- Para pekerja kapal perikanan di Pelabuhan Benoa, Bali, banyak berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak dari mereka alami kondisi menyedihkan. Tulisan ini menyoroti praktik yang terjadi di kapal PT Sumber Nelayan Samudra, berdasarkan penuturan para pekerja. Dari cerita para pekerja dan mantan pekerja, mereka terima perlakuan tak layak dari gaji, beban kerja sampai cara-cara perekrutan yang melanggar, misal, mempekerjakan anak di bawah umur.
- Beberapa pekerja yang Mongabay wawancarai mengatakan, awal mula mereka tertarik bekerja sebagai AKP, karena tergiur gaji besar. Calo janjikan mereka berdua gaji Rp50-Rp60 juta selama 10 bulan berlayar. Sayangnya, semua jauh panggang dari api. Asa mendapat gaji besar justru berbuah duka.
- Akhir tahun lalu International Labour Organitation (ILO) bersama Badan Pusat Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merilis temuan survei mereka sejak Juli 2024. Survei ini berlokasi di 18 pelabuhan perikanan di Indonesia, Benoa, salah satunya. Senada dengan fakta di atas temuan itu juga mengungkap sengkarut proses rekrutmen AKP beberapa perusahaan perikanan di Indonesia. Beberapa temuan survei mengkonfirmasi apa yang terjadi dengan Seban Jayadi, Fathullah dan mungkin AKP lain.
- Farid Rasyid dari Destructive Fishing Watch (DFW) mengatakan, upah tak jelas, jaminan sosial dan kesejahteraan pekerja lain karena beberapa faktor, seperti pengawasan lemah dan tidak ada tindakan atas pelanggaran-pelanggaran oleh perusahaan. Belum lagi, pengetahuan AKP minim tentang hak-hak mereka sebagai pekerja. Masalah-masalah itu sudah seperti lingkaran setan karena terus berulang berawal dari pola perekrutan yang tak jelas.
Lantunan surah Yaasin dan suara tangis bercampur baur di kediaman Masnun alias Inaq Ridwan. Warga berbondong-bondong memadati halaman rumah berukuran lapangan bulu tangkis itu pada 28 Februari 2022.
Beberapa orang dari kepolisian Sektor Pringgabaya dan aparatur Desa Pringgabaya mengabarkan, Seban Jayadi, anak bungsu Masnun ditemukan di Pantai Desa Obel-obel, Kecamatan Sembelia, dalam kondisi selamat. Hari itu, merupakan hari ketujuh Seban Jayadi, dikabarkan hilang di tengah laut perairan selatan Lombok.
Sepuluh bulan sebelumnya, dia berlayar menggunakan KM Sumber Nelayan 28 milik PT Sumber Nelayan Samudra.
Seban hilang ketika kapal dalam perjalanan menuju Pelabuhan Benoa, setelah hampir 11 bulan berlayar menangkap cumi di perairan Maluku dan Merauke. Dari keterangan perusahaan, Seban menceburkan diri ke laut.
Namun, pihak keluarga Seban tidak percaya dengan keterangan perusahaan. Menurut mereka ada kejanggalan dengan keterangan itu.
“Saya tidak percaya. Tidak mungkin anak saya senekat itu, apalagi kan sudah mau pulang, sudah dekat,” kata Masnun di Desa Pringgabaya, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, NTB.
Hingga kini dia dan keluarga tidak bisa menerima tetapi belum juga bisa membuktikan kecurigaan itu. Keyakinan keluarga musabab Seban sempat bercerita sebelum jatuh ke laut, seperti ada orang di belakangnya.
“Tidak sempat menengok ke belakang. Tiba-tiba sudah digulung ombak,” cerita Masnun, mengulang kembali perkataan anaknya.
Dia sempat berniat tetap melanjutkan kasus itu tetapi niat urung karena mungkin tak akan menghasilkan apa-apa jika pun melaporkan kasus itu.
“Kita kan orang kecil. Ya hanya bisa bergumam dari sini saja. Mau urus ke mana, mengadu ke siapa? Kami tidak tahu,” katanya.
Kecurigaan ibu Seban tak berlebihan. Tekanan kerja bisa saja membuat seorang nekat melakukan hal tak disangka.
Dimas, mantan awak kapal perikanan (AKP) di perusahaan yang sama dengan Seban bercerita bagaimana tekanan dan kondisi kerja memicu pertikaian antar AKP maupun pekerja dengan kapten kapal.
“Saya dulu hampir saling bunuh, gara-gara waktu memancing, kail yang saya gunakan tersangkut di pancing sesama AKP,” ceritanya.
Namun, tak menutup kemungkinan yang terjadi pada Seban dampak tekanan mental karena medan dan jam kerja berat. Kewel, bukan nama sebenarnya mengalami hal itu. Beban, medan dan jam kerja membuat kondisi mentalnya rusak.
Pemuda 26 tahun ini pada 2021 pernah mencoba kabur dari kapal, ketika kapal sudah berada di tengah laut, jauh dari daratan. Beruntung dia cepat ditemukan.
Meski hampir merenggut nyawa pekerjanya, perusahaan seperti tak bertanggung jawab atas apa yang dialami Seban. Santunan ataupun biaya pengobatan tidak keluarga Seban dapatkan.
“Perusahaan hanya memberikan uang Rp10 juta, itu pun gajinya selama 10 bulan,” cerita Masnun.

Akali dokumen kependudukan
Seban sudah tiga kali mencoba peruntungan menjadi AKP. Pertama kali dia bekerja sebagai AKP pada tahun 2016. “Dia hanya sekolah sampai kelas 3 SD,” cerita Masnun.
Saat pertama kali berlayar dia baru berumur 15 tahun. Usia yang masih belia untuk bekerja dengan pekerjaan risiko tinggi seperti menjadi AKP.
Seban bukan satu-satunya AKP di Sumber Nelayan, ketika masih anak-anak. Oman, bukan nama sebenarnya, sudah mencoba peruntungan jadi AKP sejak masih berumur 14 tahun. Dia sudah lakukan perjalanan empat kali dengan kapal berbeda.
“Kalau jadi berangkat, ini yang kelima kalinya,” kata pemuda 20 tahun ini.
Untuk bisa bekerja sebagai AKP, seseorang harus berusia minimal 18 tahun ke atas. Ketentuan ini ada dalam Permen KKP Nomor 33/2021 sekaligus ratifikasi dari Konvensi ILO Nomor 182.
Ketika datangi dermaga kapal Sumber Nelayan, kami bertemu Markos, Kapten KM Sumber Nelayan 21. Sejak 2020, katanya, perusahaan tak memperbolehkan lagi ada AKP di bawah umur.
“Terakhir itu 2020. Sekarang sudah tidak boleh oleh perusahaan.”
Di hari sama, kami menemui Arif, bukan nama sebenarnya, calon AKP asal Lombok Timur. Pemuda kelahiran 2009 ini mengaku direkrut salah seorang kapten kapal dengan hanya serahkan kartu keluarga.
Ketika perjalanan keduanya Oman masih berusia di bawah ketentuan regulasi, yakni 18 tahun.
Supaya lolos dari pemeriksaan, para AKP mengakali dokumen kependudukan yang mereka miliki. Sebagai ganti kartu tanda penduduk, mereka membuat surat domisili di desa masing-masing, sedang di kartu keluarga mereka mengganti tahun lahir supaya bisa lolos.
“Tahun lahir sebenarnya di KK (kartu keluarga) ditutup pakai kertas putih, kemudian digandakan,” cerita Maman.
Dengan begitu mereka bisa lolos bekerja sebagai AKP di kapal ikan.
Fathullah, pernah jadi AKP selama 10 bulan. Pemuda 21 tahun ini tak berminat lagi bekerja di kapal ikan.
Awal April lalu, kami menemui Fathullah. Kala itu, dia baru saja dua bulan saja pulang ke kampung halaman setelah 10 bulan sebagai AKP di kapal cumi di Benoa, Bali.
Dia enggan bekerja sebagai AKP lagi, kini memilih bekerja di pemandian motor milik keluarganya. Pengalaman selama 10 cukup membuatnya kapok.

Sebagai AKP selama 10 bulan Fathullah hanya menerima gaji Rp12 juta, berarti per bulan hanya Rp1,2 juta. atau Rp40.000 per hari. Total uang itu sudah termasuk premi atau bagi hasil tangkapan cumi.
“Itu pun belum bayar kas bon dan lain-lain, termasuk mengganti uang calo. Paling bersihnya Rp5 jutalah” ucap Fathullah.
Selama pelayaran, dia pernah harus bekerja sambil menahan sakit demam parah. Namun sang kapten hanya beri obat warung dan minta kembali bekerja.
“Awal-awal penyesuaian diri dengan kondisi angin laut, saya sakit demam tinggi. Tapi oleh kaptennya ya harus kerja, kalau tidak gak dapat apa-apa.”
Selain upah tak sesuai, Fathullah juga bercerita tentang beban dan jam kerja yang tak manusiawi. Selama sembilan bulan Fathullah berlayar ke beberapa titik untuk tangkap cumi.
Bulan pertama dia singgah di perairan Maluku (WPP 715). Di sana bersama ABK lain memancing cumi dan sotong selama hampir tujuh bulan. Dua bulan berikutnya mereka pindah ke perairan dekat Merauke (WPP 718).
Dia dan rekan kerja punya waktu istirahat hanya beberapa jam saja, itu pun terkadang harus bergiliran.
“Sorenya kami sudah harus menebar pancing, hingga menjelang Isya (sekitar pukul 19.00), seterusnya kami harus terjaga di bawah sinar lampu kapal yang kadang membuat mata kami sakit, hingga menjelang pagi hari.”
Fathullah juga pernah dijanjikan selain upah harian akan dapat premi atau bagi hasil tangkapan. Hingga pulang ke kampung, tidak pernah dia terima.
“Dulu, waktu mau berangkat, katanya kami akan dapat gaji harian dan bagi hasil tangkapan. Kalau tidak salah ingat Rp12.000 atau Rp13.000 per kilo[gram]nya,” katanya.
Sebelum berdua berangkat melaut, mereka mengaku diminta tanda tangan di kertas. “Katanya sih itu kontrak kerja.”
Mereka tidak pernah membacanya. Hanya diminta tanda tangan kemudian calo ambil kembali.

Tergiur gaji besar
Awal mula mereka tertarik bekerja sebagai AKP, karena tergiur gaji besar. Calo janjikan mereka berdua gaji Rp50-Rp60 juta selama 10 bulan berlayar.
Selain iming-iming penghasilan besar, mereka juga tergiur pengurusan administrasi mudah, cukup memberikan KTP sudah bisa bekerja sebagai AKP.
“Semua diurus dia, saya hanya serahkan KTP, ” kata Sahardi, AKP asal Lombok.
Bahkan, Fathullah yang baru lulus SMA dan belum memiliki KTP pakai punya orang lain sebagai persyaratan. Tanpa ada pengetahuan tentang apa saja yang harus mereka siapkan dan yang akan hadapi ketika bekerja, mereka membulatkan tekad bertaruh nasib sebagai AKP.
Mereka juga mengaku, dapat modal awal sebagai persiapan berangkat ke Benoa uang tunai Rp3 juta. Uang ini untuk ongkos dan beli kebutuhan lain.
Sayangnya, semua jauh panggang dari api. Asa mendapat gaji besar justru berbuah duka. Seban tiga kali mencoba peruntungan, iming-iming gaji besar itu tidak pernah dia dapatkan. Bahkan, alami kecelakaan di laut, hanya dapat Rp10 juta itupun upah selama hampir 11 bulan bekerja.
“Tidak pernah ada hasil. Justru dapat musibah.”
Fathullah dan Oman pun begitu. Mereka paling besar dapat upah Rp14 juta. Kalau bandingkan dengan beban dan risiko kerja, tentu tak sebanding.
“Jelas tak sebanding. Risikonya nyawa,.”
Dia juga bercerita tentang perhitungan upah dan kas bon mereka tak transparan di perusahaan. Dia tak pernah lihat catatan kas bon maupun slip gaji.
“Hanya dibacakan, saya terima segini dan langsung dikasih uangnya,” cerita Fathullah.
Mongabay berupaya menanyakan mengenai para pekerja ini ke perusahaan dengan mendatangi langsung kantor mereka di Jalan Ikan Tuna Raya Barat, Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, 5 Mei lalu. Sayangnya, petugas keamanan mengatakan, pimpinan sedang tak ada di kantor. Mongabay pun berupaya juga mengontak Hansen David, via telepon dan WhatsApp. Namun hingga tulisan terbit, tidak ada tanggapan.
Berdasarkan data dokumen AHU Sumber Nelayan Samudra milik tiga orang, yaitu, Darvin Jimmytat Sumiati sebagai direktur utama sekaligus pemegang saham mayoritas, Hansen Davin dan Suriati sebagai komisaris. Jenis usaha perusahaan mulai dari penangkapan hingga pengolahan hasil tangkap.
Menurut data tertera dalam website Dephub.go.id Sumber Nelayan Samudra memiliki 29 kapal dengan Grasstone mulai dari 81 GT hingga 187 GT. Produk utama perusahaan perikanan ini adalah cumi atau sotong. Pasar utama ekspor cumi atau sotong mereka ke Vietnam dan Korea Selatan.
Mongabay juga upaya konfirmasi kepada PPN Pengambengan Syahbandar Pelabuhan Benoa, Bali dengan mengirimkan surat permohonan wawancara via surat elektronik dan pesan WhatsApp Selasa (6/5/25). Hingga tulisan terbit tak ada tanggapan.
Pengawasan dan penegakan hukum lemah
Akhir tahun lalu International Labour Organitation (ILO) bersama Badan Pusat Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merilis temuan survei mereka sejak Juli 2024. Survei ini berlokasi di 18 pelabuhan perikanan di Indonesia, Benoa, salah satunya.
Senada dengan fakta di atas temuan itu juga mengungkap sengkarut proses rekrutmen AKP beberapa perusahaan perikanan di Indonesia. Beberapa temuan survei mengkonfirmasi apa yang terjadi dengan Seban Jayadi, Fathullah dan mungkin AKP lain.
Dalam temuan itu memotret beberapa masalah yang terjadi pada pekerja perikanan. Pertama, sistem rekrutmen. Dalam survei itu mereka temukan sistem rekrutmen AKP tak sesuai ketentuan pada PP Nomor 22/2022, terutama Pasal 43 yang mengatur tentang maining agency.
Berdasarkan temuan survei, masih banyak terjadi rekrutmen ilegal oleh perusahaan dengan gunakan perantara atau calo atau orang kepercayaan perusahaan semisal kapten kapal dan lain-lain.
Kedua, terkait kontrak kerja tak transparan dan tak bisa AKP pahami. Ketiga, waktu kerja yang tak manusiawi, menurut temuan survei terjadi kelebihan waktu kerja dari waktu yang sudah Kementerian Kelautan dan Perikanan tentukan. Seperti dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 42/2016 yaitu 44 jam seminggu atau 6-7 jam sehari.
Keempat, mengenai pengupahan tak sesuai Permen KKP Nomor 33/2021. Kelima, sebagian besar AKP tak memiliki jaminan sosial. Juga ketersediaan alat pelindung diri (APD), yang paling parah dari hasil temuan survei itu adalah masih ada AKP kategori bawah umur.
Berdasarkan pengalaman mendampingi AKP di Benoa selama dua tahun lebih, Farid Rasyid dari Destructive Fishing Watch (DFW) mengatakan, masalah-masalah itu sudah seperti lingkaran setan karena terus berulang berawal dari pola perekrutan yang tak jelas.
“Semua berawal dari cara perekrutan yang hingga hari ini tidak jelas,” katanya melalui sambungan telepon.
Meski pola perekrutan sudah ada dalam regulasi melalui PP Nomor 22/2022 tetapi tak banyak perusahaan menerapkan aturan itu. Kebanyakan perusahaan pakai jalan pintas pakai tenaga calo bahkan kapten kapal yang perusahaan modali untuk mencari calon AKP.
Farid bilang, upah tak jelas, jaminan sosial dan kesejahteraan pekerja lain karena beberapa faktor, seperti pengawasan lemah dan tidak ada tindakan atas pelanggaran-pelanggaran oleh perusahaan. Belum lagi, pengetahuan AKP minim tentang hak-hak mereka sebagai pekerja.
“Kalaupun mereka mau melapor kadang mereka takut, karena mendapatkan intimidasi dari pihak perusahaan.”
Dia berharap, ada sinergisitas antara KKP dengan Kementerian Ketenagakerjaan melalui regulasi yang jelas.
“Jangan sampai regulasi tumpang tindih dan terkesan saling melempar tanggung jawab,” pinta Farid.

*Karya jurnalistik ini didukung Environmental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli lewat program beasiswa liputan bertajuk “Jurnalis Kelautan: Pelatihan & Beasiswa Liputan 2025”
*******