- Mayoritas nelayan Bintan, Kepri menggunakan alat tangkap Kelong Apung untuk menangkap ikan bilis dan sotong memenuhi permintaan pasar.
- Desa Pengudang menjadi salah satu desa yang kebanyakan masyarakatnya merupakan nelayan kelong apung.
- Banyak tantangan nelayan kelong apung, dari hasil yang tidak menentu hingga ancaman pencurian alat penting di atas kelong.
- Sekarang mereka harus berhadapan dengan naiknya harga solar. Kelong apung salah satu alat tangkap yang menggunakan solar menjadi modal utama.
Air laut mulai surut ketika itu di pesisir Pantai Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Berbeda dengan pesisir pantai lainnya, di desa ini pengunjung pantai disuguhkan pemandangan laut yang dipenuhi pondok-pondok terapung.
Pondok kecil itu berukuran sekitar 2×3 meter. Sebagian pondok atapnya terbuat dari daun pohon kelapa. Dindingnya berasal susunan kayu yang di paku. Selain itu lantainya juga terbuat dari kayu.
Semakin petang air laut semakin surut. Pondok-pondok kecil ini tidak lagi mengapung. Drum-drum penahan mulai menyentuh dasar pantai. Begitu juga jangkarnya semakin jelas nampak tertambat di dasar laut. “Itu alat tangkap nelayan, namanya kelong apung,” kata Chairuddin (25 tahun) warga Desa Pengudang, Bintan, siang itu.
Pria yang akrab disapa Udin ini bercerita masyarakat Desa Pengudang rata-rata melaut menggunakan kelong apung untuk menangkap ikan.
Kelong Apung yang Sering Dicuri
Deru mesin pemotong kayu terdengar keras dari salah satu pondok apung kelong nelayan. Bunyi itu berasal dari kelong nelayan, bernama Sukadi.
Sukadi terlihat sibuk memperbaiki bagian lantai kayu kelongnya yang rusak. Demi keamanan di laut ia mengganti kayu sudah lapuk dengan yang baru. “Ini bagian perawatan, biar umur kelong bertahan lama,” katanya.
Di atas kelongnya itu, Sukadi bercerita panjang lebar perjuangannya menjadi nelayan, hingga masalah-masalah yang dihadapinya. Dia sudah melaut sejak umurnya masih enam tahun, diajak ayahnya mencari ikan di perairan Bintan.
Sukadi melanjutkan profesi orang tuanya. Meskipun beberapa waktu lalu dirinya sempat berpikir ingin berkebun di rumahnya. “Dulu sempat mencoba berkebun tetapi hati tetap ingin melaut,” katanya.
Dengan modal yang dikumpulkannya ia membangun Kelong Apung. “Saya pikir yang penting punya alat sendiri, bisa untuk makan keluarga sudah aman itu,” kata pria 41 tahun itu.
baca : Tangkul Pelantar, Cara Santai Nelayan Pesisir Batam Tangkap Ikan
Harga membangun satu kelong ini bukan murah. Sukadi harus mengeluarkan uang sekitar Rp120 juta lebih atau sebanding dengan satu unit mobil Daihatsu Sigra atau Daihatsu Ayla. “Kalau sekarang sudah lebih mahal lagi, bisa jadi Rp150 juta lebih,” katanya.
Mahalnya harga kelong membuat barang satu ini sulit dilepaskan kepada orang lain. Banyak kasus yang terjadi, kelong hilang di tengah laut ketika dibawa oleh orang kepercayaan pemilik. “Mereka jual di tengah laut, dijual ke orang Singapura lah, macam-macam,” katanya.
Kondisi itu membuat Sukadi tidak berani membangun kelong lagi. Ia belum menemukan orang yang amanah dan jujur untuk membawa kelong apung tersebut. “Adapun aturan, kalau tiba-tiba di tengah laut di jual ke orang lain gimana, mencari orang yang jujur susah sekarang,” katanya.
Selain itu banyak juga terjadi pencurian kelong di pesisir Kabupaten Bintan. Dalam penelitian dari Azira Prawinugraha, Jamil Latief dan Sugiono dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr. Hamka Jakarta berjudul Kajian ‘Faktor Pencurian Peralatan Vital Kelong Apung Nelayan Kelurahan Kawal Kabupaten Bintan,’ disebutkan, kehadiran nelayan kelong penting karena sebagai penyuplai ikan bilis dan sotong di pasar di Kabupaten Bintan. Namun, aktivitas nelayan kelong ini terhambat oleh aksi pencurian peralatan vital kelong.
Penelitian itu menyebutkan harus ada keterlibatan pemerintah dalam pemberdayaan nelayan kelong. Mulai dari peningkatan pengawasan laut, memberikan bantuan suku cadang, persiapkan teknologi keamanan dan melakukan pembahasan undang-undang mengenai tindakan pidana kawasan kemaritiman.
Sukadi menjelaskan, kayu menjadi bahan utama untuk membangun kelong. Untuk satu kelong apung modal kayunya bisa mencapai Rp20-30 juta. Belum lagi bahan lainnya, drum, mesin, jaring dan lainnya. Satu kelong apung harus memiliki sekitar 46 drum agar bisa mengapung. Selain itu jaringnya juga seluas 42 meter.
Sukadi berani beralih ke kelong apung daripada kelong cacak, karena kelong apung menurutnya lebih tahan lama. Diperkirakan alat tangkap ini bisa bertahan sampai lima tahun. Tentu dengan perawatan ekstra, seperti mengganti kayu yang lapuk. “Sedangkan kalau kelong cacak itu, satu tahun saja bertahannya, kalau diterjang angin utara rusak itu,” katanya.
Meskipun kelong apung terkenal kuat, Sukadi, tidak berani melaut ketika angin utara sedang kencang. Beberapa nelayan di Desa Pengudang, sudah pernah mengalami kelong apung mereka terbalik dan hancur dihantam angin utara.
baca : Bubu, Alat Tangkap Ikan Tradisional Ramah Lingkungan yang Digunakan Kembali di Flores Timur
Pendapatan Tidak Menentu
Kelong apung berbentuk sebuah rumah panggung. Di bagian tengah terdapat pondok kecil tempat nelayan berteduh dan juga memasak bilis hasil tangkapan. Jika tidak dimasak bilis akan busuk. “Bilis tidak bisa disimpan dalam es, jadi kita harus masak langsung,” katanya.
Kemudian di sekeliling pondok, terdapat kayu-kayu yang disusun membentuk lantai. Lantai itu memiliki tiang setinggi hampir dua meter ke drum di bawahnya. Drum itulah yang membuat kelong ini terapung. Sedangkan jaring untuk menangkap ikan terdapat di bawah lantai, dengan lebar enam meter dan panjang tujuh meter.
Jaring tersebut yang akan diturunkan untuk menangkap ikan di permukaan laut. Dulu, menurunkan dan menaikan jaring dilakukan secara manual. Namun sekarang sudah menggunakan mesin berbahan bakar solar. “Karena sudah pakai mesin, saya tidak perlu anak buah lagi,” katanya.
Jaring kelong ini, diturunkan sekitar 10 meter. Setelah itu ditunggu beberapa saat dan diangkat ke permukaan. Target ikan yang dicari Sukadi adalah jenis ikan bilis atau ikan teri. “Tetapi apapun yang masuk diambil,” katanya.
Sukadi turun melaut ketika bulan gelap. Sedangkan ketika bulan terang kelongnya parkir di pantai begitu juga nelayan kelong lainnya. Setiap nelayan juga saling melaporkan kondisi ikan di laut.
Sukadi biasa berangkat melaut pukul 5 sore dan kembali 6 pagi. Proses pencarian bilis ini memang dilakukan pada malam hari. Kelong harus memiliki lampu yang terang. Lampu tersebutlah yang mengundang ikan berada di bawah kelong mereka kemudian terperangkap masuk ke dalam jaring.
Setiap kelong rata-rata memiliki dua mesin. Satu mesin untuk menarik jaring, satu lagi mesin untuk menghidupkan lampu. “Lampu ini mesinnya juga pakai solar, semakin terang lampu, semakin banyak ikan datang,” katanya.
Selama melaut, jika gelombang tidak kuat Sukadi bisa menurunkan jaring satu kali dalam dua jam. Sedangkan kalau gelombang kuat ia menurunkan jaring sekali empat jam.
Kelong ini sampai ke tengah laut bukan dengan mesin sendiri. Tetapi harus melalui jasa boat khusus. Boat itu tersedia di perairan Pengudang, khusus membawa kelong ke tengah laut untuk mencari ikan. Satu boat bisa menarik empat sampai enam kelong sekali jalan. “Cara bayarnya dengan pemilik boat, bagi hasil, 20 persen pendapatan kita untuk boat tarik itu,” katanya.
baca juga : Jaring Alat Tangkap Ikan Nelayan, Harga Naik Tapi Kualitas Turun
Hasil Laut Tidak Menentu
Dalam tiga bulan belakangan hasil tangkapan Sukadi menurun drastis. Nelayan tidak mengetahui penyebabnya. Mereka hanya bisa pasrah dan harus tetap melaut.
Sukadi bercerita, biasanya dalam satu bulan dirinya bisa membawa Rp20 juta. Tetapi tiga bulan belakangan mencari Rp5 juta sangat sulit. Biasanya katanya, 100 kilogram ikan bisa didapatnya. Sekarang mencari 10 kilogram sangatlah susah. Bahkan beberapa hasil tangkapan mereka nihil.
Meskipun hasil menurun, kata Sukadi, modal tetap saja harus dikeluarkan. “Kalau dapatnya 10 kg tidak cukup untuk menutup modal, rugi yang ada,” katanya.
Sukadi tidak berani membawa kelongnya ini ke laut perbatasan. Pasalnya sudah rapuh. Ia khawatir diterjang angin utara. “Apalagi sekarang, kita tidak tau cuaca tidak menentu,” katanya.
Jumlah kelong nelayan semakin banyak di Pesisir Desa Pengudang. Sedangkan ikan semakin berkurang, modal semakin naik (BBM solar naik). “Bahkan satu orang disini ada yang memiliki tujuh kelong,” katanya.
Sukadi sangat merasakan dampak kenaikan harga BBM. Biasanya ia hanya mengeluarkan biaya untuk membeli solar Rp1 juta lebih, sekarang harus membeli solar Rp2 juta lebih. Dia berharap, harga BBM solar diturunkan.
Kepala Desa Pengudang Kamali (58 tahun) mengatakan, mayoritas pekerjaan masyarakat di desa Pengudang adalah sebagai nelayan. Hasil tangkapan nelayan memang tidak menentu. “Kalau pendataan kami ada, tetapi kadang jumlahnya ada, kadang tidak, tidak menentu, ya namanya laut,” katanya.
Kamali mengatakan, nelayan pengudang sangat butuh perhatian pemerintah, selain soal BBM juga tentang akses dermaga masih minim di Desa Pengudang. Akibat dermaga tidak memadai nelayan terpaksa harus memikul hasil tangkapan sejauh 1 kilometer. “Sudah sejak 2010 kami minta, cuma dibangun panjangnya 120 meter, dibutuhkan itu setidaknya dermaga dengan panjang 300 meter,” katanya.