daripada sikap berhati-hati yang justru memperlambat kemajuan kolektif global.
“Yang paling mencoreng reputasi diplomasi Indonesia adalah jika kita menurunkan ambisi, sementara dunia justru sedang memperkuatnya,” kata Nadia.
SNDC merupakan dokumen penting yang wajib diperbarui setiap lima tahun oleh negara peserta Perjanjian Paris. Tahun 2025, katanya, tenggat penting, mendorong seluruh negara meningkatkan komitmen iklim signifikan agar dunia tetap berada di jalur pembatasan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius.
Sayangnya, kata Nadia, komitmen iklim saat ini, menurut studi ilmiah terbaru, masih membawa dunia ke arah pemanasan global 2,5 hingga 2,9 derajat—terlampau jauh dari ambang batas aman. Menurut dia, tanpa peningkatan besar-besaran dalam SNDC tahun ini, dunia justru melaju menuju bencana.
FoLU Net Sink 2030, yang menargetkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan Indonesia menjadi penyerap emisi bersih pada 2030—sejauh ini telah menjadi andalan diplomasi iklim Indonesia. Target ini pula yang selama ini jadi bukti bahwa Indonesia serius menjalankan peran global dalam upaya mitigasi iklim.
Kalau sampai Indonesia melemahkan komitmen itu, katanya, jadi sinyal kemunduran. “FoLU Net Sink bukan sekadar angka di atas kertas. Ia simbol kepemimpinan dan integritas komitmen Indonesia.”
Pernyataan Raja Juli yang menyatakan, target net sink harus ada pertimbangan realistis dengan memperhatikan berbagai dinamika pembangunan nasional, seperti ketahanan pangan dan pengembangan bioenergi. Sikap ini, katanya, justru memperkuat kekhawatiran soal Indonesia berisiko mundur dari ambisi awal.
Padahal, kata Nadia, menjaga hutan dan ekosistem merupakan kunci utama dalam strategi mitigasi serta perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.

Bagi Madani, SNDC seharusnya menjadi tonggak penguatan arah pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan berkeadilan iklim. Penundaan hanya akan memperbesar risiko ekonomi, sosial, dan ekologis di masa depan. Indonesia, katanya, harus memperkuat, bukan melemahkan posisi strategis di panggung internasional.
“Penundaan SNDC hanya memperbesar risiko—bukan hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi perekonomian dan kepercayaan internasional terhadap Indonesia.”
Menurut dia, langkah-langkah konkret seharusnya sudah mulai sejak tahun lalu. Pada 29 Agustus 2024, 64 organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Kelompok Masyarakat Sipil untuk SNDC Berkeadilan menyerahkan dokumen rekomendasi kepada pemerintah menjelang Konferensi Iklim PBB (COP) di Baku, Azerbaijan.
Dokumen ini menekankan pentingnya komitmen iklim yang berbasis sains, menjunjung tinggi keadilan sosial, dan melibatkan kelompok rentan secara aktif dalam perumusannya.
Nadia bilang, pemerintah harus membuka ruang partisipasi bermakna dengan melibatkan kelompok rentan dan masyarakat sipil, agar NDC kedua benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat, bukan sekadar menjadi akomodasi bagi sektor industri.
“Jika tidak, kita hanya akan memiliki dokumen yang rapi di atas kertas namun gagal menjawab krisis yang ada.”
Madani mendesak, pemerintah mengajukan SNDC ambisius dan berkeadilan. Pemerintah, katanya, harus tetap pertahankan target FoLU Net Sink sebagai tulang punggung mitigasi. Langkah-langkah adaptasi secara inklusif dengan memprioritaskan mereka yang paling terdampak.

Gagal hentikan deforestasi
Upaya Indonesia menekan laju deforestasi guna mencapai target pengurangan emisi 2030 mengalami kegagalan dan kontradiksi kebijakan yang serius.
Dalam dokumen FoLU Net Sink 2030, Kementerian Kehutanan menetapkan, 60% pengurangan emisi nasional berasal dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Namun, temuan terbaru Forest Watch Indonesia (FWI) justru menunjukkan deforestasi terus berlangsung masif dan terencana.
Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI, menilai strategi FoLU Net Sink 2030 sebatas retorika tanpa implementasi serius di lapangan.
Data FWI mencatat, laju deforestasi dua tahun pasca pengesahan dokumen itu (2021-2023) mencapai 1,93 juta hektar. Angka ini jauh melampaui kuota pengurangan deforestasi yang Kemenhut targetkan.
Lebih mengkhawatirkan, deforestasi dalam koridor legal melalui konsesi kehutanan seperti perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH), mencakup hutan alam, hutan tanaman, maupun kawasan restorasi ekosistem. Selain itu, perambahan hutan juga terjadi di lahan sawit melalui skema pelepasan kawasan hutan dan izin perhutanan sosial.
Data FWI memperlihatkan, 1,66 juta hektar deforestasi di wilayah yang secara administratif KLHK klaim sebagai kawasan hutan negara. Target Kemenhut membatasi deforestasi sampai minus 577.000 hektar agar tercapai net sink 2030 nampak mustahil kalau tren ini terus berlanjut.

Deforestasi pulau-pulau kecil
Fenomena deforestasi juga meningkat signifikan di pulau-pulau kecil, yang selama ini kurang mendapat perhatian. Luas deforestasi di pulau kecil mencapai 318.600 hektar (2017-2021), setara 3% dari rata-rata deforestasi nasional. Dari sekitar 3,49 juta hektar sisa hutan alam di pulau-pulau kecil, banyak terancam rusak akibat pengelolaan salah.
Menurut Anggi, kesalahan utama dalam pengelolaan pulau kecil adalah menyamakan pendekatan dengan pulau besar. Lalu, menggeneralisasi antar pulau kecil yang beragam karakteristiknya, dan menerapkan kebijakan tanpa basis ilmiah memadai.
Dia menyoroti Permen LHK No. 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan yang membuka ruang tanpa batas untuk eksploitasi tambang di pulau kecil. Ia bertentangan dengan UU No. 27/2007 dan UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023 yang membatasi pemanfaatan kawasan itu.
Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia, katakan, sejak pemerintah merilis dokumen FoLU Net Sink 2030, mereka menganalisis kalau target itu sama sekali tak ambisius. Karena dalam dokumen itu, Indonesia tidak menetapkan target deforestasi hingga nol.
Kalau pemerintah menunda SNDC dan revisi target ambisius FoLU Net Sink 2030 akan melemahkan posisi Indonesia dalam dunia internasional. Apalagi, rata-rata deforestasi Indonesia setiap tahun masih terus berada lebih 200.000 hektar.
Pemerintah, belum menerbitkan regulasi yang melarang pembabatan hutan besar-besaran. Pemerintah masih memberikan izin atas praktik deforestasi dengan dalih ‘pembangunan’, baik melalui skema deforestasi terencana maupun tak terencana.
Klaim utama dalam kebijakan FoLU Net Sink 2030, bahwa emisi karbon dari deforestasi hutan alam bisa ganti (offset) melalui penyerapan karbon dari pembangunan hutan tanaman, merupakan hal menyesatkan. Penilaian ini tertuang dalam riset Greenpeace Indonesia dalam laporan berjudul “Main Api dengan Deforestasi.”
Dalam skema deforestasi terencana, kata Sapta, pemerintah mengizinkan pembukaan hutan untuk berbagai kepentingan, seperti pengembangan perkebunan sawit, izin hutan tanaman indsutri, pertambangan, termasuk proyek strategis nasional.
Sementara itu, deforestasi tidak terencana merujuk pada peristiwa yang tidak terkendali langsung pemerintah, seperti kebakaran hutan alam dan perambahan hutan secara ilegal. Namun, katanya, persoalan sudah muncul sejak tahap perencanaan.

Pemerintah, secara terbuka mengakui ‘jatah’ deforestasi sudah berada di bawah ambang batas sejak awal.
Dalam rencana operasional FoLU Net Sink 2030, katanya, pemerintah memperkirakan pdeforestasi, baik terencana maupun tidak terencana, selama periode 2013–2030 akan mencapai 4,22 juta hektar.
Padahal, katanya, menurut dokumen yang sama, deforestasi periode 2013–2019 mencapai 4,80 juta hektar—luas ini bahkan melebihi wilayah Negara Belanda.
“Jika ingin benar-benar konsisten dengan strategi FoLU Net Sink, seharusnya pemerintah tidak lagi mengizinkan deforestasi sejak 2020. Sebab, kuota deforestasi yang ditetapkan sebesar 4,226 juta hektar telah terlampaui 577.000 hektar sejak 2019,” kata Sapta kepada Mongabay, pada Juni lalu.
Alih-alih menghentikan deforestasi, pemerintah justru mengubah pendekatan dengan menyandingkan target lain dalam dokumen NDC versi 2016. Hal ini, membuat seolah-olah masih ada ‘jatah’ deforestasi tersisa.
Berdasarkan target NDC itu, pada akhir dekade ini, kuota deforestasi naik 2,46 juta hektar hingga ‘jatah’ deforestasi jadi 7,27 juta hektar.
Terlepas dari ketidakkonsistenan target, katanya, pemerintah justru menetapkan target deforestasi lebih besar lagi. Alih-alih mengikuti target dalam NDC 7,27 juta hektar pemerintah menetapkan angka hampir setengah lebih tinggi, yakni, 10,47 juta hektar untuk periode 2021–2030.
Proyeksi deforestasi selama 2021–2030, membawa risiko besar terhadap emisi karbon. Deforestasi dalam skala itu bisa menghasilkan emisi 5,13 gigaton CO₂ dari deforestasi terencana dan 4,97 gigaton CO₂ dari deforestasi tidak terencana, total potensi emisi mencapai 10,1 gigaton CO₂.
Angka ini setara 7,5 kali lipat emisi karbon Indonesia dari seluruh sektor pada 2010, tercatat sebesar 1,34 gigaton CO₂.
Dia bilang, risiko ini belum memperhitungkan emisi tambahan yang bisa lepas ke atmosfer karena kebakaran hutan dan lahan gambut, yang seringkali menyertai proses deforestasi.
Apalagi, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sudah bubar. Padahal, restorasi gambut sangat penting.

Harus ada pelibatan masyarakat
Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, menyatakan, dalam upaya mencapai target NDC, seharusnya ada pelibatan nyata masyarakat adat dan komunitas lokal. Pelaksanaan target NDC oleh pemerintah minim melibatkan mereka, bahkan nyaris tidak ada sama sekali.
Ironisnya, kata Syahrul, pemerintah Indonesia justru melihat solusi krisis iklim melalui pendekatan pasar, seperti perdagangan karbon, carbon offset, dan kredit karbon.
Padahal, skema-skema tersebut tidak memberikan dampak langsung terhadap upaya mitigasi krisis iklim, apalagi bagi komunitas masyarakat adat yang paling terdampak.
“Keterlibatan masyarakat adat dalam mencapai target NDC sangat penting. Sayangnya, pemerintah justru memilih solusi instan dan proyek-proyek besar dengan hanya melibatkan perusahaan industri ekstraktif,” katanya kepada Mongabay Juni lalu.
Padahal, katanya, perusahaan-perusahaan ekstraktif justru paling banyak menyumbang deforestasi sering kali diberikan karpet merah pemerintah. Sebaliknya, masyarakat adat, yang terbukti memiliki kearifan lokal dalam mengelola dan menjaga hutan sebagai sumber penghidupan justru terabaikan dalam agenda perlindungan lingkungan.
Syahrul juga menyoroti rencana Kementerian Kehutanan yang mengidentifikasi sekitar 1,1 juta hektar kawasan perhutanan sosial akan jadi padi gogo. Proyek ini merupakan bagian dari program strategis nasional seluas 20,6 juta hektar untuk pangan, energi, dan air.
Menurut dia, rencana penanaman padi gogo di sekitar 1,1 juta hektar di perhutanan sosial merupakan langkah keliru. Pasalnya, tidak semua wilayah di Indonesia memiliki padi sebagai makanan pokok.
Dia contohkan, di Papua, sagu merupakan sumber pangan utama masyarakat di sana. Seharusnya, kata Syahrul, pemerintah mengadopsi pendekatan berbasis komunitas saat merancang program kedaulatan pangan.
Dia tambahkan, masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki sistem kedaulatan pangan baik dengan sumber daya beragam.
“Pendekatan berbasis industri justru sangat berbahaya, karena hampir dipastikan hutan alam yang tersisa akan mengalami deforestasi. Jika pendekatan ini terus dijalankan, target NDC dan FoLU Net Sink 2030 pasti akan sulit tercapai,” katanya.

Dalam riset riset Greenpeace Indonesia yang berjudul “Main Api dengan Deforestasi” juga menunjukkan, angka deforestasi sangat berisiko melampaui target pemerintah dalam FoLU Net Sink 2030.
Salah satu penyebab utama adalah lemahnya perlindungan hukum terhadap hutan alam di dalam wilayah konsesi. Pasalnya, banyak dari kawasan ini tidak terlindungi regulasi kuat, seperti moratorium permanen atau larangan konversi hutan alam secara menyeluruh.
Sebagian besar hutan alam tersebut berada di kawasan hutan produksi.
Berdasarkan perhitungan Greenpeace, luas hutan alam tersisa di kawasan itu mencapai 39,1 juta hektar. Angka ini setara 46% dari luas hutan alam tersisa di Indonesia, sekitar 83,9 juta hektar.
Dari total 39,1 juta hektar hutan alam di kawasan hutan produksi, sekitar 8,1 juta hektar telah terbebani izin kebun kayu dan izin hutan produksi dapat dikonversi (HPK). Luas masing-masing izin sekitar 2,7 juta hektar untuk kebun kayu dan 5,4 juta hektar untuk HPK.
Sapta bilang, 39,1 juta hektar hutan alam di hutan produksi berisiko mengalami deforestasi, pada dasarnya tinggal menunggu waktu.
Padahal, katanya, hutan merupakan salah satu elemen kunci dalam menghadapi krisis iklim, seharusnya tidak lagi terbebani izin-izin baru dan harus terjaga.
“Deforestasi di Indonesia seolah menjadi keniscayaan, padahal kita sedang berada di tengah krisis iklim yang nyata dan mengancam kehidupan umat manusia.”
*****
NDC Kedua, Koalisi Dorong Komitmen Indonesia Berkeadilan Iklim