- Jauh-jauh warga dari Kampung Ngguti Bob, Distrik Sermayam, Kecamatan Tanah Miring, Merauke, datang ke Jakarta. Mereka datang demi menyuarakan kegelisahan atas proyek perkebunan tebu untuk bioetanol di daerah mereka, 15 Juni lalu.
- Proyek perkebunan tebu untuk program ‘swasembada gula dan pengembangan bioetanol’ ini Presiden Joko Widodo resmikan pada 23 Juli 2024. Ia bagian rencana pemerintah dalam mengembangkan industri gula dan energi bioetanol seluas 2 juta hektar di Papua.
- Pemerintah gencar mengembangkan kebun energi seperti tebu, sebagai bahan bakar nabati dari fermentasi gula. Pengembangan bioetanol skala besar ini bagian dari transisi energi—upaya beralih dari energi fosil ke terbarukan. Wiko Saputra, peneliti utama Transisi (Semu) Energi mengatakan, ada tiga fondasi harus ada dalam transisi energi berkeadilan, yaitu hak asasi manusia (HAM), kesetaraan gender, dan akuntabilitas. Ketiga fondasi ini belum ada.
- Amelya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia, menyoroti transisi energi yang lebih berorientasi pasar. Dia proyeksikan produksi etanol di Indonesia terus meningkat sampai 2029 dan sebagian besar ekspor. Ekosida untuk penyediaan bioetanol ini, katanya, tidak hanya di Papua, juga di Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan dan lain-lain.
Jauh-jauh warga dari Kampung Ngguti Bob, Distrik Sermayam, Kecamatan Tanah Miring, Merauke, datang ke Jakarta. Mereka datang demi menyuarakan kegelisahan atas proyek perkebunan tebu untuk bioetanol di daerah mereka, 15 Juni lalu.
Proyek dengan pelaksana PT Global Papua Abadi (GPA) itu membuat mereka tergusur dari ruang hidup. Pohon-pohon di hutan adat hilang berganti perkebunan tebu. Ada sekitar 75 keluarga terdampak di kampungnya.
Julius Tenot, warga Sermayam bercerita, bersama warga lain tak tahu-menahu mengenai proyek ini. Pada November 2024, datang perwakilan dari GPA untuk melakukan pengukuran tanah.
“Tidak pernah ada permintaan persetujuan. Dia [GPA] datang untuk mengukur dan memasang patok. Dia memetakan dan klaim sebagai wilayah perusahaan,” kata Julius.
Mereka menolak klaim itu. Sebab, tanah ulayat itu sumber penghidupan mereka.
Saat itu, katanya, warga pun memasang patok-patok tandingan dengan memberikan pesan tertulis bahwa tanah itu milik mereka, bukan perusahaan. Pengukuran tetap jalan. Warga tetap menolak.
Pada Februari 2025, dia dan puluhan warga yang menolak dibawa ke Polres Merauke. Di sana, kata Julius, mereka diminta untuk membubuhkan tanda tangan di kertas.
Mereka juga dapat peringatan agar setuju melepaskan tanahnya.
Warga berkeras tak mau menandatangani kertas itu. Julius takut tanda tangan itu akan disalahgunakan.
Satu suku, yakni, Suku Mahuze Sohe di Kecamatan Tanah Miring, akhirnya menyerahkan tanah ulayat mereka seluas 5.000 hektar kepada GPA. Namun, tidak pernah ada dasar hukum dan kompensasi pun tidak sesuai.
Awalnya, tawaran kepada warga Rp300.000 per hektar, ketika sudah setuju kompensasi hanya Rp1, 004 miliar untuk 5.000 hektar. Selain itu, tak pernah ada proses adat dalam pelepasan tanah ulayat itu.
Proyek perkebunan tebu untuk program ‘swasembada gula dan pengembangan bioetanol’ ini Presiden Joko Widodo resmikan pada 23 Juli 2024. Ia bagian rencana pemerintah dalam mengembangkan industri gula dan energi bioetanol seluas 2 juta hektar di Papua.
Proyek ini akan membangun lima pabrik gula untuk mengolah tebu mencakup lahan 490.000 hektar dalam satu ekosistem rantai pasok.

Di Merauke, pada 22 Juni lalu, perusahaan melakukan pertemuan dalam upaya penyelesaian sengketa lahan Distrik Sermayam.
Sebelum itu, warga sudah protes sejak awal. Pada Januari lalu, seperti dikutip dari Tribun Papua, Joko H.Pramulyo, pimpinan PT Global Papua Abadi (GPA), berdalih sebelumnya sudah komunikasi bersama pemilik lahan untuk permasalahan itu dan selesai secara baik-baik.
“Kita sepakat selama menunggu kejelasan objek yang dipermasalahkan, pekerjaan tetap berjalan untuk pembuatan tanggul pencegahan banjir di lokasi itu, sehingga kita juga tidak mau merugikan masyarakat sekitar maupun kepentingan pengelolaan perusahaan,” katanya dari kutipan di Tribun Papua.
Soal kejelasan batas lahan dan dokumen kepemilikan yang jadi persoalan, kata Joko, kedua belah pihak masih menunggu hasil Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Apakah lahannya masuk area perusahaan atau tidak, kita menunggu saja dari pihak yang berwenang.”
Dia berdalih soal proyek strategis nasional untuk pangan dan energi dukungan pemerintah pusat dan daerah serta mereka juga taat peraturan pusat maupun daerah.
“Yang kita jalankan ini tidak lain sesuai kebijakan pemerintah,” katanya.
Proyek ini bukan hanya mengancam warga Kampung Ngguti Bob, Kecamatan Tanah Miring, juga Kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob. Vincent Kwipalo dan warga Distrik Jagebob yang lain juga ikut ke Jakarta, adukan hal serupa.
Di kampung Vincent, PT Murni Nusantara Mandiri (MNM) akan kelola proyek ini. Dia bilang, perusahaan mulai survei kepada warga sekitar Juli 2024.
Saat itu, ada pertemuan antara perwakilan perusahaan dan warga di balai kampung. Seingatnya, ada tujuh marga besar hadir.

Pada pertemuan itu perusahaan sampaikan akan buka lahan dan meminta warga bersedia pindah. Perusahaan berjanji membuka ruang diskusi lagi tetapi tidak pernah ada.
Babinsa mulai turun ajak warga lokal membantu proses pengukuran lahan. Vincent menyebut, warga semarganya, yakni Kwipalo, paling keras menolak pengukuran itu.
“Kami tidak mau. Kami punya hak karena kami lebih tahu luas wilayah dusun kami. Berarti kalau kami kasih itu, akan habis,” katanya.
Selama ini, warga tidak pernah mengukur wilayah tetapi mereka tahu batas-batas mereka.
Saat perusahaan ukur, mereka baru tahu bahwa perkebunan tebu untuk gula dan etanol itu mengambil 1.400 hektar tanah ulayat.
Warga di kecamatannya juga ditawari ganti rugi Rp300.000 per hektar tanah. Marga Kwipalo menolak. Mereka tidak mau hutan hilang.
“Kalau kami kasih hak kami, berarti hutan ini dibongkar. Sedangkan untuk generasi kita yang akan datang, kalau mereka mau bangun rumah, mau ambil kayu di mana?”
Pada 10 Desember 2024, Vincent sempat menyampaikan pendapat kepada anggota DPR, Edoardus Kaize dari Fraksi PDIP dan Sulaeman L. Hamzah dari Fraksi Nasdem, di Merauke.
Saat itu, hadir 21 warga mewakili 14 marga di 18 distrik di Merauke yang tertimpa proyek strategis nasional (PSN) pangan dan energi Merauke ini.
Mereka juga sampaikan ada intimidasi dari oknum-oknum dalam proses pembebasan tanah ulayat.
Pada 11 Desember 2024, Vincent kembali mendapatkan intimidasi. Kepada Pusaka Bentala Rakyat, dia mengatakan, dapat persekusi beberapa warga yang bawa kayu dan busur.
Yang datang mempersekusi Vincent itu adalah orang-orang yang menerima proyek itu.
Warga sudah melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dengan pendampingan LBH Merauke akhir 2024.
Namun, aktivitas perusahaan masih terus berlangsung hingga kini, bahkan makin intens. Alat berat juga sudah masuk untuk mengosongkan tanah dan tengah membangun darmaga. Ada juga yang bangun pos koramil baru.
Warga kembali melayangkan surat untuk kedua kali ke Komnas HAM 19 Juni 2025. Komnas HAM masih pemantauan.

Transisi energi tak berkeadilan
Pemerintah gencar mengembangkan kebun energi seperti tebu, sebagai bahan bakar nabati dari fermentasi gula. Pengembangan bioetanol skala besar ini bagian dari transisi energi—upaya beralih dari energi fosil ke terbarukan.
Dalam Peraturan Presiden No. 40/2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati. Pemerintah menargetkan bioetanol dapat diproduksi 1,2 juta kiloliter per tahun.
Pada Pasal 3 Ayat 1 Huruf b perpres itu akan ada penambahan lahan baru perkebunan tebu 700.000 hektar bersumber dari perkebunan, tebu rakyat, dan kawasan hutan.
Pemerintah menargetkan swasembada gula untuk kebutuhan industri dan produksi bioetanol paling lambat 2030.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) penelitian proyek biomassa dan bioetanol di Tanah Papua, September 2024-Februari 2025.
Penelitian berjudul Transisi (Semu) Energi ini memperlihatkan, transisi energi pemerintah semu dan tidak berkeadilan di tanah Papua.
Wiko Saputra, peneliti utama, mengatakan, ada tiga fondasi harus ada dalam transisi energi berkeadilan, yaitu hak asasi manusia (HAM), kesetaraan gender, dan akuntabilitas. Ketiga fondasi ini belum ada.
Proses transisi energi di Papua mengabaikan HAM, salah satunya ditandai perampasan tanah masyarakat. Dalam aspek kesetaraan gender, pemerintah juga tidak melibatkan perempuan dan tidak ada keterbukaan.
Dia juga menyoroti Papua tereksploitasi untuk kebutuhan wilayah lain. Kekayaan alam Papua untuk pasokan listrik dan minyak nabati berlabel “energi terbarukan”.
Wiko bilang, transisi energi berbasis bioetanol dan biomassa berisiko mengancam sekitar 1,53 juta hektar hutan dan tanah di Papua. Izin konsesi untuk perkebunan tebu sebagai bahan baku pengembangan bioetanol sudah 637.000 hektar.

Selain itu, sudah ada sekitar 898.000 hektar hutan tanaman industri (HTI) dan hutan tanaman energi (THE) yang dapat memproduksi pelet kayu untuk PLTBm dan cofiring biomassa. Hasilnya, tidak rakyat Papua rasakan.
Listrik, misal, data statistik PLN, rasio elektrifikasi di Papua baru 64,6%. Jumlah rumah tangga yang belum teraliri listrik mencapai 417.783 pada 2023.
Padahal, kata Wiko, dengan sumber daya yang ada, seharusnya 417.783 rumah itu bisa teraliri listrik. Berdasarkan penelitian Wiko dkk, bahkan tidak perlu ada penebangan pohon untuk biomassa dan bioetanol.
Dia menjelaskan, banyak sungai di Papua bisa sebagai pasokan listrik, dengan membuat pembangkit listrik tenaga air skala kecil (mikrohidro). Dari perhitungan KESDM, potensi minihidro atau mikrohidro di Papua bisa 22.371 megawatt (MW).
Bisa juga memanfaatkan tenaga surya dan bayu untuk pasokan listrik. Papua memiliki potensi surya 8.342 MW dan bayu 1.848 MW.
“Untuk apa harus membuka tanah dan hutan untuk bioetanol dan biomassa, sedangkan penggunanya sedikit di tanah Papua? Semua itu diekstraksi di Papua dan didistribusikan untuk kepentingan di luar Papua,” katanya.
Menurut dia, transisi energi harus berbasis demokratisasi, bukan berorientasi pasar. Selama masih berorientasi pasar, transisi energi berkeadilan akan sulit terwujud.
“Energi juga adalah hak dasar.”
Amelya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia, menyoroti transisi energi yang lebih berorientasi pasar. Dia proyeksikan produksi etanol di Indonesia terus meningkat sampai 2029 dan sebagian besar ekspor. Saat ini saja, Indonesia sudah menjadi urutan ke-21 pengekspor bioetanol.
Ekosida untuk penyediaan bioetanol ini, katanya, tidak hanya di Papua, juga di Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan dan lain-lain.
“Proyek-proyek energi, termasuk di Merauke ini, tidak berkeadilan dan seharusnya tidak didorong dalam transisi energi.”
*****