- Komunitas Punan Batu Benau, di Kalimantan Utara, hidup bergantung hutan. Mereka pun mendapatkan Kalpataru, penghargaan sebagai penjaga lingkungan. Komunitas ini sudah mendapatkan pengakuan dan perlindungan wilayah adat dari surat bupati.
- Masyarakat adat ini berupaya hutan adat tetap terjaga. Sayangnya, ancaman datang dari luar, perambahan terjadi dari pembalakan liar sampai hutan berubah jadi kebun sawit.
- Kini, komunitas ini mulai merasakan dampak dari hutan adat yang perlahan hilang,sumber pangan mereka dari buah-buahan, umbi sampai hewan buruan mulai sulit didapat.
- Untuk memperkuat perlindungan terhadap wilayah dan hutan adat, Masyarakat Punan Batu Benau, sedang mengajukan penetapan hutan adat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Heri melangkah dengan cepat di atas batang pohon rebah. Di ujung batang kayu sebesar drum itu, dia melompat. Pohon-pohon besar menyambut bak gerbang dan penanda bahwa mereka segera memasuki hutan adat Benua Sajau di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Pria 30 tahunan ini adalah warga Komunitas Punan Batu yang mendiami hutan di sekitar Gunung Benau. Sekitar tiga jam gunakan moda transportasi darat dan sungai untuk sampai di hutan itu dari Kecamatan Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan.
KomunitasPunan Batu Benau membangun pondok-pondok terpisah sepanjang Sungai Sajau. Mereka mencari penghidupan di tengah hutan.
“Di sinilah kami dulu mencari buah-buah hutan dan lepew,” kata Heri terus menyusuri hutan Februari lalu.
Lepew merupakan tumbuhan ubi-ubian hutan yang menjadi sumber karbohidrat Orang Punan Batu Benau. Bentuknya seperti jengkol, kalau dimakan bertekstur seperti umbi-umbian.
“Dulu, di sini lepew-nya banyak, sekarang sudah susah.”
Pohon-pohon besar nun rapat menahan cahaya matahari untuk langsung menyengat kulit Heri ketika menyusuri hutan. Suara burung terdengar saling bersahutan.
Bersama Rafa, saudaranya, Heri sesekali memeriksa sisi atas pohon di hutan, berharap ada buah-buah hutan masak.
Bagi warga Punan Batu Benau Sajau, buah-buahan dan umbi-umbian adalah sumber pangan utama. Kalau tidak sedang musim buah, orang Punan Batu Benau akan mencari umbi-umbian, begitupun sebaliknya. Itu cara mereka bertahan sebagai pemburu-peramu terakhir di Pulau Kalimantan.
Setelah berjalan sekitar satu kilometer tanpa mendapatkan buah satu pun, langkah Rafa terhenti. Heri mengikuti di belakang. Pohon-pohon besar mulai berkurang dan sebagian ada yang tumbang.
Heri dan Rafa memandang hamparan di depannya. Ada tanaman sawit ada di situ. Bahkan beberapa sawit ada yang sudah berbuah. Bibit sawit terlihat di sisi depan kanan mereka.
“Sejak ada sawit itu, buah-buah di sekitar sini mulai berkurang,” keluh Heri.
Mereka tak tahu siapa yang menanam di hutan adat mereka. Tanaman sawit itu sudah berusia lebih dua tahun.
Seiring waktu, sawit muncul dan pembukaan kawasan kian bertambah merambah hutan adat Punan. Pohon-pohon tumbang dan bukaan lahan baru kerap mereka temukan tiap tahun. Kondisi ini membuatnya khawatir soal nasib Orang Punan Batu kalau hutan terus berkurang.

Was-was hutan Punan perlahan ‘hilang’
Hasil riset Cambridge University Press edisi Februari 2022 mencatat, Komunitas Punan Batu Benau merupakan kelompok manusia terakhir di Pulau Kalimantan yang menerapkan cara hidup prasejarah, berburu dan meramu. Penelitian ini menjelaskan kehadiran hutan sangatlah penting bagi Orang Punan.
Sebenarnya, Komunitas Punan Batu sudah diakui pemerintah. Sudah ada Keputusan Bupati Bulungan Nomor 188.45/319/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Punan Batu Benau Sajau di Kabupaten Bulungan.
Beleid aturan itu menjelaskan, hutan adat Komunitas Punan Batu Benau seluas 18.360 hektar. Ia terbagi untuk beberapa peruntukan, ada kawasan karst pegunungan Benau seluas 3.252 hektar, zona inti 5.423 hektar dan zona penyangga 9.683 hektar.
Dari pembagian zona itu, Komunitas Punan Batu Benau mengajukan hutan adat.
Komunitas Punan Batu Benau sedang berusaha mengajukan usulan hutan adat. Dengan hutan adat, Orang Punan diharapkan lebih leluasa menjaga hutan dan sumber pangan.
Legalitas pemerintah dapat menjadi acuan kalau terjadi ancaman terhadap hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Proses pengajuan hutan adat masih berjalan, begitu pula rasa takut kehilangan ruang hidup. Warga Punan Batu Benau kerap menjumpai bukaan hutan baru. Mulai dari pohon-pohon besar tempat sarang madu bersarang berkurang, hingga area berubah jadi perkebunan sawit.
Mongabay bersama Walhi Kalimantan Timur dan warga Punan Batu Benau, menelusuri kawasan hutan yang tergerus.
Kami melihat kayu tumbang lalu berganti sawit.

Orang Punan menyebut daerah itu Segagak. Dari pemeriksaan titik koordinat, bukaan hutan itu berada di dalam kawasan penyangga hidup Komunitas Punan Batu Benau, di sisi timur.
Kami juga datangi Kilo Lima Tujuh, begitu Komunitas Punan Batu Benau menyebutnya. Ia berada tak jauh dari jalan poros Berau-Bulungan, perbatasan Kalimantan Timur-Kalimantan Utara.
Orang Punan mengingat area itu banyak liang atau goa. Pemeriksaan titik koordinat menunjukkan area itu termasuk kawasan inti Komunitas Punan Batu Benau berada di sisi utara.
Heri mengatakan, bukaan hutan terparah di kedua lokasi itu. Analisis citra satelit sentinel dengan membuat data time series Juni 2022, Juni 2023, dan Mei 2024 pun menunjukkan perubahan lahan ini.
Pada Juni 2022, analisis menemukan bukaan hutan seluas 431,90 hektar, bertambah jadi 538,23 hektar pada 2023. Pada Mei 2024, hutan terbuka jadi 631,25 hektar.
Berdasarkan peruntukan wilayah, hutan berkurang di berbagai area. Zona inti, misal, analisis kawasan menemukan bukaan 103,27 hektar pada Juni 2022, bertambah jadi 131,67 hektar pada Juni 2023, dan naik lagi jadi 133,81 hektar pada Mei 2024.
Hutan hilang juga dapat ditemukan di zona penyangga. Analisis menunjukkan, bukaan hutan seluas 328,63 hektar Juni 2022, bertambah lagi jadi 406,56 pada Juni 2023, dan naik jadi 494,77 hektar Mei 2024.
Untuk zona karst pegunungan Benua, tidak ditemukan bukaan hutan dari Juni 2022-Juni 2023, baru terlihat pada Mei 2024 seluas 2,67 hektar.

Sumber kehidupan
Setelah tak menemukan buah dan melihat pohon tumbang, Heri pulang. Dia menuju hilir Sungai Sajau dengan perahu kayu bersama Rafa. Perahu runcing memanjang, cukup untuk empat orang.
Hampir satu jam mengemudi perahu mengikuti arus Sungai Sajau, kami tiba di gubuk. Anak Heri sudah menunggu. Sanak-saudara menanti di pondok, termasuk paman Asut, pria paruh baya merupakan tetua Komunitas Punan Batu Benau.
Asut tak banyak bergerak ketika Heri datang. Kondisi kesehatannya menurun. Tenaga Asut juga sudah tak begitu prima. Untuk berjalan menjumpai Heri sudah tak begitu kuat.
Dia hanya duduk di pondok yang berukuran sekitar dua meter persegi itu.
Dia cerita pengalaman menjelajahi hutan Benau Sajau puluhan tahun lalu. Dia terkenal pandai memanjat pohon setinggi lebih 50 meter, bertelanjang kaki dan memanen madu-madu hutan.
“Pokoknya kalau namanya Punan, Punan Batu Benau ini, di situ kita cara bertahan kalau ada hutan,” kata Asut.
Orang Punan, katanya, hanya mencari apa yang diberikan hutan, tanpa menanam atau juga berternak. Orang Punan Batu Benau meyakini buah-buahan, umbi-umbian dan hewan di dalam hutan adalah berkah dari Tuhan yang harus dijaga.
Asut, juga orang-orang Punan Batu Benau sudah tahu di mana lokasi ada tumbuhan buah, umbi-umbian dan hewan berada. Misal lepew, satu jenis ubi-ubian itu dapat ditemukan di sekitar gua-gua Gunung Benau. Dari zonasi yang ditetapkan pemerintah, area itu termasuk kawasan Karst Pegunungan Benau. Citra peta menunjukkan bentuk karst menyerupai ikan paus.
Lepew susah ditemukan di lokasi yang baru Heri kunjungi–tempat Heri melihat sawit dan pohon tumbang, Dulu, di area itu tempat buah-buahan. Ada juga sarang madu.
Lokasi seperti itu tidak hanya satu, ada ratusan titik di Hutan Benau Sajau.
“Maka banyak tempatnya kalau kami cari buah musim buah itu, kalau ini kan ada tempatnya, kaya’ pasi dan sejenis rambutan ada tempatnya,” kata Asut.

Di mana ada sumber makanan di hutan, di situ Orang Punan berada. Orang Punan, kata Asut, akan menjelajah hutan untuk mencari makan, bergerak dari satu titik ke titik lain. Pondok akan mereka bangun di dekat sumber pangan. Kalau sumber pangan sudah berkurang, Orang Punan akan berpindah ke titik lain, tak terkecuali dengan pondoknya.
Asut mengatakan, kondisi hutan berubah. Pohon-pohon mulai berkurang, bukaan hutan kian bertambah. Madu hutan dan pohon-pohon tempat lebah bersarang pun, katanya, mulai menurun.
Hewan-hewan, kata Asut, juga sudah sukar didapat, seperti babi. Sejak 1999, masa pandemi COVID-19, babi tak lagi ada di Hutan Benau Sajau. Hampir lima tahun, Orang Punan Batu Benau tak pernah makan babi.
Asut bingung dan bertanya-tanya. “Mengapa babi tak ada lagi di dalam hutan?”
Kondisi ini membuat Asut khawatir. Dia memikirkan nasib anak cucu Punan Batu Benau ke depan.
Berbagai upaya agar hutan tak beralihfungsi telah Asut lakukan. Mulai berkomunikasi dengan masyarakat hingga pertemuan dengan pemerintah. Asut tak ingat berapa kali perjumpaan bersama pemerintah. Bukaan hutan baru kerap ditemukan tiap tahun.
Asut tak mengerti lagi harus berbuat apa untuk menghentikan hutan yang terus tergerus.
“Nggak tahu gimana nasib hidup Punan kalau begitu terus, makin tahun tetap nggak ada penyetopan pembabatan, perkebunan, yang jual, yang ini,” ucap Asut.

Menanti penetapan Hutan Adat Batu Benau
Di tengah keteranaman hutan adat, Komunitas Punan Batu Benau sedang mengupayakan penetapan hutan adat ke negara. Usulan sudah mereka ajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 4 Juni 2024. Momentum itu bertepatan ketika Masyarakat Adat Punan Batu menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah pusat.
Adwin, Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Bulungan, mengatakan, langkah yang ditempuh pemerintah daerah melindungi Komunitas Batu Benau dengan mengakui keberadaannya, baik ruang hidup dan wilayah jelajah Punan Batu Benau. Pemerintah Bulungan, telah mengakui Punan Batu, tahap selanjutnya memfasilitasi permohonan hutan adat ke pemerintah pusat.
Linda Novita Ding, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda Sub Koordinator Hutan Adat, Dinas Kehutanan Kaltara, membenarkan usulan ini. Dia mengatakan, pemerintah pusat sedang verifikasi dokumen usulan Hutan Adat Punan Batu. Setelah verifikasi, pemerintah akan verifikasi teknis lapangan.
“Sementara ini menunggu kesiapan jadwal verifikasi teknis lapangan oleh tim verifikasi yang ditunjuk Bu Menteri,” katanya.
Batas waktu jadwal verifikasi lapangan tidak bisa dipastikan. Walaupun validasi administrasi usulan hutan adat telah memenuhi syarat, tidak serta merta verifikasi lapangan langsung jalan.
“Berkaitan dengan kesiapan, baik biaya dan waktu dari kementerian, mengingat agenda kerja untuk se-Indonesia,” katanya.
Bastiang, Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat, Dishut Kaltara, menyebutkan, sebagian besar wilayah Punan Batu Benau itu merupakan perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) Inhutani dan area penggunaan lain (APL).
“Kalau APL itu kan tergantung dari tata ruang kabupaten,” kata Bastiang.

Untuk persoalan wilayah di kawasan hutan, katanya, bukan menjadi kewenangan mereka dalam pengawasan. “Itu kewenangan kabupaten.”
Dia menduga, pembukaan hutan di wilayah Punan Batu, terjadi di APL. Dia berdalih, melakukan pengawasan sesuai kewenangan Pemprov Kaltara.
Fatur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim menyayangkan, pembiaran pembukaan hutan di wilayah Punan Batu Benau. Seharusnya, katanya, pembukaan hutan itu dapat diberhentikan.
Dia mendesak, pemerintah agar menyetop penyerobotan hutan yang menjadi ruang hidup Komunitas Punan Batu Benau.
“Kalau dibiarkan terus-menerus, berarti Komunitas Punan Batu Benau bisa hilang,” kata Iqin, sapaan akrabnya.
Sebagai komunitas yang masih menerapkan pola hidup berburu dan meramu, hutan sangat penting bagi Orang Punan Batu Benau.
Iqin khawatir, pembiaran pembukaan hutan di area jelajah Punan Batu Benau akan mempersempit ruang hidup mereka. Apalagi, komunitas ini sedang memperjuangkan hutan adat.
“Pemerintah harus serius. Jika terjadi pembiaran, lalu bagaimana nanti proses verifikasi hutan adatnya kalau hutan nggak ada?” keluh Iqin.
*****
Masyarakat Punan Adiu, Setia Menjaga Kearifan Lokal dan Hutan Adatnya