- Nelayan pesisir Batam kian terjepit akibat aktivitas reklamasi yang kian massif di sekeliling pulau. Salah satunya di kawasan pesisir Tanjung Buntung, Bengkong yang sudah berlangsung setahun ini. Akibatnya, nelayan harus melaut makin jauh karena ruang tangkap yang makin sempit.
- Romi, salah satu nelayan mengaku reklamasi telah sebabkan air laut keruh. Bahkan, gara-gara itu, ikan-ikan di keramba juga banyak yang mati. Padahal, budidaya ikan kerambah menjadi salah satu sumber penghidupan warga.
- Selain Tanjung Buntung, dugaan reklamasi ilegal juga terjadi di Pesisir Tanjung Tritip, Kelurahan Tanjung Uma. Aktivitas penimbunan itu bahkan telah menyebabkan sekitar 10 hektar mangrove hilang. Melalui citra satelit google earth, organisasi lingkungan setempat, Akar Bhumi Indonesia (ABI) mengidentifikasi adanya perubahan bentang dari hutan mangrove menjadi area timbunan.
- Lagat Siadari, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepri mendorong BP Batam meningkatkan kinerjanya menyusul terbitnya PP 25 dan 28 terkait pelepasan perizinan dari Pemkot Batam dan pusat ke BP Batam. Terutama, dalam konteks pengawasan. Sebab, segala dampak yang timbul kebijakan itu, semua menjadi tanggung jawab BP Batam. Tak terkecuali ketika lingkungan yang makin rusak.
Nelayan pesisir Batam kian terjepit dampak aktivitas reklamasi yang kian massif di sekeliling pulau. Salah satunya di kawasan pesisir Bengkong yang sudah berlangsung setahun ini.
“Kami tidak tau tanah timbunan dari mana, namun ratusan truk pengangkut tanah keluar masuk setiap hari,” kata Romi, nelayan Batam.
Dia katakan, aktivitas itu banyak merugikannya. Pasalnya, selain merusak ekosistem, air laut juga berubah menjadi keruh. Bahkan, gara-gara itu, ikan-ikan di keramba juga banyak yang mati.
Kerusakan pesisir akibat penimbunan ini tentu berdampak pada hasil tangkapan nelayan. “Dulu dua jam melaut bisa dapat Rp100.000. Sekarang satu hari penuh pun sulit mencapai itu,” kata Rompen, nelayan lainnya.
Padahal, untuk sekali jalan, setidaknya dia perlu Rp70.000 untuk ongkos.
Rompen bilang, dampak penurunan tangkapan itu sudah mulai dia rasakan sejak tiga tahun terakhir. Banyak nelayan kecil akhirnya tak bisa melaut karena hasil tangkapan tak cukup menutupi biaya operasional. Dampaknya, pendapatan mereka pun turun. ‘
Untuk bertahan, nelayan harus menambah jelajah perahu. Tentu, dengan risiko yang lebih besar karena armada yang terlalu kecil. Sementara di tepian, ikan sepi lantaran air yang makin pekat. “Mau ke tengah, perahu kami tak sanggup.”
Organisasi lingkungan di Batam, Akar Bhumi Indonesia (ABI) menengarai area reklamasi yang masuk Kelurahan Tanjung Buntung, Kecamatan Bengkong itu berlangsung tersebut tanpa izin. Total lahan yang telah tertimbun capai 2-3 hektar.
Hendrik Hermawan, pendiri ABI mengatakan, tudingan bahwa aktivitas reklamasi tak sesuai prosedur itu tampak dari dampak kegiatan yang terlihat kasat mata.
Pasalnya, kegiatan penimbunan berlangsung dengan menumpahkan langsung material tanah ke laut. Selain sebabkan air keruh, terumbu karang di sekitar juga rusak.
“Padahal, rehabilitasi terumbu karang sangat sulit dan membutuhkan biaya besar,” katanya.
Hendrik mendesak pemerintah meningkatkan pengawasan dan mengevaluasi izin prinsip dan izin lingkungan. “Ini sangat mempengaruhi kehidupan nelayan dan keanekaragaman hayati.”

Timbun hutan mangrove
Selain Tanjung Buntung, dugaan reklamasi ilegal juga terjadi di Pesisir Tanjung Tritip, Kelurahan Tanjung Uma. Aktivitas penimbunan itu bahkan telah menyebabkan sekitar 10 hektar mangrove hilang.
Melalui citra satelit google earth, ABI mengidentifikasi adanya perubahan bentang dari hutan mangrove manjadi area timbunan.
Dari hasil verifikasi lapangan setidaknya dua titik penimbunan di kawasan tersebut. Titik pertama berada di koordinat 1°134986″N 103°991635″E dengan perkiraan luas 10 hektar yang tertimbun. Sementara titik kedua di koordinat 1°137896″N 103°990717″E seluas satu hektar dan berpotensi bertambah.
Hendrik menyebut, aktivitas penimbunan itu berlangsung tanpa kaidah perlindungan lingkungan. “Kami melihat material ditumpahkan begitu saja ke pesisir tanpa buffer atau tanggul. Kerusakan ekosistem dan pencemarannya sangat nampak,” ujarnya, awal Desember 2025 ini.
Selain merusak ekosistem mangrove, Hendrik meyakini praktik itu berdampak ekosistem pesisir lainnya, padang lamun dan terumbu karang yang merupakan satu kesatuan ekoregion.
Padahal, katanya, perlindungan mangrove merupakan mandat negara sebagaimana diatur dalam PP 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, termasuk mangrove yang berada di luar kawasan hutan.
Sejauh ini Hendrik belum mengetahui pihak yang bertanggung jawab terhadap aktivitas itu. Namun, dia menyebut bila aktivitas itu melanggar empat regulasi sekaligus: UU 32/2009, UU 27/2007 jo. UU 1/2014, PP 122/2012, dan PP 22/2021.

Nelayan merugi
Di lapangan, sejumlah nelayan enggan berkomentar karena adanya kekhawatiran terkait keamanan. Beberapa dantaranya berkenan dengan tidak menyebutkan nama langsung.
Seorang nelayan berinisial J menyampaikan bahwa sebelum penimbunan, hasil tangkapan masih baik karena biota laut melimpah. Ia menyebut perusahaan menawarkan ganti rugi Rp2.000.000 per KK, namun jumlah itu dianggap tidak sebanding dengan kehilangan sumber penghidupan.
“Mau tidak mau mereka terima, karena proyek tetap berjalan dan laut akan ditimbun. Mereka tidak punya pilihan,” kata Hendrik menyampaikan keluhan warga.
Saat pemantauan, ABI juga mendapati keramba nelayan yang masih beroperasi di area tersebut, salah satu titik ground fishing masyarakat. “Tanpa keseimbangan antara pembangunan, sosial-ekonomi, dan lingkungan, selalu ada pihak yang dirugikan. Dan kini itu dialami langsung oleh nelayan,” ujarnya.
Hendrik mendesak pemerintah tak lagi menerbitkan izin dan menyetop aktivitas reklamasi yang dia duga ilegal itu. Menurutnya, Batam tak lagi cukup untuk menahan beban pembangunan yang kian massif.
“Batam masih berada dalam status darurat pesisir sejak 2022 dan kondisi itu belum banyak berubah. Negara harus hadir dalam penegakan hukum, pengawasan lingkungan, dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir,” katanya.
ABI segera melaporkan temuan ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai otoritas yang memiliki kewenangan terhadap reklamasi dan tata kelola lingkungan sesuai PP 25 dan PP 28.
Namun ABI menilai kapasitas pengawasan BP Batam masih minim sehingga pelibatan pemerintah pusat sangat diperlukan untuk memastikan penegakan hukum.
Hendrik mendorong, pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap tata kelola lingkungan di kawasan ini. Banyak ruang laut berubah menjadi daratan dan tidak bisa dibiarkan.
Dia menekankan pembangunan tidak boleh dilakukan secara sporadis dan serampangan karena kerusakan yang terjadi bukan hanya merugikan ekonomi masyarakat, tetapi juga mengancam masa depan ekosistem pesisir Batam.

Tingkatkan pengawasan
Amsakar Achmad, Kepala BP Batam sekaligus Walikota Batam berjanji untuk segera menurunkan tim pengawas untuk memeriksa izin reklamasi tersebut. Dia klaim, keseimbangan lingkungan akan tetap menjadi pertimbangan utama pembangunan di wilayahnya.
Lagat Siadari, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepri mendorong BP Batam meningkatkan kinerjanya menyusul terbitnya PP 25 dan 28 terkait pelepasan perizinan dari Pemkot Batam dan pusat ke BP Batam. Terutama, dalam konteks pengawasan. Sebab, segala dampak yang timbul kebijakan itu, semua menjadi tanggung jawab BP Batam.
Pada konteks kerusakan lingkungan misal, BP Batam kata Lagat, harus bertanggung jawab kerusakan lingkungan.
“Harusnya BP Batam memperkuat direktur pengawasan agar tidak ada penyimpangan izin BP Batam terutama izin reklamasi laut,” katanya.
Lagat mengingatkan agar pembangunan yang berlangsung tidak berdampak secara ekologis. Jika tidak, bukan tidak mungkin bencana besar akan terjadi, seperti di Sumatera baru-baru ini.
*****
Reklamasi Hilangkan Mangrove dan Sungai di Batam Berujung Bencana