Hidup dalam Udara yang Tak Sehat
Dalam berbagai kesempatan saya menggambarkan bahwa salah satu tema terkait hidup di Jakarta dan sekitarnya adalah ‘asap dan sengsara’. Mereka yang menyukai sastra Indonesia klasik pasti tahu bahwa itu adalah plesetan dari judul novel terkenal karya Merari Siregar yang terbit seabad lampau, Azab dan Sengsara.
Sebagai orang yang aktif di dalam isu pengendalian tembakau dan hak-hak pejalan kaki, saya merasakan betapa warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya benar-benar dibekap oleh asap. Di negara yang paling toleran kepada para perokok ini, kepulan asap rokok bisa ‘dinikmati’ di mana saja. Di negara yang tertinggal dalam fasilitas transportasi publik ini, kepulan asap dari kendaraan bermotor dan sumber pencemaran lainnya adalah ‘keniscayaan’ yang harus dihadapi mereka yang sedang berada di ruang terbuka.
Mungkin lantaran selama beberapa dekade kondisi itu terus terjadi, saya mungkin juga semakin toleran. Saya tahu bahwa setidaknya 230.000 orang meregang nyawa di Indonesia gegara asap rokok setiap tahunnya. Demikian juga, setiap tahun lebih dari 123.000 orang Indonesia meninggal lantaran polusi udara. Tetapi angka-angka itu bisa dengan mudah dilupakan oleh siapapun, termasuk lolos dari genggaman benak saya di sebagian besar waktu. Sains atribusi (attribution science) kini sudah sedemikian majunya, sehingga kita bisa mendapati angka-angka itu dengan kepastian yang tinggi. Mereka yang menolak kenyataan itu biasanya karena belum paham, senang berdebat, atau sekadar membela kepentingan —kecanduan atau ekonomi— mereka saja.
Tentu saja, ratusan ribu nyawa yang hilang gegara asap itu bukan gambaran utuh. Masih ada jutaan warga yang sakit dan dirawat, kehilangan pendapatan, atau kehilangan kesempatan belajar. Kalau dihitung dengan saksama, Indonesia kehilangan ratusan triliun setiap tahunnya. Tetapi, lagi-lagi angka seperti itu bisa tidak ada artinya. Minoritas non-perokok seperti saya yang tetap duduk bersama kerabat, sahabat dan kolega yang sedang menikmati rokok mereka, dan para pejalan kaki seakan tetap rela diasapi ketika berada di ruang terbuka. Memeriksa indeks kualitas udara melalui Stasiun Pemantau Kualitas udara (SPKU) yang terpasang di beberapa tempat di Jakarta, termasuk di bundaran Hotel Indonesia memang dilakukan oleh sebagian pejalan kaki, tetapi apapun hasilnya, tetap saja perjalanan dilanjutkan. Bedanya mungkin hanya soal masker atau buff yang dipergunakan.
baca : Laporan Ungkap Polusi Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara
Mati rasa. Mungkin begitu yang dirasakan oleh sebagian besar warga, terutama kalau urusannya terkait dengan diri sendiri atau orang dewasa lainnya. Tetapi saya benar-benar tak bisa begitu kalau urusannya dengan nasib anak-anak. Betapa sengsaranya anak-anak Indonesia dalam urusan asap ini. Mayoritas lelaki dewasa Indonesia adalah perokok, sehingga mayoritas ayah adalah perokok. Dan mereka merokok di dalam dan di luar rumahnya. Pemandangan ayah menggendong bayi atau batita sambil mengepulkan asapnya bisa dijumpai setiap hari di negeri ini. Dan, kalau anak-anak itu lepas dari gendongan ayahnya untuk bermain di ruang terbuka, mutu udara yang buruk harus mereka terima juga. Mutu udara yang buruk juga diterima oleh mereka yang beruntung mendapat ayah yang bukan perokok tak pedulian. Tak ada pilihan yang baik buat anak-anak di perkotaan. Dan membayangkan itu semua, saya sungguh sedih dan sangat marah.
Jadi, ketika di pertengahan 2018 rekan-rekan aktivis mulai mendiskusikan tentang ide menggugat pemerintah daerah dan pusat terkait dengan mutu udara Jakarta, saya tak butuh waktu lama untuk menyatakan dukungan. Lewat proses beberapa bulan, akhirnya 32 nama masuk sebagai penggugat, yang lalu memberikan mandat kepada para pendekar hukum yang tergabung ke dalam Tim Advokasi Gerakan Ibukota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta). Secara bercanda, saya pernah bilang dalam pertemuan di antara para penggugat dan kuasa hukum bahwa kami pasti menang, karena kami berkoalisi dengan Semesta. Secara serius, kami semua tahu bahwa sains berada di pihak kami sepenuhnya.
Kemenangan yang Tak Disangka-sangka
Kemenangan tentu saja pasti berada di pihak kami, kalau pengadilannya berbasis sains semata. Bahkan, kalau seluruh produk konstitusi, legislasi dan regulasi dibaca secara lempang, kami juga yang bakal menang. Tetapi, kami semua mafhum, bahwa sangat mungkin hasil yang tak sesuai dengan ekspektasi bisa kami peroleh. Sepanjang mengikuti proses persidangan yang sangat panjang dan melelahkan—sebagian besarnya kemudian terjadi secara daring karena sergapan wabah COVID-19—saya tak merasakan optimisme.
Pesimisme terus merangkak naik, apalagi dengan penundaan pembacaan hasil sidang hingga delapan kali. Media massa dalam dan luar negeri yang terus meliput penundaan demi penundaan juga terus melaporkan, dan tak membuat saya merasakan optimisme sama sekali. Ketika media massa Timur Tengah, Al Jazeera, menuliskan berita bertajuk Ninth Time Lucky? Hopes for Decision in Jakarta Filthy Air Case, setelah pernyataan penundaan pembacaan keputusan yang kedelapan kalinya, saya tak bisa fokus pada kata lucky, melainkan pada filthy.
Jadi, sungguh saya terkejut ketika ‘doa’ Al Jazeera menjadi kenyataan. Saya tak mengikuti jalannya sidang itu, karena ada jadual diskusi menjelang tengah hari dengan seorang sahabat di tanggal keramat 16 September 2021 itu. Saya baru membuka WA Group kami pada pukul 12:48 dan saya sangat terkejut karena pesan yang terbaca pertama adalah dari salah satu pendekar hukum kami, yang berbunyi: “PARA PENGGUGAAAATTTT… Kalian MENANG….” Saya tergetar ketika membaca kiriman-kiriman pesan sejak awal pembacaan keputusan. Senang bukan kepalang lantaran pesimisme saya disangkal, dan prasangka saya dibuktikan salah. Hingga beberapa jam setelahnya, kami terus bertukar pesan, mengabarkan berbagai liputan media massa yang luar biasa cepatnya muncul.
baca : Kemenangan Warga atas Gugatan Pencemaran Udara Jakarta
Di tingkat nasional, berita tentang keputusan ini muncul melalui Mongabay Indonesia, BBC Indonesia, CNN Indonesia, Detik, Katadata, dan Kompas. Sementara, media massa asing juga tak kalah cepatnya memberitahukan keputusan mengejutkan ini ke seluruh dunia. Setidaknya ABC, Al Jazeera, CNA, CNN, DW, Independent, New York Times, Reuters, Washington Post hingga Mongabay.com menuliskan masing-masing satu berita terkait.
Semua berita itu mengabarkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Gugatan Warga Negara atas Pencemaran Udara Jakarta akhirnya memutuskan bahwa para pejabat negara yaitu, Presiden RI (Tergugat I), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Tergugat II), Menteri Kesehatan (Tergugat III), Menteri Dalam Negeri (Tergugat IV), dan Gubernur Provinsi DKI Jakarta (Tergugat V) bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran udara di ibu kota selama ini dan mengabulkan sebagian gugatan. Gubernur Banten dan Jawa Barat berstatus Turut Tergugat.
Di keputusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri dinyatakan: “Pertama, mengabulkan gugatan para tergugat sebagian. Kedua, menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum. Ketiga, menghukum Tergugat I untuk mengetatkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Keempat, menghukum Tergugat II untuk melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI, Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan pengetatan emisi lintas batas provinsi DKI, Banten dan Jawa Barat. Kelima, menghukum Tergugat III untuk melakukan pengawasan dan pembinaan kinerja Tergugat V dalam pengendalian pencemaran udara. Keenam, menghukum Tergugat IV untuk melakukan penghitungan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan Tergugat V dalam penyusunan strategi rencana aksi pengendalian pencemaran udara.” Demikian lanjut Zuhri.
Lalu, bagian akhir keputusan itu menyatakan: “Ketujuh, menghukum Tergugat V untuk: (a) melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap setiap ketentuan peraturan perundangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup; (b) menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan tentang pengendalian pencemaran udara; (c) menyebarluaskan informasi pengawasan dan penjatuhan sanksi berkaitan pengendalian pencemaran udara kepada masyarakat; dan (d) mengetatkan baku mutu udara ambien daerah untuk provinsi DKI Jakarta yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia lingkungan dan ekosistem termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedelapan, menghukum Tergugat V untuk: (a) melakukan inventarisasi terhadap baku mutu udara ambien, potensi pencemaran udara, kondisi meteorologis dan geografis serta tata guna lapangan dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar yang melibatkan partisipasi publik; (b) menetapkan status mutu udara ambien setiap tahunnya dan mengumumkannya kepada masyarakat; dan (c) menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara, dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar secara terfokus tepat sasaran dan melibatkan partisipasi publik.”
perlu dibaca : Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Jabodetabek
Pekerjaan Rumah Setelah Keputusan
Keputusan tersebut adalah langkah awal dari perbaikan mutu udara Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kepada pihak-pihak yang sinis menyatakan bahwa keputusan ini tak mengubah apapun, saya hanya ingin mengajak mereka memeriksa apa yang telah terjadi di dalam isu ini sepanjang proses pengadilan ini. Mohon diperiksa apa saja regulasi yang sudah berubah. Mohon pula diperiksa soal tumbuhnya kesadaran masyarakat atas isu-isu pencemaran udara, juga dukungan bagi kami semua sepanjang proses pengadilan ini. Sesungguhnya, dukungan yang tumbuh itu bukanlah buat kami, para penggugat, melainkan untuk seluruh masyarakat, termasuk generasi muda dan generasi mendatang.
Setelah keputusan ini, pekerjaan rumah masih menumpuk. Gubernur DKI Jakarta sudah menyatakan tidak akan banding atas putusan ini, dan itu merupakan permulaan yang baik. Alih-alih menghabiskan sumberdaya untuk melawan ilmu pengetahuan, kepentingan kesehatan dan keberlanjutan, sudah seharusnya langkah yang diambil adalah menjalankan keputusan tersebut dengan optimal. Itu termasuk meninjau semua sumber pencemaran udara secara saksama, lalu menekannya hingga tingkat minimal, bersama-sama dengan Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat yang memang menyumbang pencemaran itu. Kedua gubernur tersebut—dan gubernur-gubernur lainnya se-Indonesia—hendaknya juga melihat kembali seluruh hal yang mungkin dilakukan untuk melindungi warganya dari pencemaran udara. Gugatan ini bisa dijadikan pelajaran untuk mereka semua, sehingga tak perlu menunggu digugat untuk bertindak.
Harapan yang sama juga saya sematkan kepada Presiden Jokowi dan ketiga menterinya. Walaupun semua dinyatakan bersalah, sesungguhnya mereka menanggung hukuman yang sangat ringan—kalau keputusan itu mau dianggap sebagai hukuman. Menetapkan baku mutu udara ambien yang benar-benar melindungi kesehatan masyarakat dan ekosistem sesuai dengan ilmu pengetahuan mutakhir sesungguhnya bukanlah hukuman, lantaran demikianlah seharusnya peran pemerintah. Demikian juga supervisi, pengawasan, pembinaan, dan perhitungan dampak kesehatan. Itu semua sama sekali bukan hukuman, melainkan penegasan tentang tugas pemerintah pusat atas pemerintah daerah yang perlu ditegakkan. Apakah kami, mewakili masyarakat terdampak, meminta hal-hal yang berlebihan sehingga perlu ditolak dengan upaya banding?
Saya membayangkan Presiden Jokowi menengadah ke langit, melihat langit Jakarta yang jauh lebih kerap berwarna kelabu karena pencemaran itu. Lalu beliau menutup matanya, menghirup udara yang tak cukup segar, lalu ingatannya melayang ke tempat-tempat di Indonesia yang udaranya jauh lebih bersih daripada Jakarta. Rasa tak enak di hidung dan sedikit sesak di dadanya saya bayangkan akan membuat beliau berempati pada apa yang kami lakukan. Kalau dalam peristiwa yang saya bayangkan itu juga ditambahkan suara derai tawa cucu-cucunya yang manis, mungkin beliau akan bertanya-tanya juga soal udara seperti apa yang bakal mereka hirup ketika dewasa, kalau tak ada upaya memperbaiki mutu udara dari sekarang.
Dalam bayangan saya, beliau memutuskan bukan saja untuk tidak banding atas keputusan yang tepat itu, melainkan memerintahkan segala tindakan yang lebih kuat lagi untuk memperbaiki mutu udara—dan mutu lingkungan secara keseluruhan, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Terlalu optimis? Sangat mungkin. Tapi saya tak pernah juga menyangka bahwa gugatan kami ini bakal dimenangkan oleh pengadilan—sehingga sekarang bukan waktunya untuk bersikap pesimistik.
Para penggugat jelas akan terus bekerja sendiri-sendiri atau bersama-sama, sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, untuk memperbaiki mutu udara Jakarta dan kota-kota lainnya—baik di dalam maupun luar ruangan. Saya dan rekan-rekan penggugat jelas tak ingin ‘asap dan sengsara’ terus jadi tema kehidupan di Jakarta maupun kota-kota lainnya. Hanya apabila keinginan itu didukung oleh semakin banyak pihak, dan ditindaklanjuti dengan langkah nyata yang sesuai, maka mutu udara perkotaan di Indonesia akan terus membaik.
*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology pada Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis