- Pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan bakal lebih berat pada kemarau tahun ini. Sudahlah, berlangsung di masa pandemi Corona hingga lebih berisiko bagi warga, anggaran pengendalian karhutla juga terpotong.
- KLHK fokus penanggulangan karhutla pada tujuh provinsi prioritas, yakni, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan kepala daerah dengan wilayah rentan karhutla untuk waspada dan siaga, apalagi kondisi ini terjadi pada masa pandemi.
- Lilik Kurniawan, Deputi Bidang Pencegahan BNPB menginstruksikan, pemerintah daerah untuk sosialisasi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada kemarau tahun ini tampaknya mendapatkan tantangan cukup berat. Tak hanya bersamaan dengan masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) juga terjadi pemotongan anggaran.
Anggaran Direktorat Pengendalian Kebaharan Hutan dan Lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hanya Rp34 miliar dari Rp56 miliar, dalam anggaran 2020, berarti ada pengurangan Rp22 miliar.
KLHK fokus penanggulangan karhutla pada tujuh provinsi prioritas, yakni, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Meski terjadi pemotongan anggaran, Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim mengatakan, tetap mengoptimalkan pencegahan dan penanggulangan.
Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, tahun ini terjadi pandemi yang berimplikasi pada dinamika penanganan kebakaran hutan dan lahan di lapangan.
“Akibat COVID-19 ini, semua pihak mereposisi fokus ke COVID-19, datang musim kemarau. Karena semua sumber daya manusia, sumber daya keuangan, peralatan agak geser ke COVID,” katanya dalam diskusi dari Pojok Iklim.
Dia meminta, semua pihak waspada dan tetap menangani karhutla tahun ini. Pengendalian karhutla, katanya, secara teknis di lapangan, penegakan hukum, teknologi dan lain-lain harus jalan dengan memperhatikan protokol kesehatan.
Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK mengatakan, ada penghematan anggaran dampak pandemi COVID-19 hingga 39%, atau Rp22 miliar.
“Ini sangat berat untuk darkathutla (pengendalian kebakaran hutan dan lahan-red) kalau dikerjakan sendiri,” katanya.
Untuk itu, katanya, kerja sinergi dengan kementerian dan lembaga bersama dengan mitra pun terus dilakukan.
Paradigma pencegahan pun berubah dalam dua tahun terakhir. Kalau sebelumnya, porsi pusat dan daerah dengan komposisi 70:30, saat ini berbalik jadi 30:70.
KLHK bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan BMKG secara bersama mengupayakan pencegahan kebakaran dengan menggelar teknologi modifikasi cuaca dengan hujan buatan.
Selain itu, KLHK bekerja sama dengan kementerian, lembaga serta swasta untuk ambil bagian dalam pengendalian karhutla.
Menurut Ruandha, Riau jadi salah satu prioritas karena provinsi ini memiliki dua puncak kemarau dan karhutla sudah terjadi pada Januari 2020. Selain Riau, katanya, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat jadi fokus penting karena memiliki lahan gambut dan kalau terbakar kabut asap bisa berpotensi melintas ke negara tetangga.
Untuk Kalimantan Tengah dan Kalsel yang memiliki wilayah gambut, diprediksi memiliki potensi kemarau sangat kering. Begitu juga Kalimantan Timur, lahan gambut berpotensi alami kebakaran spontan kalau suhu panas. Kondisi ini, katanya, karena lahan di wilayah itu memiliki cadangan batubara.
Selain tujuh provinsi prioritas ini, ada enam wilayah lain yang jadi perhatian seperti Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung dan Papua.

Peran pemerintah daerah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan kepala daerah dengan wilayah rentan karhutla untuk waspada dan siaga, apalagi kondisi ini terjadi pada masa pandemi.
Berdasarkan data BNPB, sejak awal Januari hingga 31 Mei terpantau 123 kali karhutla di berbagai daerah. Untuk peringatan dini dan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bahaya karhutla mengingat sudah memasuki kemarau dengan puncak pada Agustus 2020.
Lilik Kurniawan, Deputi Bidang Pencegahan BNPB menginstruksikan, pemerintah daerah untuk sosialisasi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
BNPB juga menyampaikan perlu antisipasi terkait dampak asap karhutla yang membahayakan warga.”Menginstruksikan multipihak mengumpulkan data ODP (orang dalam pengawasan-red) dan rumah sakit di zona risiko tinggi ancaman bencana asap, untuk menyiapkan tempat khusus evakuasi bagi ODP atau PDP (pasien dalam pengawasan-red) hingga terpisah dengan masyarakat yang sehat,” kata Lilik.
Untuk langkah pencegahan lain, yakni, pengecekan sarana dan prasarana pemadaman, seperti pompa air, kendaraan pemadam, peralatan pemadaman maupun titik-titik sumber air.
Selain itu, langkah antisipatif lain, BPBD dan unsur terkait dapat memonitor data dan informasi melalui situs penyedia informasi seperti milik Badan Restorasi Gambut (BRG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan) dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
BNPB mengidentifikasi wilayah administrasi di kabupaten dan kota yang berpotensi rawan bencana kekeringan pada puncak kemarau Agustus 2020. Identifikasi merujuk pada intensitas curah hujan kurang dari 100 mm berdasarkan indeks risiko bencana Indonesia (IRBI). Sebanyak 189 wilayah di 15 provinsi memiliki risiko dengan kategori sedang hingga tinggi, 162 kabupaten dan kota di kateogri tinggi, sisanya kategori sedang.
Upaya preventif lain, katanya, pemerintah daerah kampanye hemat air dengan memanen air hujan dan memanfaatkan air limbah rumah tangga yang relatif bersih untuk pakai kembali.

Tutupan hutan hilang
Berdasarkan laporan Global Forest Watch (GFW) pada 2 Juni 2020, kehilangan tutupan hutan primer pada 2019 terjadi penurunan angka dalam tiga tahun terakhir, namun Indonesia masih menempati urutan ketiga dunia. Padahal, karhutla pada 2019, sebesar 1,64 juta hektar, naik tinggi dibandingkan 2016-2018.
World Resources Institute Indonesia menyatakan, ada dugaan area terbakar pada hutan primer belum terbaca satelit karena terhalang asap. Hal ini terjadi pula pada karhutla 2015, dan baru terlihat pada awal tahun berikutnya.
Alue bilang, soal publikasi Maryland dan GFW yang mengatakan deforestasi tiga tahun terakhir Indonesia, itu fakta ilmiah, tak bisa dibantah. “Hasil Maryland itu kan sampai 2019, jadi mungkin kebakaran 2019 sudah masuk hitungan itu,” katanya.
Kehilangan hutan karena terbakar berkurang dari tahun ke tahun, meski kebakaran itu bergeser ke kawasan non hutan dan daerah yang selama ini belum terkelola baik.
Keterangan foto utama: Ilustrasi. Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap di masa pandemi akan lebih berisiko bagi warga. Foto: Manggala Agni