-
Mahkamah Agung mengabulkan uji materi terhadap Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Permohonan itu Muhammad Taufiq, dosen asal Surakarta ajukan, karena aturan itu bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan laut. Berbagai kalangan menyambut baik putusan ini dan menanti pembenahan aturan kelautan.
- Mahkamah Agung menilai aturan itu bertentangan dengan semangat perlindungan ekosistem laut, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 UU Kelautan yang menyebut bahwa pengelolaan wilayah laut harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan, pelestarian, dan pengendalian pencemaran. Fakta umum (notoir) lainnya bahwa sejumlah wilayah pesisir di Indonesia, seperti Pantura Jawa telah alami abrasi parah dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas yang mengganggu keseimbangan ekosistem laut.
- Walhi mengapresiasi putusan ini. Temuan Walhi di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas penambangan pasir laut menimbulkan dua dampak utama. Pertama, kerusakan lingkungan dan meningkatnya potensi bencana ekologis, serta dampak ekonomi pada nelayan dan masyarakat pesisir.
- Parid Ridwanuddin, Peneliti Kelautan Auriga Nusantara, mengatakan, putusan Mahkamah Agung itu bahwa PP 26/2023 memang dibuat tanpa memperhitungkan banyak aspek. Ia pun berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) segera menindaklanjuti putusan tersebut dengan membatalkan izin terhadap 60 lebih perusahaan eksportir pasir laut.
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi terhadap Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Permohonan itu Muhammad Taufiq, dosen asal Surakarta ajukan, karena aturan itu bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan laut. Berbagai kalangan menyambut baik putusan ini dan menanti pembenahan tata kelola kelautan.
Dalam amar putusan Nomor 5 P/HUM/2025 yang dibacakan pada 2 Januari 2025, Mahkamah Agung memerintahkan presiden mencabut Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), dan Pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023. Aturan itu soal pengelolaan hasil sedimentasi di laut. MA nyatakan, karena itu tidak berlaku untuk umum.
Putusan itu dengan Majelis Hakim Ketua Irfan Fachruddin, dan beranggotakan Lulik Tri Cahyaningrum dan Yosran. Majelis menilai, pemerintah terburu-buru menetapkan kebijakan soal ekspor pasir laut, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu, Pasal 56 UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan (UU Kelautan).
MA menilai, aturan ini bertentangan dengan semangat perlindungan ekosistem laut, sebagaimana dalam Pasal 56 UU Kelautan yang menyebut bahwa pengelolaan wilayah laut harus dengan prinsip keberlanjutan, pelestarian, dan pengendalian pencemaran.
Fakta umum (notoir) lainnya bahwa sejumlah wilayah pesisir di Indonesia, seperti Pantura Jawa telah alami abrasi parah dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas yang mengganggu keseimbangan ekosistem laut.
“Dengan dibukanya kembali izin ekspor pasir laut melalui PP ini, pemerintah justru berpotensi memperburuk kondisi lingkungan yang telah rusak, alih-alih menjalankan mandat perlindungan ekologi,” tulis MA dalam pertimbangannya.
Walhi mengapresiasi putusan MA ini. Temuan Walhi di lapangan menunjukkan, aktivitas penambangan pasir laut menimbulkan dua dampak utama. Pertama, kerusakan lingkungan dan meningkatnya potensi bencana ekologis.
“Industri tambang pasir laut yang masif telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, terganggunya rantai makanan biota laut, serta kerusakan pada ekosistem penting seperti hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang,” kata Burhanudin Ladjin, Manajer Kampanye Pesisir laut dan Pulau-Pulau Kecil Walhi Nasional, Jumat (27/6/25).
Selain itu, katanya, penambangan ini juga memperparah bencana alam di pesisir seperti banjir rob, abrasi, erosi pantai, dan pencemaran air laut.
Selanjutnya, dampak ekonomi yang signifikan terhadap masyarakat pesisir, terutama nelayan tradisional. Sebagai kelompok yang paling terdampak, nelayan mengalami penurunan hasil tangkap yang mengganggu mata pencaharian mereka secara langsung.
Di waktu sama, biaya pemulihan lingkungan yang perlu untuk memperbaiki kerusakan, jauh lebih besar dibandingkan penerimaan negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor tambang pasir laut.
“Sejak pertama kali peraturan ini diterbitkan, penolakan telah muncul dari berbagai elemen masyarakat sipil, khususnya dari komunitas pesisir yang terdampak langsung—terutama para nelayan,” kata Burhanudin.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menyebut, putusan MA menjadi tamparan bagi pemerintah agar tidak buru-buru dalam membuat kebijakan. “Penyusunan kebijakan harus mempertimbangkan prinsip kehati-hatian atau precautionary principle,” katanya.
Selama ini, pmerintah atau lembaga legislatif seringkali tak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat terdampak dan para akademisi. Beberapa contoh antara lain, UU Cipta Kerja, PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, dan PP Penangkapan Ikan terukur.
Satu contoh lokasi pertambangan pasir laut di mana nelayan mengalami kerugian dapat terlihat di Perairan Blok Spermonde, Sulawesi Selatan. Sebelum adanya tambang pasir laut, nelayan mendapatkan sekitar Rp200.000- Rp2 juta. Namun, setelah tambang pasir laut beroperasi, pendapatan mereka turun Rp100.000-Rp500.000.

Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dalam riset bertajuk “Dampak Ekonomi dan Lingkungan Regulasi Pasir Laut,” menyebutkan, kebijakan ekspor pasir laut justru berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian kawasan pesisir.
Satu risiko utama adalah meningkatnya angka pengangguran di wilayah pesisir akibat terganggunya aktivitas perikanan. Bahkan, potensi pendapatan nelayan yang hilang mencapai Rp990 miliar, serta penurunan lapangan pekerjaan di sektor perikanan hingga 36.400 orang.
CELIOS menyatakan, kebijakan pelarangan ekspor pasir laut seharusnya dipahami sebagai langkah penting untuk mencegah kerusakan ekosistem laut yang lebih parah.
“Regulasi yang melarang ekspor pasir laut ini jelas bertujuan untuk melindungi ekosistem laut dari kerusakan yang lebih besar,” tulis CELIOS dalam laporan risetnya.
Studi itu juga memperkirakan dampak ekonomi makro dari ekspor pasir laut, antara lain penurunan produk domestik bruto (PDB) hingga Rp1,22 triliun serta potensi kehilangan pendapatan masyarakat secara keseluruhan Rp1,21 triliun.
Dengen begitu, manfaat ekonomi dari ekspor pasir laut ini tidak sebanding dengan kerugian sosial dan ekologis yang muncul.
Parid Ridwanuddin, Peneliti Kelautan Auriga Nusantara, mengatakan, putusan MA itu bahwa PP 26/2023 memang tanpa memperhitungkan banyak aspek. Dia pun berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) segera menindaklanjuti putusan ini dengan membatalkan izin terhadap 60 lebih perusahaan eksportir pasir laut.
Sebelum PP 26/2023 terbit, Parid banyak mempertanyakan kajian ilmiah dari beleid itu. “Faktanya, memang Pemerintah tidak bisa menunjukkan kajian saintifik soal tambang pasir laut,” katanya, kepada Mongabay.
KKP, baru membentuk tim dan disusul dengan penerbitan aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33/2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Parid meminta, pemerintah segera fokus merumuskan dan mengesahkan regulasi baru yang bisa menjelaskan secara teknis tentang perlindungan laut. Sebut saja, aturan tentang perlindungan terumbu karang hingga penambangan di pulau kecil.

Ekosistem pesisir
Yonvitner, Guru Besar bidang Ilmu Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB University mengatakan, tiga ayat pada Pasal 10 yang menjadi objek gugatan itu beririsan dengan aturan yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (KESDM). Menyusul putusan itu, dia berharap segera cebut ketentuan dalam pasal itu.
“Selanjutnya, pemerintah harus segera menyiapkan aturan baru agar teta kelola sedimentasi di laut tidak menjadi rancu.”
Yonvitner juga mendorong pemerintah kembali menghidupkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang selama periode 2014-2024 bertugas mengoordinasikan antar sektor. Hal itu sangat penting untuk mengkomunikasikan antar lembaga negara lain tentang isu sensitif yang saling beririsan.
Dia sempat mengkritik teknik pengambilan pasir laut yang diatur dalam PP itu. Menurut dia, teknik pengambilan dengan menggunakan kapal hisap kontradiktif dengan kebijakan ekonomi biru. Penggunaan kapal hisap itu bersifat eksploitatif alias ‘ekonomi merah’.
“Mengambil sedimen atau pasir, itu akan mengancam habitat lamun yang menjadi ekosistem karbon biru.”
Padahal, lamun berperan sebagai perangkap sedimen untuk melindungi ekosistem terumbu karang. Jika sedimen diambil, maka peran itu akan terus berkurang, dan bisa hilang.
Saat sama, karbon yang terperangkap dalam sedimen juga akan lepas. Jadi, program pengurangan emisi karbon pada sektor kelautan dan perikanan akan terancam juga.
Persoalan lain dengan aturan itu, katanya, tidak ada aspek keadilan dengan masyarakat terdampak. Walau ada soalzona pengelolaan daerah akan ada pendapatan terhadap daerah, namun jelas masyarakat akan terdampak lebih luas.
Dampak itu seperti hilangnya daerah penangkapan, daerah pemijahan ikan, daerah nursery, dan daerah mencari makan. Peran sedimen lumpur sebagai sumber makanan menjadi sangat penting bagi biota dasar seperti kepiting, rajungan, dan ikan.

Meluruskan kebijakan
Nimmi Zulbainarni, Pengajar Sekolah Bisnis IPB University menyebut kalau pencabutan tiga ayat pada itu merupakan langkah korektif yang sangat penting dalam meluruskan arah kebijakan kelautan Indonesia.
“Pencabutan ini menjadi koreksi penting terhadap kecenderungan komersialisasi sumber daya laut yang mengabaikan prinsip kehati-hatian dan asas kelestarian,” katanya.
Menurut dia, peneguhan prinsip perlindungan laut sebagai mandat konstitusi dan moral ekologis bangsa perlu menjadi perhatian bersama. Dalam konteks krisis iklim, kerusakan pesisir, dan ketimpangan sosial, kebijakan eksploitasi pasir laut bukan hanya tidak layak secara hukum, juga tidak adil secara sosial.
“Pengelolaan laut Indonesia harus diarahkan untuk memulihkan, bukan menjual, dan menempatkan keseimbangan ekologi sebagai poros utama kebijakan kelautan nasional,” katanya, seraya meminta pemerintah menyiapkan langkah setelah putusan MA ini.
Yonvitner pun mendorong pemerintah segera merevisi aturan ini demi kejelasan hukum, keberlanjutan lingkungan, dan perlindungan masyarakat pesisir.
“Pemerintah harus menghapus akar permasalahan dalam desain kebijakan yang eksploitatif, mengganti paradigma pengelolaan laut dari eksploitasi menjadi restorasi, dan membangun sistem regulasi yang adil, ekologis, dan partisipatif.”
*****
Dampak Buruk Ekspor Pasir Laut: Merusak Lingkungan dan Ancaman Bagi Nelayan