- Rencana pengembangan kawasan industri di Desa Buruk Bakul, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau, mengkhawatirkan masyarakat pesisir terutama para anggota Kelompok Konservasi Mangrove Sekat Bakau. Pasalnya, lokasi proyek pelabuhan, salah satu infrastruktur yang akan terbangun mengancam pembibitan dan pelestarian mangrove yang warga rawat bertahun-tahun.
- Sejak 2020, Kelompok Sekat Bakau pembibitan 35.000 dan menanam 27.000 bibit. Mereka juga melepas ribuan bibit ke sejumlah kelompok konservasi mangrove ke berbagai daerah. Rumah bibit ini tidak pernah kekosongan pasokan, selain menanam, anggota kelompok juga rutin menyulam mangrove yang gagal tumbuh.
- Desa Buruk Bakul sedang hadapi masalah, tergerus abrasi yang mencapai dua sampai empat meter setahun. Salah satu alasan itu pulalah, Sekat Bakau terus berupaya memulihkan kawasan mangrove yang rusak. Susanti anggota Kelompok Konservasi Mangrove Sekat Bakau bilang, perubahan mulai terlihat dalam enam tahun terakhir. Dulu, pesisir mengalami abrasi parah. Kini, wilayah yang sudah ada tanaman mulai pulih, meskipun daerah yang belum tersentuh masih tergerus abrasi.
- Rencana pembangunan kawasan industri di Buruk Bakul, juga memicu kecemasan di kalangan nelayan tradisional. Mereka khawatir, aktivitas industri akan merusak laut dan mengancam mata pencarian yang telah mereka jalani sejak lama.
Rencana pengembangan kawasan industri di Desa Buruk Bakul, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau, mengkhawatirkan masyarakat pesisir terutama para anggota Kelompok Konservasi Mangrove Sekat Bakau.
Pasalnya, lokasi proyek pelabuhan, salah satu infrastruktur yang akan terbangun mengancam pembibitan dan pelestarian mangrove yang warga rawat bertahun-tahun.
Suhana dan Susanti, warga yang tergabung dalam Komunitas Sekat Bakau menyatakan, rumah bibit mereka akan terdampak langsung proyek itu.
“Kalau jadi kawasan industri, kami akan terdampak langsung karena memang bersebelahan. Saya tidak setuju,” kata Suhana, sejak awal terlibat dalam pembentukan Sekat Bakau.
Dia cerita, upaya pelestarian mangrove mulai secara swadaya. Warga membibit mangrove, menanam di sepanjang pantai, dan merawat berkala. “Kalau rusak, kami sulam ulang. Awalnya, semua dari kantong sendiri,” katanya.
Seiring waktu, kegiatan itu mendapat dukungan dari Yayasan Gambut dan dana dari Aramco Asia Singapura, yang membuat pembibitan mangrove makin berkembang.
Saat ini, sudah banyak tanaman di ekosistem mangrove tumbuh tinggi di sekitar kantor desa hingga Sungai Sekat Bakau.
“Yang berhasil cukup banyak, terutama di daratan. Kalau dekat pantai, keberhasilannya masih sedikit,” ucap Susanti.
Sejak 2020, Kelompok Sekat Bakau pembibitan 35.000 dan menanam 27.000 bibit. Mereka juga melepas ribuan bibit ke sejumlah kelompok konservasi mangrove ke berbagai daerah.
Rumah bibit ini tidak pernah kekosongan pasokan, selain menanam, anggota kelompok juga rutin menyulam mangrove yang gagal tumbuh.

Mulai pulih dari abrasi
Luas kawasan mangrove di Buruk Bakul sekitar 200 hektar. Tak semua dalam kondisi baik. Desa ini juga hadapi masalah, tergerus abrasi yang mencapai dua sampai empat meter setahun. Salah satu alasan itu pulalah, Sekat Bakau terus berupaya memulihkan kawasan mangrove yang rusak.
Susanti bilang, perubahan mulai terlihat dalam enam tahun terakhir. Dulu, pesisir mengalami abrasi parah. Kini, wilayah yang sudah ada tanaman mulai pulih, meskipun daerah yang belum tersentuh masih tergerus abrasi.
Pelestarian mangrove ini juga memberikan dampak ekonomi bagi anggota kelompok. Dengan anggota sekitar 20 orang, termasuk lima perempuan, mereka mendapat insentif dari kegiatan membibit dan menanam.
“Belum mencukupi kebutuhan sepenuhnya, tapi sudah membantu menutupi kekurangan di rumah terutama urusan dapur,” kata Susanti.
Kegiatan ini juga mengubah cara pandang warga terhadap lingkungan. “Dulu, kami tidak tahu pentingnya mangrove. Sekarang, anak-anak kecil pun sudah tahu. Kalau mereka ke laut, sudah merasa punya bakau sendiri dan tidak mau buang sampah sembarangan,” katanya.
Namun, rencana pembangunan kawasan industri membuat kelompok Sekat Bakau cemas. Mereka khawatir, seluruh upaya pelestarian yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun akan sia-sia.
“Kalau ada industri, kami takut tidak punya kawasan konservasi lagi. Yang ditanam pun bisa habis. Kayak yang terjadi di tempat lain, semua bisa hilang,” ucap Suhana.
Selama ini, katanya, permintaan bibit mangrove cukup tinggi, seiring meningkatnya abrasi di pesisir pantai Sumatera.
“Banyak yang datang cari bibit. Tapi kalau kawasan industri dibangun, kami tidak bisa membibit lagi.”
Warga dan anggota kelompok kini mulai memikirkan nasib mangrove dan penghidupan mereka kalau proyek kawasan industri benar-benar terlaksana dan masyarakat tergusur.

Nelayan waswas
Rencana pembangunan kawasan industri di Buruk Bakul, juga memicu kecemasan di kalangan nelayan tradisional. Mereka khawatir, aktivitas industri akan merusak laut dan mengancam mata pencarian yang telah mereka jalani sejak lama.
Safril dan Afrizal, nelayan Buruk Bakul resah dengan wacana pembangunan itu. Keduanya sehari-hari menangkap ikan dengan alat tangkap tradisional bernama mekap, yakni, jaring tangsi yang mereka pasang di tepi pantai saat air surut.
“Kalau air kecil, kami pasang mekap. Kalau air besar, pakai jaring tengah. Tak tentu juga, tergantung kondisi,” kata Safril.
Dia bilang, mekap adalah jaring yang dibentangkan sekitar 50 meter per blok. Jaring ini terpasang dengan pancang kayu setiap 15 meter agar tak hanyut terbawa arus laut. Dalam sekali pemasangan, biasa pakai dua hingga tiga blok jaring, tergantung ketersediaan alat.
“Kalau jaring banyak, hasil juga banyak. Ikan kakap, kurau, gulamo, sampai ketam sering kami dapat,” tambah Afrizal.
Jaring mekap biasa mereka pasang saat pagi dan cek lagi sore hari. Nelayan akan terus memantau hingga air pasang besar datang lalu bongkar kembali.
Biasanya jaring mereka gunakan selama lima hari atau satu minggu. Kondisi laut yang penuh sampah seperti batang kayu, terutama kayu akasia, kerap merusak jaring mereka.
Laut di Buruk Bakul merupakan jalur pengangkutan kayu-kayu akasia maupun eukaliptus menggunakan tongkang (barge) yang ditarik dengan kapal tunda atau tugboat.
“Kalau angin kencang dan sampah datang, habis jaring kami. Bukan cuma kulit, batang kayunya langsung yang kena,” kata Safril.
Berbeda dengan alat tangkap belat yang memiliki mata jaring lebih halus dan bisa menangkap ikan kecil, mekap lebih selektif karena hanya menangkap ikan-ikan berukuran besar. Namun, Safril dan Afrizal, menyayangkan, belat sering kali membunuh ikan kecil yang tidak diambil.
B belat juga terpasang pada posisi mengepung langsung ke arah mangrove. Kalau mekap membentang lurus, belat justru melengkung. “Kalau mekap, ikan kecil lepas. Jadi tak merusak ikan-ikan yang masih kecil. Kalau belat, semua nyangkut di jaring.”
Safril mengatakan, sebagian besar warga Buruk Bakul mengandalkan laut sebagai sumber utama pendapatan, meski tak semua memiliki sampan. Banyak nelayan hanya memikul jaring ke pantai dan memanfaatkan waktu luang untuk memasang mekap. Ada pula yang melaut selama empat hingga lima malam dengan jaring tenggiri.
“Kami memang hidup dari laut. Industri itu pasti ancam kehidupan kami. Kalau laut rusak, ikan mana ada lagi,” ujar Afrizal.
Belum lagi kalau limbah industri mencemari laut, ikan pun tidak lagi layak konsumsi. “Kalau pun ada, rasanya tak sedap. Siapa yang mau makan?”
Wacana relokasi warga dan ganti rugi juga tidak memberikan ketenangan bagi nelayan seperti Safril dan Afrizal. Mereka tak tahu harus berbuat apa kalau pemerintah benar-benar melanjutkan proyek itu.
“Kalau benar jadi industri, kampung ini jelas akan digusur. Kalau ada ganti rugi, ya kami pindah. Tapi tak tahu harus ke mana?” kata Afrizal.
Para nelayan merasa tidak kuasa menolak. Bahkan, ketika mendengar pernyataan dari pejabat pemerintah, termasuk gubernur, mereka merasa seperti tidak dianggap.
“Setelah dengar gubernur bicara, kami tak ada tanggapan. Seperti tak terjadi apa-apa saja. Padahal hidup kami yang terdampak,” ujar Safril.

Pemerintah harus terbuka dan jujur
Menanggapi kecemasan itu, Rinto, Kepala Bappeda, meyakinkan Pemerintah Bengkalis tidak mengabaikan peran masyarakat dalam proses ini. Dia klaim, sosialisasi mereka lakukan dalam berbagai forum, seperti ketika musyawarah perencanaan dan pengembangan (musrenbang), pertemuan umum. Sampai kegiatan keagamaan seperti pada pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ).
“Kami pastikan, masyarakat tetap jadi bagian dari pembangunan ini. Pemerintah tidak akan mengorbankan warga,” katanya, berdalih.
Rinto mengimbau, masyarakat tidak terpengaruh spekulasi lahan yang marak belakangan ini. Katanya, kawasan industri di Buruk Bakul dominan hamparan mangrove, baik kondisi rusak, sedang maupun lebat.
Saat Mongabay meninjau lokasi, lahan sudah ada milik sejumlah orang. Ada plang pemberitahuan atas kepemilikan lahan. Di beberapa titik tampak ada percobaan tanaman sawit namun gagal karena terendam air asin.
Rinto juga bilang, kawasan industri ini minim konflik karena sebagian besar lahan adalah area kosong yang dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Bengkalis jadi kawasan industri.
Dia katakan, tak ada permukiman padat atau lahan konservasi yang dikorbankan.
Meski begitu, dia tidak pungkiri ada sebagian kecil hutan mangrove akan terdampak oleh pembangunan pelabuhan. “Itu pun akan kita reboisasi di pesisir terdekat. Kita akan bicara dengan kelompok pembibitan seperti Sekat Bakau,” katanya.
Kawasan Buruk Bakul relatif aman dari abrasi karena terlindung secara geografis oleh Pulau Bengkalis.
Khaidir, Ketua Sekat Bakau, heran mendengar penjelasan pemerintah daerah ini. Sampai saat ini, katanya, pemerintah daerah belum mendiskusikan rencana pengembangan kawasan industri pada masyarakat Buruk Bakul. “Hanya omongan semata.”
Khaidir mewanti-wanti pemerintah daerah sesungguhnya belum siap dalam menyusun dokumen persyaratan pembangunan kawasan industri hingga belum sanggup bertemu masyarakat.
Dia khawatir, rencana yang belum matang tetapi tetap jalan dengan terburu-buru dan mendadak akan berujung kelabakan.
“Yang direncanakan dengan betul belum tentu 100% menjadi. Apa lagi yang tertutup dan tidak melibatkan para pihak secara menyeluruh,” kritik Khaidir.

Mangrove benteng terakhir
Sebagai pemimpin kelompok Masyarakat Buruk Bakul dalam pemulihan mangrove, Khaidir pertanyakan tawaran Rinto yang akan mencari area pengganti sebagai solusi.
Untuk kawasan mangrove yang terlanjur rusak, ide itu dia anggap masuk akal tetapi tidak dapat diterima kalau harus menghancurkan 200 hektar hutan mangrove sejati yang ada selama ratusan tahun.
Pesisir Buruk Bakul, meski terancam abrasi sepanjang tahun, desa itu masih menyimpan 200 hektar kawasan mangrove yang menyimpan nilai sejarah sekaligus benteng terakhir perkampungan masyarakat. Khaidir tak sudi kawasan itu musnah dan beralih fungsi oleh konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang pemerintah selipkan menjadi bagian pengembangan kawasan industri.
“Itu tidak semudah menyampaikan rencana semata. Pemerintah daerah harus menjamin mangrove di Sungai Bakul Besar tetap terjamin keberlangsungan dan kelestarian. Bukan jadi ruang terbuka hijau dengan taman, rumput dan pohon-pohon ketapang,” tegas Khaidir.
Mulyadi, Direktur Yayasan Gambut Riau, mengingatkan, pemerintah bahwa kepentingan ekonomi dan lingkungan harus selaras ketika pembangunan kawasan industri di Buruk Bakul.
Pasalnya, berkaca dari kawasan industri di beberapa tempat justru tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Dia juga menyinggung proyek Rempang Eco City.
Dia menyayangkan, bila upaya panjang Kelompok Sekat Bakau memulihkan kawasan mangrove terhenti. Hal itu tak mudah, kehadiran industri malah berisiko merusak semua perjuangan itu. Bila lingkungan rusakm ekonomi tak bisa tumbuh positif.
Mulyadi benarkan, pemerintah daerah belum terbuka dengan rencana pengembagan kawasan industri di Buruk Bakul.
Selama mendampingi Kelompok Sekat Bakau memulihkan mangrove, mereka juga beberapa kali meminta kejelasan proyek itu.
Bila pemerintah daerah terbuka, para pegiat lingkungan dapat berkontribusi dalam rekomendasi pengelolaan ruang, terutama perlindungan terhadap hutan mangrove dan ruang kelola masyarakat.
“Harus ada jalan tengah antara kepentingan investasi dan perlindungan lingkungan. Upaya perjuangan lingkungan harus tetap dilakukan,” kata Mulyadi.

*****