- Lima dari enam spesies primata yang ditemukan di Kepulauan Mentawai, Indonesia, telah diburu secara tradisional; kepercayaan adat melarang pembunuhan spesies keenam, yaitu bilou (owa mentawai atau Kloss’s Gibbon).
- Dengan maraknya deforestasi dan semakin lunturnya praktik-praktik tradisional yang mengatur perilaku berburu, semua primata di kepulauan ini, jenis-jenis primata kini tergolong terancam punah atau sangat terancam punah.
- Malinggai Uma Tradisional Mentawai, sebuah organisasi akar rumput yang dipimpin oleh masyarakat adat, bekerja sama dengan komunitas berrtujuan untuk melindungi primata berdasarkan adat dan kebiasaan masyarakat Mentawai.
- Lapangan kerja yang terbatas di Mentawai telah mendorong perburuan dan perdagangan satwa ilegal yang berorientasi kepada keuntungan.
Saat malam menyelimuti hutan Siberut, suara api yang menyala terdengar dari rumah kayu (uma) milik klan Tateburuk. Dinding-dinding rumahnya dipenuhi ukiran tradisional Mentawai yang bergambar makhluk-makhluk hutan seperti burung, kadal, monyet, dan owa.
Damianus Tateburuk (43) yang akrab disapa Dami, melirik ke arah puluhan tengkorak primata yang tergantung di bingkai pintu. “Itu adalah persembahan,” ujarnya. “Mereka membersihkan uma dari roh-roh jahat.”
Suku Mentawai, masyarakat adat yang mendiami Kepulauan Mentawai di lepas pantai barat Pulau Sumatera, Indonesia, adalah para pemburu. Primata endemik di kepulauan ini telah lama menjadi sasaran utama.
Lima dari enam spesies primata di Kepulauan Mentawai secara tradisional diburu: simakobu (lutung ekor babi, Simias concolor), joja pagai (lutung mentawai, Presbytis potenziani), joja siberut (lutung siberut, Presbytis siberu), bokkoi (kera pagai, Macaca pagensis), dan bokkoi siberut (kera siberut, Macaca siberu). Satu-satunya primata yang secara adat tidak diburu adalah bilou (owa mentawai, Hylobates klossii).
“Berburu bilou itu dilarang,” ujar Dami, sambil menjelaskan peran bilou sebagai pembawa pesan spiritual dalam kepercayaan Mentawai. “Nyanyiannya memberi peringatan akan pertanda buruk, bencana, bahkan kematian.”
Dami tumbuh sebagai seorang pemburu ulung. Namun seiring waktu, ia mulai menyadari bahwa primata di kepulauan ini semakin sulit ditemukan. Pada tahun 2013, bersama ketiga temannya—Ismael Saumanuk, Vincent Tateburuk, dan Mattheus Sakaliou—ia mendirikan organisasi Malinggai Uma, namanya berasal dari nama seorang leluhur adat. Tujuan yayasan ini adalah untuk melindungi satwa dan hutan tempat mereka tinggal.

Primata Endemik Mentawai di Bawah Tekanan
Saat ini, keenam spesies primata endemik Kepulauan Mentawai tercantum sebagai terancam punah atau sangat terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. Populasinya pun menurun drastis.
Laporan tahun 2020 memperkirakan jumlah simakobu telah menurun sebesar 80-90% dalam 36 tahun terakhir. Bilou, satu-satunya kera di Mentawai, mengalami penurunan populasi lebih dari 50% dalam 45 tahun, namun tetap menjadi salah satu owa yang paling sedikit diteliti di dunia.
“Penelitian tentang owa mentawai [bilou] masih sangat minim, meskipun ini adalah salah satu spesies paling langka yang sangat membutuhkan perlindungan segera,” kata Mariani “Bam” Ramli, pendiri LSM Gibbon Conservation Society yang berbasis di Malaysia.
Perburuan diduga menjadi salah satu penyebab penurunan ini. Studi tahun 2014 memperkirakan antara 4.860 hingga 9.720 primata diburu setiap tahun hanya di Pulau Siberut saja — atau sekitar 6-22% dari populasi lokal.
Secara tradisional, berburu di Mentawai diatur oleh aturan ketat yang didasarkan pada kepercayaan tradisional, yang membantu mencegah perburuan berlebihan dan melindungi bilou. Namun, kepercayaan tersebut kini mengalami perubahan.


Penelitian menunjukkan bahwa terkikisnya budaya Mentawai dan nilai-nilai kepercayaan pada leluhur melemahkan hukum adat yang sebelumnya mengatur perilaku berburu.
“Perburuan telah berubah dari aktivitas tradisional subsisten menggunakan panah beracun menjadi aktivitas yang lebih bersifat oportunistik,” ujar Rizaldi Rizaldi, seorang ahli biologi konservasi dari Universitas Andalas di Sumatra, yang bekerja sama dengan komunitas Mentawai untuk mempelajari dan melindungi primata endemik.
Ancaman besar lain bagi primata Mentawai adalah hilangnya habitat. Penebangan kayu secara komersial meningkat pesat pada 1970-an, dan meski sebagian wilayah Siberut telah ditetapkan sebagai taman nasional pada 1990-an, kerusakan hutan masih berlangsung dengan laju yang mengkhawatirkan.
Izin penebangan yang dikeluarkan pemerintah, yang kadang diberikan tanpa persetujuan Masyarakat Adat, telah membuka hutan secara luas untuk eksploitasi komersial.
Penebangan skala kecil, baik yang legal maupun ilegal, juga umum terjadi dan menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat lokal.
“Sinergi antara penebangan dan perburuan sangat merusak,” ujar Rizaldi. “Penebangan tidak hanya menghancurkan habitat, tetapi juga membuka akses ke wilayah terpencil, sehingga perburuan menjadi lebih mudah dan meluas.”
Meskipun belum terdokumentasi dengan baik, terdapat laporan tentang perdagangan ilegal bilou sebagai hewan peliharaan di luar Mentawai. Para konservasionis memperingatkan bahwa meskipun tingkat penangkapan rendah, terutama pada bayi primata, hal ini dapat semakin mengancam populasi yang sudah rentan.

Antara Tradisi dan Kebutuhan Bertahan Hidup
Di hutan Siberut bagian selatan, udara sangat lembap dan lantai hutan licin oleh lumpur. Dari kejauhan terdengar suara gergaji mesin yang datang dari berbagai arah. Dami menyimpang dari jalur, membawa parang di tangan, dan yang lain mengikuti melewati semak belukar yang rimbun.
Tak lama mereka berhenti: tumpukan kayu segar hasil tebangan segar tergeletak di tanah, menunggu untuk diangkut keluar.
“Mereka biasanya berhenti saat tahu kita sedang patroli,” kata Vincent sambil mengerutkan kening.
Dalam perjalanan keluar dari hutan, tim bertemu dua wajah yang sudah dikenal: sepasang suami istri dari desa terdekat, duduk di atas batang kayu dengan gergaji mesin di kaki mereka.
Menurut Dami, penebangan ilegal skala kecil didorong oleh permintaan dari industri pariwisata selancar yang berkembang di Mentawai.
“Anda bisa mendapatkan Rp 3 juta untuk 20 potong kayu meranti. Resort-resort mengaku tidak tahu dari mana asal kayu itu,” kata Dami. “Tapi mereka sebenarnya tahu.”
Malinggai Uma Tradisional Mentawai kini memiliki tujuh anggota inti. Mereka memantau dan mendukung penelitian tentang populasi primata, berpatroli di hutan, membersihkan jerat, serta meningkatkan kesadaran tentang pelestarian primata di desa-desa setempat.
Bagi mereka, primata memiliki makna spiritual yang mendalam, terutama bilou. Dalam kosmologi Mentawai, bilou dianggap sebagai hewan yang paling dekat dengan manusia, dan menjadi pusat dalam mitos, cerita, serta seni.

Sikerei, para tabib tradisional yang memiliki status penting dalam komunitas Mentawai, memanggil bilou dalam beberapa ritual dengan menirukan suara dan gerakannya melalui nyanyian dan tarian.
Bilou pun dianggap sebagai “penjaga hutan,” yang mengawasi aktivitas manusia di hutan dan memperingatkan manusia saat terjadi sesuatu yang tidak beres.
Ukiran tradisional menunjukkan bilou dan primata lain dalam berbagai situasi: bergelantungan, makan, buang air besar. Menurut Ismael, ini melambangkan peran mereka dalam ekologi hutan.
“Semuanya saling terhubung,” katanya. “Jika kita tidak punya primata, kita tidak punya hutan, dan jika tidak ada hutan, maka tidak ada Mentawai.”
Tim menaiki perahu longtail menuju desa Bekkeilu, di mana Dami telah mengatur pertemuan dengan kepala desa. Ini adalah pertemuan kedua mereka. Pada pertemuan pertama, Dami mengatakan ia mendorong kepala desa agar menyuarakan penolakan terhadap bentuk perburuan yang melanggar adat tradisional.
Mereka duduk di beranda kayu bersama beberapa warga komunitas. Kepala desa mengatakan warga belum menganggap serius hal ini. Saat Dami mulai berbicara tentang pelestarian primata, seorang pria berdiri, mengambil senjatanya, dan pergi.
“Kenapa kamu begitu peduli dengan primata?” tanya seorang pria lain. “Kamu bukan penciptanya.”

Kemiskinan sangat meluas di Kepulauan Mentawai, dan bagi banyak orang, penebangan kayu dan perburuan dianggap sebagai cara untuk bertahan hidup. Hal ini terkadang menimbulkan ketegangan antara tim Malinggai dan anggota komunitas lainnya.
Namun, tidak semua orang bersikap menolak. “Kami perlahan-lahan mengubah pemikiran beberapa orang,” kata Dami. Sebagai bagian dari kegiatannya, organisasi ini saat ini bermitra dengan tiga dewan desa, memantau populasi primata dan berbagi pengetahuan melalui pertemuan desa.
Mereka juga bekerja sama dengan guru-guru di 12 sekolah negeri di Mentawai untuk mendidik anak-anak tentang teori dan praktik pelestarian hutan. Tujuannya, –yang didukung riset, bukan untuk menghilangkan perburuan seremonial yang bagi banyak orang merupakan bagian integral dari budaya adat, dengan cara menggunakan metode tradisional: yaitu menggunakan busur dan panah alih-alih senapan.
“Penting untuk mengajarkan generasi muda tentang pentingnya primata dan perlindungan hutan,” kata Ismael, menambahkan bahwa anak-anak muda cenderung lebih menerima gagasan ini. “Anak-anak saya sangat tertarik dengan konservasi,” ujarnya dengan bangga.



Masa Depan Konservasi Primata
Tim Malinggai memiliki tujuan jangka panjang. Dami mengatakan dia berharap dapat menetapkan kawasan lindung di tanah klan Tateburuk dan membangun pusat rehabilitasi untuk primata lokal yang diselamatkan.
Dengan pendanaan yang cukup, dia ingin merekrut para pemburu sebagai penjaga hutan sekaligus pendidik.
“Para pemburu adalah yang paling tahu tentang primata,” katanya. “Dan begitu mereka memiliki pendapatan, kita bisa mulai mengubah pola pikir mereka.”
Malinggai Uma Tradisional Mentawai merupakan bagian dari jaringan kecil upaya konservasi primata berbasis masyarakat di wilayah tersebut, dan unik karena sepenuhnya dipimpin oleh masyarakat adat.
Dengan pendanaan yang terbatas, pekerjaan mereka masih rentan, bergantung sebagian besar pada dukungan komunitas dan dedikasi anggota. Meski demikian, upaya mereka telah menarik kemitraan dengan organisasi nasional dan internasional seperti Gibbon Conservation Society, yang memberikan dukungan teknis dan sumber daya.

“Visi kami selalu agar mereka menjadi yang memimpin jalan,” kata Ramli dari Gibbon Conservation Society. “Ini adalah rumah mereka, hutan mereka, dan masa depan mereka.”
Konservasi yang dipimpin oleh komunitas sangat penting dalam konteks ini, ujar Rizaldi dari Universitas Andalas. “Ide konservasi harus datang dari mereka sendiri, bukan dipaksakan oleh pemerintah,” katanya.
Di saat yang sama, ia menekankan perlunya reformasi dari atas ke bawah: “Memperkuat perlindungan hutan, merancang ulang tata guna lahan untuk memasukkan zona konservasi, dan menyediakan alternatif ekonomi yang berkelanjutan sebagai pengganti penebangan dan perluasan kelapa sawit.”
Tanpa perubahan ini, katanya, “Kita berisiko kehilangan bukan hanya primata, tetapi juga integritas ekologi dan budaya Kepulauan Mentawai.”
Marcel Quinten, mantan primatolog dari German Primate Center yang telah memimpin penelitian mendalam tentang primata Mentawai, mengatakan bahwa praktik yang baik adalah “membujuk” orang untuk berhenti berburu dengan menyediakan alternatif pendapatan sosial-ekonomi.
Pandangan jangka panjang untuk beberapa spesies mungkin suram, namun data yang lebih baik sangat dibutuhkan agar bisa mendapat kepastian.

“Saat ini adalah waktu yang tepat untuk melanjutkan kerja sensus sistematis yang kami lakukan sepuluh tahun lalu dan mendapatkan gambaran yang baik serta dapat diandalkan mengenai bagaimana kepadatan dan kelimpahan primata berubah dari waktu ke waktu dan per spesies,” kata Quinten.
Jika tren kehilangan habitat dan penurunan populasi terus berlanjut, di menyebut, “Saya kira setidaknya untuk Simias concolor (simakobu) dan owa mentawai (bilou), kondisinya kurang menggembirakan.”
Di rumah, Dami menggendong bayinya sementara putrinya yang berusia 5 tahun dengan riang bermain ayunan di hammock. Ruangan dipenuhi mainannya. Di atas mereka, sebuah poster primata mentawai tergantung di dinding.
“Saya hanya ingin anak-anak saya tumbuh besar sambil melihat dan mendengar primata kami,” kata Dami.
Artikel ini pertamakali diterbitkan di sini pada tanggal 15 Mei 2025. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi
Quinten, M., Stirling, F., Schwarze, S., Dinata, Y., & Hodges, K. (2014). Knowledge, attitudes and practices of local people on Siberut Island (West-Sumatra, Indonesia) towards primate hunting and conservation. Journal of Threatened Taxa, 6(11), 6389-6398. doi:10.11609/JoTT.o3963.6389-98
Setiawan, A., Simanjuntak, C., Saumanuk, I., Tateburuk, D., Dinata, Y., Liswanto, D., & Rafiastanto, A. (2020). Distribution survey of Kloss’s gibbons (Hylobates klosii) in Mentawai Islands, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 21(5), 2224-2232. doi:10.13057/biodiv/d210551
Whittaker, D. J. (2006). A conservation action plan for the Mentawai primates. Primate Conservation, 20, 95-105. doi:10.1896/0898-6207.20.1.95
Setiawan, A., & Tateburuk, D. (2023). Calling from the wild: Mentawai Gibbon Conservation fieldwork. In S. M. Cheyne, C. Thompson, P.-F. Fan, & H. J. Chatterjee (Eds.), Gibbon Conservation in the Anthropocene (pp. 124–130). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/9781108785402.010
Anas, Y., Rahmahdian, R., Hidayat, A. M., & Djuarni, W. (2024). Characteristics and potential of the extreme poor in the Mentawai Islands Regency, West Sumatra Province. ISAR Journal of Economics and Business Management, 2(5), 7-18. doi:10.5281/zenodo.11407140